Kamis, 26 Juni 2014

Silaturahim, Capres, dan Pemilu

Tahun ini,  2014, merupakan tahun politik.  Telah kita lalui pileg di bulan april dengan segala intrik dan peristiwanya. Tinggal menghitung hari,bangsa Indonesia akan memasuki pemilihan presiden (pilpres). Namun, perjalanan pemilihan umum (pemilu) tahun ini sungguh berpotensi meretakkan kesatuan bangsa Indonesia. Keretakan yang terjadi karena fanatisme berlebihan para pendukung partai ataupun capres.

Pada pileg kemarin, terlihat bagaimana masyarakat terbagi bukan berdasarkan keberagaman suku bangsanya, melainkan kepada partainya. Pada pileg kemarin pula terjadi kerusuhan yang lebih dahsyat dari kerusuhan di Poso ataupun kerusuhan saat sidang John Kei.  Kerusuhan yang terjadi pada pileg ialah kerusuhan mental. Ya, kerusuhan yang tidak terjadi secara bentrok fisik, namun bentrok kepentingan kelompok partai yang diusung.

Orang saling menyerang dengan biadabnya hanya demi membela partai yang belum tentu mampu mengapresiasi kinerja simpatisannya. Saling menjatuhkan, saling merasa benar. Padahal, kebenaran partai hanya kebenaran subjektif. Selain itu, media pun semakin terlihat belangnya. Tengok saja dua media televisi nasional, Metro TV dan TV One, yang dengan membabi buta membela partai pemilik dua media tersebut, Partai Nasdem (Surya Paloh) dan Partai Golkar (Abu Rizal Bakrie).

Media tak dapat dipercaya, masyarakat saling serang, dan kedengkian pun berkembang pesat. Sungguh suatu kerusuhan luar biasa. Padahal, pemilu diadakan untuk menentukkan pemimpin Indonesia ke depan, bukan sekedar ranah tawuran antar kepentingan.

Saya pribadi, tidak suka dengan atmosfir pemilu tahun ini. Pemilu tahun ini merupakan pemilu kedua yang saya ikuti. Meski demikian, setidaknya saya mengalami masa pemerintahan dari masa akhir orba hingga sekarang. Namun, baru kali ini saya merasakan pemilu yang begitu busuk sepanjang saya hidup. Kasar, intoleran, dan perang hujatan antar simpatisan partai. Perbuatan-perbuatan itu dilakukan dengan kesadaran penuh untuk memenangkan partai politik yang diusung. Sungguh memalukan.

Bila melihat keadaan saat ini, saya pribadi melihat bahwa bangsa ini lebih cocok bila sistem pemerintahannya kerajaan. Pasalnya, setiap tokoh politik tidak dilihat berdasarkan kinerja dan kredibilitasnya, melainkan popularitasnya saja. Setelah populer kemudian dipuja-puja sedemikian rupa selayaknya raja atau ratu. Padahal, belum tentu populeritas diimbangi dengan kualitas. Hal sederhana yang selalu alpa dalam otak masyarakat kita.

Bangsa ini belum sanggup berdemokrasi cerdas. Masih mudah dimobilisasi, masih mudah mengagung-agungkan orang lain, dan terlalu mudah tertipu. Tertipu dengan tampilan fisik, tertipu dengan harta, dan tertipu dengan bujuk rayuan.

Perlu disadari, bangsa ini tak akan besar selama prilaku berpolitik para politikus dan simpatisannya masih seperti ini.  Bangsa kita akan selalu terkerdilkan oleh kelakuan segelintir orang. Bila bicara realitas, kemiskinan di Indonesia bukan kemiskinan harta, melainkan kemiskinan mental. Kemiskinan yang perlu penanganan tepat. Bukan sekedar revolusi mental, yang terkesan masif, atau langkah kedisplinan saja. Namun, perlu penanaman kesadaran sebagai bangsa Indonesia, bukan bangsa yang terbagi atas agama, parpol, dan etnis semata. Indonesia bisa hebat bila tidak melulu mengedepankan kepentingan kelompok semata. Indonesia bisa hebat bila seluruh rakyat Indonesia sadar bahwa Indonesia bukan sekedar kata dan negara, melainkan darah, daging, dan keringat tiap warga negaranya. Jangan mau dipecah karena partai politik, jangan mau dipecah karena perbedaan agama, dan jangan mau dipecah karena imingan harta. Indonesia satu, Indonesia bangkit, dan Indonesia hebat.