Selasa, 06 September 2011

Gelar Di Atas Luka


Indonesia sedang memendam amarah lebaran kali ini. Amarah yang dipacu oleh perbuatan sebuah instansi pendidikan yang membawa nama Indonesia dalam nama besarnya, Universitas Indonesia. Perbuatan tersebut ialah pemberian gelar Honoraris Causa (HC) kepada raja Arab Saudi, Raja Abdullah bin Abdul Aziz al-Saud, dalam bidang Perdamaian Global dan Kemanusiaan.

Pemberian gelar tersebut menyulutkan kemarahan masyarakat Indonesia, karena gelar perdamaian yang disematkan langsung oleh Rektor UI, Gumilar R. Somantri,  tersebut tidak sesuai dengan perlakuan pemerintah Arab Saudi kepada Tenaga Kerja Indonesia (TKI), terutama Ruyati. 

 Sekedar mengingatkan, kasus Ruyati berawal dari terbunuhnya majikan perempuan Ruyati, Khairiya Hamid binti Mijlid, oleh Ruyati dengan pisau daging pada 10 Januari 2010. Setelah itu, Ruyati menjalani persidangan pertama pada bulan Mei 2010 dan terancam hukuman qisas atau hukuman setimpal dengan perbuatannya. Barulah pada April 2011, pemerintah Indonesia bergerak dengan mengirim Mentri Hukum dan HAM, Patrialis Akbar, untuk melobi pemerintah Arab Saudi. Akan tetapi, lobi yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia tidak digubris oleh Arab Saudi, dan pada bulan Mei 2011 Ruyati diadili kembali dan dijatuhi hukuman qisas. Ruyati kemudian dieksekusi pada tanggal 18 Juni 2011 di Mekkah dan langsung dimakamkan di Arab Saudi. 

Kasus Ruyati tersebut sangat mengiris hati rakyat Indonesia. Pasalnya, alasan-alasan atau alibi yang diutarakan oleh Ruyati dan lobi-lobi yang dilakukan oleh Menkum, Patrialis Akbar, tidak digubris. Sikap arogan yang ditunjukkan oleh pemerintah Arab Saudi bertolak belakang dengan dasar pemberian gelar kepada raja Arab oleh UI, yakni Perdamaian Global dan Kemanusiaan.

Dasar pemberian gelar tersebut kepada raja Arab disebabkan oleh sikap raja Arab yang berbuat banyak atas kelaparan di Somalia. Akan tetapi, apakah perbuatan pemerintah Arab kepada bangsa Indonesia setimpal? Sudah terlalu banyak luka yang ditorehkan Arab Saudi daripada menolong bangsa lain. Dasar yang sungguh berbanding terbalik dengan derita TKI. Sikap UI dengan pemberian HC tersebut tidak pantas.

Sikap yang diperlihatkan oleh UI, melalui pemberian HC tersebut, menampakkan bahwa sudah memudarnya pertimbangan nurani dalam sebuah penghargaan keilmuan. Meskipun, proses penetapan tersebut jauh sebelum kasus Ruyati terjadi. Seharusnya UI beserta tim penentu pemberian gelar juga menggunakan nuraninya. Apakah pantas Raja Arab Saudi mendapatkan HC kemanusiaan jika ia menutup mata atas nasib warga negara lain yang sedang mencari nafkah di negaranya? Kasus Ruyati bukanlah satu-satunya, hanya saja kasusnya menjadi pemicu kemarahan masyarakat Indonesia.

UI sebagai sebuah instansi pendidikan dan keilmuan hendaknya tidak hanya menggunakan logika saja. Karena, ilmu tanpa nurani sama saja omong kosong dan nurani tanpa ilmu adalah kebodohan. Ilmu dan nurani harus berbanding, akal dan hati harus berimbang untuk menjadikan ilmu bermanfaat. Memberikan gelar kepada raja Arab menunjukkan bahwa UI telah mengingkari bangsa dan melukai hati para TKI.

Ilmu dan nurani harus seimbang dan berimbang. Ilmu yang melupakan nurani hanya akan melukai, dan nurani tanpa ilmu hanya akan memberikan kepolosan tanpa logika. Sikap UI ialah contoh ketidakseimbangan antara nurani dengan ilmu. Sebuah instansi dengan nama Indonesia di dalamnya hanya menggores luka pada bangsa sendiri.