Rabu, 03 Mei 2023

Matahari dan Angin Memberi

Sekilas terbesit
Pertanyaan dalam hati
Pernahkah matahari
Merasa lelah untuk memberi
Cahayanya yang hangat kepada bumi? 
Atau pertanyaan lain
Pernahkah angin
Enggan bertiup semilir
Hanya untuk memberi
Ruang oksigen kepada makhluk bumi? 

Matahari dan angin
Selalu memberi
Meski tak ada
Yang sadar dan mengucap
Terima kasih

Andai
Aku bisa seperti itu
Memberi
Tanpa berharap
Sesuatu kembali
Dalam pelukku

Jumat, 26 Agustus 2022

Perlu Peran Aktif Masyarakat agar Indonesia Merdeka dari Hoaks


Di era digital saat ini, salah satu masalah yang menjadi momok dan mengancam integrasi bangsa ialah hoaks. Sebaran hoaks atau informasi palsu di internet kiranya menjadi ancaman bagi setiap warganet. Sebab, hoaks dapat saja dengan mudah memancing emosi seseorang hingga kerugian secara finansial lantaran tertipu undian berhadiah.

Untuk dapat tak terjebak hoaks tentunya dapat melakukan sejumlah tips-tips mudah. Dilansir dari inilah.com dalam artikel berjudul “Empat Tips Jitu Hindari Hoaks” terdapat tips sederhana dan cukup bisa membuat diri lebih kebal terhadap hoaks. Pertama ialah menemukan sumber asli dari suatu sebaran informasi. Kedua, mengecek faktanya dengan memanfaatkan digital tools seperti mesin pencarian. Ketiga, memperhatikan tiap detil sebaran informasi yang diterima. Dan, keempat, mencari keberagaman kasus dari klaim pada narasi informasi yang beredar.

Langkah-langkah itu kiranya memang perlu dilakukan oleh masyarakat bila tidak ingin terkena hoaks. Apalagi, hoaks memiliki dampak yang merusak. Mulai dari kerugian secara finansial, terpancing emosi, korban jiwa, bahkan disintegrasi bangsa.

Untuk itu, bila memang Indonesia ingin merdeka dari hoaks atau informasi palsu kiranya perlu peningkatan kemampuan literasi digital dari masyarakatnya. Mengacu kepada hasil survei Katadata Insight Center (KIC) bersama Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) pada tahun 2021 diketahui bahwa hasil Indeks Literasi Digital Indonesia berada di level 3,49. Angka tersebut menempatkan indeks literasi digital Indonesia masih dalam kategori sedang dengan skala skor 0-5.

Survei tersebut diikuti oleh 10 ribu responden dari 34 provinsi dan 514 kabupaten/kota dengan jumlah responden berdasarkan jenis kelamin perempuan sebesar 56,6 persen dan laki-laki sebesar 43,4 persen. Sementara untuk pengelompokan generasi, survei itu diikuti oleh 43,8 persen responden Generasi Y/Milenial (23-38 tahun), 28,6 persen Generasi Z (13-22 tahun), 23,9 persen Generasi X (39-54 tahun), dan 3,6 persen Generasi Baby Boomer (55-70 tahun).

Terdapat empat pilar yang menjadi komponen penilaian indeks survei tersebut. Digital Culture atau Budaya Digital memperoleh skor tertinggi dengan angka level sebesar 3,9. Lalu, disusul oleh pilar Digital Ethics atau Etika Digital dengan angka level 3,55. Untuk pilar Digital Skills atau Kecakapan Digital berada di posisi ketiga dengan angka level 3,44. Dan, posisi terendah ialah pilar Digital Safety atau Keamanan Digital dengan angka level 3,1.

Kondisi itu menunjukkan bahwa kondisi literasi digital di Indonesia masih belum dikatakan sempurna. Masih banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan guna meningkatkan kemampuan literasi digital dari masyarakat Indonesia.

Peran pemerintah memang penting dalam meningkatkan tingkat literasi digital di Indonesia. Namun, pemerintah tidak bisa berjalan sendirian. Masyarakat perlu turun tangan dalam upaya meningkatkan tingkat literasi digitalnya dengan cara membangun ekosistem digital baik di lingkungannya.

Contoh sederhananya, bila terdapat suatu sebaran informasi yang tidak jelas kebenarannya di grup warga maka baiknya saling mengingatkan. Bagi yang mengirimkan informasi itu pun perlu kelegaan hati untuk tidak tersinggung bila ditegur, terlebih bila yang menegurnya mungkin usianya lebih muda. Selain itu, perlu juga kesadaran bagi masyarakat untuk terus menyebarkan artikel periksa fakta yang sudah dibuat oleh sejumlah organisasi dan media.

Saat ini kiranya akses terhadap artikel periksa fakta sudah sangat mudah. Sebab, sejumlah media, organisasi sipil, dan unit kegiatan di pemerintah, baik pusat maupun daerah, sudah cukup banyak. Hal itu menyebabkan pengecekan fakta terhadap suatu informasi menjadi lebih mudah dilakukan.

Pada tahun 2019, Indonesia dapat membuktikan bahwa dengan gotong royong bersama-sama maka hoaks bisa dibendung dan pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 dapat terlaksana dengan lancar. Kala itu, sejumlah media dan organisasi sipil yang tergabung dalam aliansi Cekfakta.com menggelar sejumlah kegiatan periksa fakta bersama, seperti Live Fact Checking Debat Pilpres. Hal itu menunjukkan bahwa ikhtiar untuk membuat Indonesia bisa merdeka dari hoaks sudah sangat nyata.

Gerakan kolaborasi itu pun menunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia masih memegang teguh salah satu karakternya, yakni gotong royong. Demi tercapainya Pemilu 2019 yang damai dan tak terusik hoaks, elemen media dan organisasi yang ikut di dalamnya bahu-membahu melawan hoaks bersama. Bak para pejuang yang melawan penjajah dengan bambu runcingnya, para fact checker Indonesia yang ada kala itu melawan hoaks dengan modal kata dan tulisan periksa faktanya. 

Kiranya perlu banyaknya kolaborasi lain semacam itu guna menggolkan Indonesia merdeka dari hoaks. Kalau perlu, kolaborasi itu dapat dilkakuan bersama perangkat Pemerintah Daerah yang juga sudah memiliki unit kegiatan periksa fakta, seperti Pemerintah Provinsi Jawa Barat dengan Jabar Saber Hoaks (JSH) dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan Jakarta Lawan Hoaks (Jalahoaks). Sinergi kolaborasi periksa fakta itu kiranya dapat melahirkan inisiatif periksa fakta di daerah-daerah lainnya.

Apalagi, perlu diketahui bahwa saat ini di Indonesia sudah berdiri organisasi mahasiswa periksa fakta yang ada di Universitas Indonesia dengan nama Fact Checker UI. Keberadaan organisasi mahasiswa itu membuktikan bahwa generasi muda di Indonesia memiliki kemauan untuk mewujudkan Indonesia merdeka dari hoaks.

Tak hanya itu, di sejumlah platform media sosial, seperti Facebook dan Instagram, sudah ada fitur flagging atau penandaan konten yang terbukti sebagai hoaks. Fitur itu merupakan bentuk kesadaran dari pihak platform media sosial untuk berbersih diri dari banyaknya hoaks yang tersebar di tubuh media sosial mereka. Dengan demikian, masyarakat pun lebih terbantu untuk membedakan suatu informasi itu fakta atau hoaks.

Hal yang tak kalah penting bila memang Indonesia ingin merdeka dari hoaks atau informasi palsu ialah berhenti mengikuti sejumlah akun media sosial anonim atau sosok di media sosial yang kerap menyebarkan hoaks, bisa dikatakan sebagai buzzer. Dengan melakukan itu, secara tidak langsung maka kita mengasingkan sumber-sumber penyebar hoaks dan membuat mereka tidak mendapatkan keuntungan dari engagement yang terjadi di akunnya. Bahkan, kalau perlu akun-akun penyebar hoaks rajin-rajin dilaporkan kepada pihak platform media sosial agar mendapat sanksi dari pihak platform.

Para akun anonim dan buzzer itu menjadi momok yang harus diperangi secara masif. Tanpa adanya konsumen informasi ke akun-akun semacam itu sudah barang tentu mereka tidak akan memproduksi informasi hoaks yang provokatif. Mulai dari sekarang perlu giatkan melaporkan akun-akun pemecah belah bangsa itu. 

Berbagai hal tersebut memang perlu dilakukan secara konsisten dan masif. Dengan begitu, kita dapat melakukan pembersihan dari berbagai virus penyebar hoaks di ranah digital. Memang butuh waktu yang tak sebentar. Akan tetapi, bila terus dilakukan maka mimpi Indonesia terbebas dari hoaks akan semakin nyata.

Muhammad Khairil Haesy 

Pemeriksa Fakta Jalahoaks


Rabu, 24 Agustus 2022

Kajian Prancis dan Frankofon

Buku Kajian Prancis dan Frankofon


Kajian Prancis dan Frankofon


Penyunting:

Suma Riella Rusdiarti

Myrna Laksman-Huntley

Rahayu Surtiati Hidayat

Sonya Sondakh


Penerbit

WEDATAMA WIDYA SASTRA

2022



Kamis, 06 April 2017

Unek-unek Perihal Program Televisi

Televisi telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat modern. Televisi telah menjadi all in one entertainment yang murah meriah khalayak ramai. Semua program televisi sejatinya ada untuk menghibur penonton sehingga sejenak bisa melepaskan penat pikiran mereka.

Akan tetapi, kini hiburan itu semakin tidak jelas arahnya. Sebab, seluruh program televisi saat ini mayoritas setipe dan monoton. Beberapa televisi bahkan menjual sinetron murahan dengan plot cerita yang mudah tertebak. Bahkan, ada beberapa sinetron yang menjual romansa tidak sesuai dengan usianya.

Mata kita saat ini sangat lumrah melihat adegan anak sekolah bercinta-cintaan dengan berbagai intrik yang di luar nalar. Selain itu, kita juga dipertontonkan gaya anak muda yang sangat jauh dari kondisi sebenarnya anak sekolah, khususnya perihal gaya hidup.

Hal ini sangat mengganggu saya lantaran banyak anak-anak yang akhirnya meniru berbagai tontonan "sampah" itu dalam kehidupan sehari-harinya. Sebagai orang tua, saya melihatnya sebagai kondisi yang miris lantaran sulitnya bagi orang tua untuk menyortir berbagai tontonan itu pada anak. Mereka, anak-anak, terpaksa disuguhkan tontonan yang belum sepenuhnya mereka pahami.

Bila membuka lembar kenangan masa lalu saya, dulu begitu banyak tontonan layak untuk anak. Berbagai serial kartun di hari minggu bertebaran memanjakan anak-anak era tahun 90-an. Bahkan, bagi generasi 80-90-an yang kini telah dewasa, kenangan itu membekas dan membuat sebagian besar mereka ingin me-rewind kenangan itu hingga mencari tontonan kartun kenangan di internet.

Seandainya para pemilik televisi itu bisa melupakan sejenang perihal rating program yang dijual oleh lembaga rating program televisi Nielsen dan membuat tontonan yang layak, tentu berbagai acara "sampah" tak akan berkeliaran di stasiun televisi mereka.

Sayangnya, hal itu kiranya tidak akan mereka lakukan. Sebab, uang lebih penting ketimbang masa depan anak-anak Indonesia.

Tapi, bila boleh memberikan sedikit pemikiran saya, ada baiknya para pengusaha televisi tidak lagi bergantung pada rating yang notaben penilaiannya kurang jelas. Coba fokus untuk membuat program televisi berkualitas yang tidak melulu meniru program lainnya.

Saya rasa, banyak anak muda kreatif dengan ide cemerlang dan brilian yang bisa diajak diskusi untuk membuat sebuah program televisi berkualitas. Pastinya, akan banyak variasi program televisi yang tak melulu menjual cinta-cintaan khas sinetron "alay".

Hingga saat ini, mungkin program televisi cukup "aman" ditonton baru ada di NET TV (bukan promosi). Alasan saya mengatakan hal itu lantaran stasiun televisi itu menyajikan banyak tontonan variatif dan tidak melulu meniru patron yang ada.

Segi sinematografinya pada sinema serinya berbeda dengan berbagai sinetron "alay" yang tersebar hampir di seluruh stasiun televisi nasional. Selain itu, penonton NET TV tidak melulu disuguhkan drama semata, ada berbagai bentuk variety show yang berbeda-beda karakternya.

Tontonan semacam itu yang saya rindukan sejak lama. Mantengin NET TV tidak membuat saya jenuh dan bosan lantaran beragam variasi programnya. Kiranya, televisi nasional yang sudah lebih dahulu ada bisa belajar kepada juniornya itu untuk membuat program televisi berkualitas.

Saya rasa, banyak penonton televisi yang merindukan program televisi berkualitas. Jadi, bagi pengusaha televisi nasional, cobalah untuk menurunkan bebal otak kalian dan mulai berpikir jernih untuk menyajikan program televisi berkualitas.

Cerdaslah Menjadi Pemilih dan Pengguna Medsos

Melihat fenomena pemilihan kepala daerah (Pilkada) akhir-akhir ini memberikan beberapa pelajaran bagi saya. Pertama, tingkat kepedulian dan partisipatoris masyarakat Indonesia, khususnya di daerah yang tengah menyelenggarakan semakin tinggi. Hal itu bisa terlihat dari berbagai macam keikutsertaan masyarakat dalam rangkaian Pilkada, mulai dari kampanye hingga mengikuti acara debat resmi Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD).

Apalagi, bila menilik aktifitas di dunia media sosial (medsos). Banyak pengguna akun medsos yang senantiasa mendengungkan dan mengkampanyekan jagoan masing-masing. Keadaan ini bisa dikatakan sebagai suatu kondisi positif lantaran masyarakat Indonesia tidak lagi awam terhadap dunia politik.

Kedua, pola kampanye para calon kepala daerah semakin kreatif dan mencoba menarik perhatian pemilih pemula. Idenya pun beragam, mulai dengan pendekatan humor satire hingga video kampanye memaparkan visi misi kandidat calon.

Kiranya berbagai pendekatan mulai digunakan secara unik agar dapat lebih menonjol ketimbang calon lainnya. Ide-ide kreatif para tim sukses di balik layar tentunya patut diacungi jempol. Sebab, kini kampanye tidak hanya identik dengan konser musik alakadarnya ataupun tebar pesona melalui poster ataupun baliho.

Dan, ketiga, munculnya ruang terbuka bagi masyarakat untuk lebih mengenal calon kandidat yang akan dipilihnya. Tentunya, hal ini dipengaruhi akan kemajuan teknologi. Kini, siapapun bisa mencari informasi sebanyak mungkin mengenai calon kandidat. Bahkan, calon pemilih bisa update dengan leluasa mengenai visi misi ataupun kegiatan calon kandidat selama masa kampanye keliling.

Pastinya, berbagai akses informasi itu akan sangat membantu calon pemilih untuk menentukan pilihannya kelak di bilik pencoblosan. Pemilih menjadi dimudahkan dengan segala fasilitas yang ada untuk mendapatkan informasi.

Meski begitu, momen Pilkada tentunya memunculkan beberapa masalah sosial yang juga baru ada saat ini. Salah satu contoh yang paling saya tidak sukai ialah munculnya gesekan kontraproduktif antar tim sukses ataupun pendukung pasangan calon.

Berbagai akun medsos anonim bermunculan mencerca, mencela, bahkan menyebarkan kampanye hitam terhadap calon kandidat yang tengah berkompetisi. Adapun, hal itu bukanlah hal yang baik dilakukan meski dalam demokrasi penggunaan cara seperti itu mungkin saja diperbolehkan.

Gesekan paling banyak memang terjadi di ranah dunia maya. Akan tetapi, ada kalanya gesekan itu terealisasikan dalam dunia nyata. Berdasarkan pengalaman pribadi, beberapa kawan saya menjadi bermusuhan lantaran terlalu getol membela jagoan mereka. Padahal, beberapa tahun silam, mereka adalah kawan karib yang sudah selaiknya saudara.

Kondisi seperti ini yang membuat saya jemu dan jengah akan keadaan kampanye di dunia maya. Hal terparah ialah ada beberapa kawan saya berkoar-koar akan calon yang tidak berlaga di daerahnya. Tentunya, boleh saja mereka berkomentar mengenai Pilkada yang terjadi di luar daerahnya, khususnya mengenai Pilkada DKI Jakarta. Namun, bagi saya itu hanya buang-buang waktu dan tenaga lantaran efek yang akan diterima mereka tidaklah signifikan akan siapa pemenang Pilkada di daerah lain.

Kiranya, perlu kesadaran dari masing-masing kita untuk menahan diri dan tidak terlalu memaksakan menjagokan kandidat calon secara berlebihan. Sebab, sebaik-baiknya calon kandidat kepala daerah mereka tetaplah manusia.

Mereka bukanlah dewa yang harus disembah-sembah atau Tuhan yang menjelma dalam raga manusia. Mereka manusia biasa, sama halnya dengan kita semua. Jadi, jangan terlalu buta membela mereka seolah-olah merekalah Sang Juru Selamat umat manusia.

Selain itu, medsos bukanlah sekedar media kampanye politik semata. Banyak hal yang bisa dilakukan secara positif dan produktif melalui medsos. Coba tinggalkan aroma persaingan Pilkada dan gunakan medsos secara cerdas.

Akhir kata, tulisan ini sebenarnya hanya sebagian dari curahan hati yang saya pendam lantaran malas melihat tingkah polah banyak pendukung calon hilir mudik di medsos saya. Ada baiknya, mari kita bersama-sama menjadi pemilih dan pengguna medsos yang cerdas. Tak perlu terlalu getol membela calon kandidat, cukup pantau, pelajari, dan pertanyakan visi misi para calon kandidat. Bedah program mereka, cerna, dan tentukan pilihanmu.