Rabu, 01 Januari 2014

Pintar Merasa, Bukan Merasa Pintar

Terkadang, manusia lebih bisa merasa pintar daripada pintar merasa. Hal itu sering saya temukan dalam beragam masalah yang ada di sekitar saya. Berpendapat, tapi tidak memahami betul apa yang sekiranya harus diutarakan. Mengkritisi, tapi tidak tahu dasar kritiknya akan sesuatu hal. Sungguh, hal itu sama saja mempermalukan diri sendiri.

Sebenarnya, sah-sah saja untuk berpendapat akan sesuatu hal. Namun, berlindung pada orang lain atau figur tertentu atas pendapatnya yang melempar bola panas sama saja pengecut. Bila tidak puas dengan suatu sistem, ya hadapi sistem itu dan beri satu perubahan yang nyata. Bila tidak suka pada seseorang, hadapi jangan bergumam di belakang dan mencari simpatik opini publik. Kalau tidak berani, ya jangan melemparkan bola api.

Kalau memang ingin mengubah suatu sistem yang dirasa sudah tidak berkenan, cari tahu dulu sejarahnya baru buat suatu mekanisme yang sesuai untuk melakukan perubahan. Jangan sekedar mengeritik, melempar kesalahan lalu bersembunyi. Karena, dengan mempelajari sejarah sistem yang berlaku akan memberikan satu pemahaman mengapa sistem itu berlaku cukup lama. Jangan karena memang tidak suka atas konten-konten tertentu langsung berpendapat, mengeritik, membiaskan sistem tersebut dengan hal-hal yang buruk di mata publik. Melakukan pembenaran yang picik.

Ir. Soekarno pernah berkata, "Jangan Sampai Melupakan Sejarah". Maksud dari perkataan itu bukan sekedar mengingat semata, terjerembak dalam romansa-romansa masa lalu, namun juga untuk dipelajari kesalahan-kesalahan dan kekeliruan atas suatu hal. Sejenak menoleh ke belakang dan memproses maknanya kemudian lakukan gerakan untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan itu. Lihat prosesnya dahulu jangan langsung menyalahkan dan mengatakan hal itu semua keliru. Pelajari dulu, pahami dulu, dan cermati dulu. Hal itu perlu agar ketika melakukan perubahan tidak keliru.

Pada dasarnya segala sesuatu dibuat ada maksud dan tujuannya. Perlu dimaknai dulu sebuah sistem dibuat maksud dan tujuannya. Mungkin saja, melencengnya penerapan sistem tersebut bukan dikarenakan memang sistemnya sudah bobrok melainkan oknum yang melaksanakannya sudah tidak memahami sistem tersebut dan menyalahartikan dengan penalarannya sendiri. Perlu digarisbawahi hal tersebut. Suatu sistem yang baik akan menjadi buruk karena oknum tertentu menyelewengkannya. 

Terkadang juga, ketika kita sedang ada di dalam sistem kita tidak berani untuk berbuat dan cenderung masa bodoh dengan melencengnya sistem tersebut. Tapi, juga jangan jadi pahlawan kesiangan yang dengan gegap gempita berupaya merombak kekeliruan itu dengan biadab. Seharusnya, bila sudah berada di luar sistem tersebut, kita lebih bisa memaknainya secara objektif dan jangan berpegang pada subjektifitas semu. Dan, semestinya, perubahan atas sistem tersebut jangan ketika kita di luar sistem, melainkan ada di dalam sistemnya.

Berupaya mengorkesi sistem di luar sistem dengan pandangan subjektifitas adalah kebodohan. Pasalnya, koreksinya hanya akan berbuah ketidaksesuaian dan ketidakadilan bagi pelaku sistemnya. Bagi pelaku sistemnya tidak akan mampu berpikir logis dan berimbang karena sudah terdapat suatu opini publik. Hal itu sama saja membunuh upaya berkembangnya karakter dari si pelaku sistem. Tindakan macam itu ialah tindakan pengecut dan merusak dinamika dalam sistem tersebut.

Jangan sampai kita mengutuk oknum perusak sistem hingga menjadi bobrok dan melenceng, lalu malah kita yang menjadi sosok yang kita benci. Kebencian hanya melahirkan kebencian. Suatu siklus lingkaran setan, tiada berujung. Seharusnya, menghadapi kebencian dengan kelapangan, agar kebencian itu pun dapat memudar dengan sendirinya. Selama menghadapi suatu kebencian dengan kebencian hanya akan mengafirmasi diri kita menjadi sosok yang kita benci.