Rabu, 23 November 2011

Wayang dan Fungsi 'Tuntunan'-nya

Wayang, merupakan warisan budaya dari Indonesia yang sudah diakui oleh dunia. Namun, penggemarnya tidak juga bertambah, justru statis dan tidak terjadi sebuah pengembangan. Pengakuan dunia tersebut tidak membuat wayang diakui dan diminati oleh anak muda. Selain itu, pengakuan dunia tersebut juga tidak mengembalikan fungsi 'tuntunan' pada pergelaran wayang. pengembangan wayang yang terjadi hanya untuk mendatangkan keuntungan secara ekonomi bagi para dalang.

Jika ada yang memajukan atau memodifikasi wayang, maka akan dianggap bertentangan dengan pakem yang sudah ada. Pakem dijadikan sebuah alasan untuk mematahkan semangat pengembangan dan modifikasi wayang, baik segi bentuk atau pergelaran. Padahal, dengan terbatasnya pengembangan tersebut, wayang akan menjadi sebuah benda seni saja. Wayang bukan sekedar benda seni. Wayang memiliki fungsi-fungsi lain yang lebih mengedepankan pengembangan pendidikan pada generasi muda. Maksudnya, wayang merupakan sebuah wadah pendidikan yang berazaskan penanaman karakter budaya pada generasi muda.

Terlalu takutnya pada pakem, banyak pengembang wayang berguguran. Padahal, jika dikembangkan dengan mengikuti dinamika zaman, seharusnya wayang mampu dikembangkan dengan pendekatan kekinian. Seperti, menggunakan wayang dalam bentuk superhero atau pahlawan super yang lebih berkenan dengan anak muda. Memodifikasi Wisanggeni, salah satu tokoh wayang asli Jawa, menjadi sebuah superhero dengan kekuatan sinar laser dari matanya, karena wisanggeni memiliki kekuatan mata yang mampu membakar lawannya, atau memodifikasi Antareja, tokoh wayang asli Jawa, menjadi tokoh superhero, yang memiliki kekuatan berubah menjadi naga atau bersenjatakan racun yang mampu melumpuhkan musuh.

Memodifikasi juga harus dengan pemahaman konsep dasar atas penokohan dari tokoh wayang yang hendak diangkat. Jangan sembarangan memodifikasi, karena akan menghilangkan esensi dasar dari karakteristik tokohnya. Dengan hilangnya esensi tokoh, maka akan mereduksi pembelajaran budaya di dalamnya. Selain itu, hal tersebut juga akan menghilangkan sejarah munculnya tokoh tersebut. Jangan asal dalam memodifikasi wayang.

Penggambaran wayang harus juga dengan esensi dasarnya. Agar, generasi muda dapat memahami esensi 'tuntunan' dari wayang. Memodifikasi dengan 'asal-asalan' hanya akan menjauhkan generasi muda dari upaya memahami budayanya. Padahal, budaya lokal Indonesia memiliki banyak nilai-nilai pendidikan yang baik untuk generasi muda. Memberikan pemahaman mengenai kesadaran toleransi, baik toleransi suku maupun agama. Toleransi atas pluralisme dan multikulturalisme bangsa Indonesia.

Upaya 'Menghomogenkan' Pola Berpikir Generasi Muda Dari Pihak Tertentu

Indonesia sudah mulai sulit untuk menghargai sesuatu hal yang berbeda. Ada saja konflik yang terjadi lantaran terjadinya sebuah perbedaan, baik agama maupun suku bangsa. Toleransi sudah dikesampingkan dan tidak dijadikan dasar didikan bagi generasi muda. Hal itu terjadi karena, adanya upaya segelintir kelompok di Indonesia yang berupaya 'menghomogenkan' pola pikir dan pandangan generasi muda.

Dasar upaya tersebut biasanya hanya untuk kepentingan kelompok tersebut. Kepentingan politik, ekonomi, maupun sosial bagi kelompok yang bersangkutan. Padahal, kelebihan dari kebudayaan yang ada di Indonesia adalah pendidikan terhadap toleransi atas pluralisme dan multikultur di Indonesia. Memang, dalam sebuah masyarakat yang homogen lebih mudah diatur. Akan tetapi, hal tersebut akan menghilangkan estetika kebangsaan Indonesia.

Negara Indonesia bukanlah milik satu agama atau satu suku bangsa saja. Indonesia menjadi indah dan rupawan karena warna-warni keberagaman. Kemajemukan yang akhirnya menjadi pelangi bangsa Indonesia akan tereduksi menjadi sebuah pandangan munafik. Pandangan yang hanya akan memunculkan konflik-konflik intern Indonesia. Konflik yang akan meruntuhkan kesatuan Indonesia.

Ada baiknya masyarakat Indonesia meruntuhkan aroganitasnya untuk melihat, merenungi, dan memaknai kemajemukan bangsa ini. Kemajemukan yang semakin hari semakin tereduksi, dan akan mati secara mengenaskan. Indonesia hanya akan terkenang dengan segala kemunafikan dan hanya menjadi noda kecil dalam lembar sejarah dunia, jika kemajemukan disingkirkan dari Indonesia.

Untuk itu, perlu pembangkitan kembali paham toleransi, salah satunya melalui media wayang. Karena, wayang merupakan cerminan masyarakatnya. Wayang juga bukanlah milik suku Jawa saja, melainkan milik bangsa Indonesia secara menyeluruh. Fungsi 'tuntunan' tersebut juga harus dihidupkan kembali, melalui pemodifikasian yang tidak mereduksi nilai-nilai ajaran dalam wayang. Tugas itu bukan hanya milik generasi tua ataupun generasi muda, melainkan tugas seluruh masyarakat Indonesia. Menumbukan sikap ke-Indonesia-an melalui ajaran pendidikan. Oleh karena itu, hendaknya para pendidik mendidik dengan dasar budaya, dan masyarakat harus mampu menyerap esensi pembelajaran nilai-nilai adiluhung kebudayaan dan menurunkannya dengan bijak ke generasi penerus.