Entah karena memang Lady Gaga yang bermasalah atau otak bangsa ini yang ngeres, perihal konser saja menjadi buah bibir. Padahal, keberadaan Lady Gaga di industri musik internasional bukanlah sesuatu yang membahayakan bagi identitas etika dan moral bangsa ini. Etika dan moral asli binaan para intelektual lokal yang telah ada dalam naskah-naskah ataupun nasihat-nasihat orang tua semakin ditinggalkan. Hampir semua masyarakat di negeri ini melihat pada perspektif tidak original. Seperti, melihat masalah dari perspektif agama saja.
Bagi saya, agama hanyalah baju. Urusan dengan Tuhan semua kembali kepada niatan dan keyakinan diri bahwa dunia ini ada yang menciptakannya. Permasalahan macam konser Lady Gaga bukan untuk dikomentari sebelah mata dengan konteks agama. Masalah terbesar ialah bagaimana pola pendidikan etika dan moral kepada generasi muda. Lihat saja, upaya pemblokiran situs porno yang dilakukan oleh Kementrian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia (Kemenkoinfo RI) tidak sepenuhnya mengurangi pikiran-pikiran ngeres bangsa ini. Masih banyak pelaku penyebaran dan produsen film-film porno yang berbasis 3.gpa ataupun video. Perhatian utama ialah pada pola pikir bangsa ini.
Jika melihat fenomena pelarangan pornoaksi dan pornografi perlu ada sebuah pembatasan dan pengklasifikasian yang jelas. Bagaimana sebuah seni dikatakan sebagai sebuah pornografi? Bagaimana sebuah busana disebut sebagai tindakan pornoaksi? Perlu sebuah kriteria yang jelas. Karena, saat ini, kriteria suatu hal dikatakan sebagai pornografi dan pornoaksi masih samar. Apa seorang yang menggunakan rok empat jari di atas lutut adalah sebuah pornoaksi? Apakah seorang pria dengan celana yang sangat ketat dikatakan pornoaksi? Atau sebuah patung manusia tidak berbusana disebut pornografi? Belum jelas kurasa.
Pun sudah dibuatkan klasifikasi yang jelas, juga masih perlu menindak pola pemikiran yang ngeres. Entah dalam pendidikan formal diajarkan dan didoktrinan masalah berpikir ngeres adalah sebuah keperluan atau memang keharusan. Namun, hendaknya pola pemikiran yang selalu terbelenggu atas nama agama tersebut haruslah diperjelas. Selalu saja, jika ada sebuah seni atau gaya berbusana yang dikatakan seronok memicu kehebohan di negeri ini. Kasus pemerkosaanlah, artis porno ingin datang ke negeri ini lah, dan lain sebagainya.
Perlu sebuah pemikiran bijak. Perlu pemisahan antara stigma-stigma yang kental dengan "porno" sebagai barang tabu dan personal pelaku yang melakukannya. Artis porno pun pasti tidak ingin "bermain" dengan sembarangan orang ketika ada di sebuah negara yang bukan negara asalnya. Coba saja, jika Maria Ozawa datang lagi ke Indonesia, coba ajak dia untuk melakukan hubungan sex. Belum tentulah ia mau.
Bagi para pelaku atau artis porno, sex yang mereka tontonkan adalah upaya mereka meraup rejeki. Sama saja dengan orang bekerja di manapun. Untuk memandang stigma mereka, hendaknya perlu ada toleransi. Karena, mereka menjadi seperti itu merupakan upayanya untuk hidup. Banyak hal di dunia ini yang harus dipandang dengan bijak dan dibumbui rasa toleransi. Tak berbeda dengan Ledy Gaga, ia pun menjadi seperti sekarang juga merupakan upayanya bertahan hidup. Bertahan hidup atau survive merupakan kodrat alam.
FPI Bukan Utusan Tuhan
Masalah yang berkaitan dengan porno-pornoan entah mengapa mengundang para aktivis Front Pembela Islam (FPI) untuk maju perang. Padahal, FPI bukanlah utusan Tuhan dan mereka juga sekelompok manusia yang terkadang khilaf. Aksi-aksi yang dilakukannya pun tidak mencerminkan sebagian besar pemikiran rakyat Indonesia. Seharusnya FPI pun juga bisa memandang sebuah masalah dengan pemikiran yang dingin dan berani melakukan debat tanpa ayat-ayat Al Qur'an--karena itu hanya akan menodai Kitab Suci.
Jika diizinkan menyarankan solusi, hendaknya FPI dan organisasi masyarakat yang vandalis dikirimkan sebagai simpatisan perang untuk membantu Palestina atau negara yang sedang berkonflik. Karena, jika hanya dipelihara di negeri ini, maka kemajemukan bangsa akan ternoda dan muncul sebuah aroganitas homogenitas idelogi. Negara ini bukanlah negara Islam, juga bukan negara Katolik ataupun Budha. Negara ini adalah negara Bhinneka Tunggal Ika. Negara yang menghargai kemajemukan suku bangsa, ideologi, agama, hingga kreatifitas.
Porno atau tidak sebuah tindakan, salah atau benar suatu perbuatan, tidaklah ditentukan oleh sekelompok manusia yang selalu berlindung di balik agama. Kebenaran memiliki unsur subyektifitas dan harus diadu dengan argumen yang kuat. Berdebat dengan ideologi masih lebih kesatria ketimbang maju memprotes dengan mengatasnamakan lambang-lambang tertentu. Dengan sebuah alur perdebatan, maka akan muncul dinamika positif bagi bangsa ini. Sebuah dinamika yang mengajarkan bagi generasi muda arti sebuah perbedaan dan penghargaan atas perbedaan. Selain itu, dinamika perdebatan juga mengajarkan generasi muda untuk bertoleransi atas pemikiran orang lain, ideologi yang dianut orang lain, hingga kepercayaan orang lain.
Harus diingat kembali, Tuhan tidak pernah meminta umatnya untuk mengatasnamakan diri-Nya untuk melakukan kekerasan. Bagi saya yang beragama Islam, agama manapun mengajarkan sebuah cinta kasih dan toleransi. Tak ada satupun agama di dunia yang mengajarkan umatnya untuk berperang dan melakukan hal-hal keji. Hanya saja, perspektif nilai atas kebenaran yang dianut berbeda.Dan perbedaan itulah yang harus dipahami dan saling didiskusikan agar tercipta sebuah keharmonisan.