Di era digital saat ini, salah satu masalah yang menjadi momok dan mengancam integrasi bangsa ialah hoaks. Sebaran hoaks atau informasi palsu di internet kiranya menjadi ancaman bagi setiap warganet. Sebab, hoaks dapat saja dengan mudah memancing emosi seseorang hingga kerugian secara finansial lantaran tertipu undian berhadiah.
Untuk dapat tak terjebak hoaks tentunya dapat melakukan sejumlah tips-tips mudah. Dilansir dari inilah.com dalam artikel berjudul “Empat Tips Jitu Hindari Hoaks” terdapat tips sederhana dan cukup bisa membuat diri lebih kebal terhadap hoaks. Pertama ialah menemukan sumber asli dari suatu sebaran informasi. Kedua, mengecek faktanya dengan memanfaatkan digital tools seperti mesin pencarian. Ketiga, memperhatikan tiap detil sebaran informasi yang diterima. Dan, keempat, mencari keberagaman kasus dari klaim pada narasi informasi yang beredar.
Langkah-langkah itu kiranya memang perlu dilakukan oleh masyarakat bila tidak ingin terkena hoaks. Apalagi, hoaks memiliki dampak yang merusak. Mulai dari kerugian secara finansial, terpancing emosi, korban jiwa, bahkan disintegrasi bangsa.
Untuk itu, bila memang Indonesia ingin merdeka dari hoaks atau informasi palsu kiranya perlu peningkatan kemampuan literasi digital dari masyarakatnya. Mengacu kepada hasil survei Katadata Insight Center (KIC) bersama Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) pada tahun 2021 diketahui bahwa hasil Indeks Literasi Digital Indonesia berada di level 3,49. Angka tersebut menempatkan indeks literasi digital Indonesia masih dalam kategori sedang dengan skala skor 0-5.
Survei tersebut diikuti oleh 10 ribu responden dari 34 provinsi dan 514 kabupaten/kota dengan jumlah responden berdasarkan jenis kelamin perempuan sebesar 56,6 persen dan laki-laki sebesar 43,4 persen. Sementara untuk pengelompokan generasi, survei itu diikuti oleh 43,8 persen responden Generasi Y/Milenial (23-38 tahun), 28,6 persen Generasi Z (13-22 tahun), 23,9 persen Generasi X (39-54 tahun), dan 3,6 persen Generasi Baby Boomer (55-70 tahun).
Terdapat empat pilar yang menjadi komponen penilaian indeks survei tersebut. Digital Culture atau Budaya Digital memperoleh skor tertinggi dengan angka level sebesar 3,9. Lalu, disusul oleh pilar Digital Ethics atau Etika Digital dengan angka level 3,55. Untuk pilar Digital Skills atau Kecakapan Digital berada di posisi ketiga dengan angka level 3,44. Dan, posisi terendah ialah pilar Digital Safety atau Keamanan Digital dengan angka level 3,1.
Kondisi itu menunjukkan bahwa kondisi literasi digital di Indonesia masih belum dikatakan sempurna. Masih banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan guna meningkatkan kemampuan literasi digital dari masyarakat Indonesia.
Peran pemerintah memang penting dalam meningkatkan tingkat literasi digital di Indonesia. Namun, pemerintah tidak bisa berjalan sendirian. Masyarakat perlu turun tangan dalam upaya meningkatkan tingkat literasi digitalnya dengan cara membangun ekosistem digital baik di lingkungannya.
Contoh sederhananya, bila terdapat suatu sebaran informasi yang tidak jelas kebenarannya di grup warga maka baiknya saling mengingatkan. Bagi yang mengirimkan informasi itu pun perlu kelegaan hati untuk tidak tersinggung bila ditegur, terlebih bila yang menegurnya mungkin usianya lebih muda. Selain itu, perlu juga kesadaran bagi masyarakat untuk terus menyebarkan artikel periksa fakta yang sudah dibuat oleh sejumlah organisasi dan media.
Saat ini kiranya akses terhadap artikel periksa fakta sudah sangat mudah. Sebab, sejumlah media, organisasi sipil, dan unit kegiatan di pemerintah, baik pusat maupun daerah, sudah cukup banyak. Hal itu menyebabkan pengecekan fakta terhadap suatu informasi menjadi lebih mudah dilakukan.
Pada tahun 2019, Indonesia dapat membuktikan bahwa dengan gotong royong bersama-sama maka hoaks bisa dibendung dan pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 dapat terlaksana dengan lancar. Kala itu, sejumlah media dan organisasi sipil yang tergabung dalam aliansi Cekfakta.com menggelar sejumlah kegiatan periksa fakta bersama, seperti Live Fact Checking Debat Pilpres. Hal itu menunjukkan bahwa ikhtiar untuk membuat Indonesia bisa merdeka dari hoaks sudah sangat nyata.
Gerakan kolaborasi itu pun menunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia masih memegang teguh salah satu karakternya, yakni gotong royong. Demi tercapainya Pemilu 2019 yang damai dan tak terusik hoaks, elemen media dan organisasi yang ikut di dalamnya bahu-membahu melawan hoaks bersama. Bak para pejuang yang melawan penjajah dengan bambu runcingnya, para fact checker Indonesia yang ada kala itu melawan hoaks dengan modal kata dan tulisan periksa faktanya.
Kiranya perlu banyaknya kolaborasi lain semacam itu guna menggolkan Indonesia merdeka dari hoaks. Kalau perlu, kolaborasi itu dapat dilkakuan bersama perangkat Pemerintah Daerah yang juga sudah memiliki unit kegiatan periksa fakta, seperti Pemerintah Provinsi Jawa Barat dengan Jabar Saber Hoaks (JSH) dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan Jakarta Lawan Hoaks (Jalahoaks). Sinergi kolaborasi periksa fakta itu kiranya dapat melahirkan inisiatif periksa fakta di daerah-daerah lainnya.
Apalagi, perlu diketahui bahwa saat ini di Indonesia sudah berdiri organisasi mahasiswa periksa fakta yang ada di Universitas Indonesia dengan nama Fact Checker UI. Keberadaan organisasi mahasiswa itu membuktikan bahwa generasi muda di Indonesia memiliki kemauan untuk mewujudkan Indonesia merdeka dari hoaks.
Tak hanya itu, di sejumlah platform media sosial, seperti Facebook dan Instagram, sudah ada fitur flagging atau penandaan konten yang terbukti sebagai hoaks. Fitur itu merupakan bentuk kesadaran dari pihak platform media sosial untuk berbersih diri dari banyaknya hoaks yang tersebar di tubuh media sosial mereka. Dengan demikian, masyarakat pun lebih terbantu untuk membedakan suatu informasi itu fakta atau hoaks.
Hal yang tak kalah penting bila memang Indonesia ingin merdeka dari hoaks atau informasi palsu ialah berhenti mengikuti sejumlah akun media sosial anonim atau sosok di media sosial yang kerap menyebarkan hoaks, bisa dikatakan sebagai buzzer. Dengan melakukan itu, secara tidak langsung maka kita mengasingkan sumber-sumber penyebar hoaks dan membuat mereka tidak mendapatkan keuntungan dari engagement yang terjadi di akunnya. Bahkan, kalau perlu akun-akun penyebar hoaks rajin-rajin dilaporkan kepada pihak platform media sosial agar mendapat sanksi dari pihak platform.
Berbagai hal tersebut memang perlu dilakukan secara konsisten dan masif. Dengan begitu, kita dapat melakukan pembersihan dari berbagai virus penyebar hoaks di ranah digital. Memang butuh waktu yang tak sebentar. Akan tetapi, bila terus dilakukan maka mimpi Indonesia terbebas dari hoaks akan semakin nyata.
Muhammad
Khairil Haesy
Pemeriksa
Fakta Jalahoaks