Selasa, 24 September 2013

Pulau Pari, Swastanisasi Pulau-Pulau Di Kepulauan Seribu



Indonesia memiliki banyak potensi wisata alam yang dapat dimanfaatkan. Sebut saja kepulauan seribu. Di gugusan pulau yang ada di utara Jakarta itu memiliki beberapa objek wisata dengan keindahan alamnya, salah satunya ialah Pulau Pari. Nama Pari berasal dari bentuk pulau yang menyerupai ikan pari. Pulau ini memiliki penduduk lokal, namun ada kabar yang sedikit miris di telingaku. Kabar bahwa penduduk lokal di pulau Pari tidak memiliki tanahnya sendiri.

Ya, pulau Pari merupakan kepunyaan swasta, begitulah yang ku dengar dari penduduk sekitar sini. Ketika “pemilik” pulau itu suatu saat nanti hendak membangun pulau Pari demi kebutuhannya maka warga lokal pulau Pari harus bersiap angkat kaki. Entah kabar itu benar atau tidak. Hanya saja, saat mendengar hal itu sedikit iba hati saya pada para penduduk pulau itu.

Di pulau Pari, penduduk lokalnya tidak hanya berasal dari satu suku saja. Hal itu saya simpulkan ketika mendengar logat dan dialek yang digunakan oleh para penduduk lokal. Ada yang bersuku sunda dan ada yang bersuku Jawa. Meski demikian, warga pulau itu hanya mengatakan diri mereka orang pulau. Identitas suku mereka seakan dikesampingkan. Kondisi yang sekiranya sesuai dengan jargon K Hadjar Dewantara, Bhinneka Tunggal Ika.

Penduduk di sini pun rata-rata menyewakan rumah tinggal mereka sebagai tempat persinggahan para wisatawan. Saat wisatawan datang menginap, si empunya rumah akan menetap sementara di rumah saudaranya di sisi lainnya pulau Pari. Meski sederhana, rumah yang saya dan teman-teman saya tinggali selama di pulau itu cukup nyaman. Terdapatnya Air Conditioning (AC) di rumah singgah kami salah satu faktornya. Selain itu, di pulau ini terdapat pantai yang bernama Pasir Perawan. Dinamakan demikian, menurut pemandu wisata kami, karena pasir di pantai ini masih segar seperti belum tersentuh. Namun, nyatanya yang ada di lapangan pantai ini sudah cukup terkontaminasi sampah. Ya, sudah pasti sampah yang berasal dari para pelancong-pelancong yang datang ke pantai tersebut.

Selain objek wisata Pantai Pasir Perawan, di Pulau Pari juga terdapat wahana rekreasi lainnya bagi para pelancong. Di antaranya, Banana Boat, Sofa Boat, Cano, Camping Stay, Bersepeda, hingga Snorkling. Dengan wahana-wahana rekreasi tersebut, para wisatawan termanjakan dan menjadi betah selama berlibur di Pulau Pari. Salah satu tujuan tour di Pulau Pari ialah Pulau Tikus. Sebuah kepulauan kecil yang terdapat di gugusan kepulauan Seribu. Pulau tersebut merupakan pulau persinggahan untuk beristirahat bagi para wisatawan yang sudah puas snorkling atau penyelaman dangkal. Hanya saja, kondisi pulau tersebut lebih parah dari Pantai Pasir Perawan. Hal itu dikarenakan banyaknya sampah yang menggunung di sisi pantai pulau tersebut. Sampah-sampah tersebut sangat beragam, mulai dari sisa bungkus makanan hingga botol-botol kaca bekas minuman berenergi. Sungguh kotor pantai tersebut. Bila saja lebih diperhatikan kebersihannya, mungkin Pulau Tikus akan menjadi tempat persinggahan wisatawan sehabis penyelaman yang cukup menyenangkan.

Pantai Pasir Perawan


Kepulauan Swasta

Selama liburan saya di Pulau Pari, banyak hal menarik yang saya terima. Salah satunya ialah informasi bahwa kepulauan seribu kini hampir delapan puluh persennya dimiliki swasta. Informasi itu saya dapat dari salah satu instruktur selam yang kami sewa. Saya tidak menanyakan siapa namanya, hanya saja ia mengajak bicara kami yang tidak menyelam.

Awal Pembicaraan kami ialah mengenai perangkat selam. Ia bercerita bila perlengkapan selam dalam atau diving bisa mencapai tiga juta rupiah seperangkatnya. Ia pun bercerita mengenai spesifikasi baju selam, mulai fungsi hingga ketebalannya. Dari pembicaraan mengenai baju selam, ia pun membicarakan mengenai kehidupan pribadinya. Ia menceritakan tempat berkuliahnya dulu. Ia ternyata lulusan Universitas Negeri Jakarta, begitu pengakuannya. Ia pun bercerita tentang adiknya yang mengambil jurusan Bahasa Inggris di Uhamka. Lalu, sampailah pembicaraan kami ke topik yang menarik, yakni kehidupan warga kepulauan seribu.

Dari pembicaraan dengan instruktur selam tersebut, saya mengetahui bahwa kepulauan seribu hampir delapan puluh persennya milik swasta. Pulau yang benar-benar milik pemerintah kota Jakarta hanya dua puluh persen. Ada beberapa perasaan dan pertanyaan yang saya rasakan, pertama percaya tidak percaya. Dalam benak saya, apakah benar demikian? Kalau begitu, bagaimana nasib warga lokal? Pertanyaan-pertanyaan semacam itu mengganggu pikiran saya. Kedua, bila benar itu semua hampir dimiliki pihak swasta, kenapa pemerintah Jakarta tidak ambil tindakan? Apa memang pemerintah Jakarta tidak mampu mengurusnya? Saya rasa, tidak sepenuhnya milik swasta. Namun, instruktur selam tersebut menyatakan ada beberapa nama terkenal yang memiliki kepulauan seribu. Di antaranya ialah Tomy Winata, keluarga Cendana, Abu Rizal Bakri, dan keluarga Megawati Soekarno Putri.

Kesimpulan yang bisa saya dapat dari pembicaraan dengan instruktur selam tersebut ialah sebagian besar pulau di kepulauan seribu bukan milik warganya, melainkan milik pihak swasta yang sewaktu-waktu bisa mengusir warga lokal dari pulau tersebut, salah satunya Pulau Pari. Adapun, cerita instruktur selam tersebut juga menyentil rasa ingin tahu saya untuk mengetahui lebih lanjut tentang kehidupan warga lokal, khususnya warga Pulau Pari. Namun, waktu yang saya punya tidaklah banyak. Bila suatu saat nanti saya sudah memiliki uang yang cukup, saya akan kembali ke pulau ini untuk mengorek lebih banyak cerita.
 

Senin, 16 September 2013

Orang Tua Untuk Anak-Anak Peradaban I



Kahlil Gibran pernah menuliskan sebuah kalimat yang dahsyat menurut saya dalam buku “Sang Nabi”. Kalimat tersebut ialah “Anakmu bukanlah anakmu, ia anak dari sebuah peradaban”. Kalimat ini sangat menarik bagi saya karena dalam kalimat itu Gibran mengingatkan para orang tua jika anak mereka akan terus berkembang seraya perkembangan suatu peradaban sekitarnya.

Namun, akankah semua orang tua akan siap dengan itu? Harusnya setiap manusia yang sudah siap menjadi orang tua haruslah siap. Karena, disadari atau tidak manusia akan berkembang bersandingan perkembangan zaman di era-nya. Anak akan berkembang sesuai eranya dan era itu akan sulit diikuti orang tuanya nanti. Anak pun akan menjadi bagian dari fondasi berkembangnya suatu peradaban.

Bila dipertanyakan, bagaimanakah menjadi orang tua yang ideal bagi seorang anak? Mungkin sulit untuk menjawabnya dengan sempurna, karena tumbuh berkembangnya anak akan bergantung juga pada lingkungan ia berada. Meskipun demikian, peran orang tua sangat penting sebagai penanam kesadaran moral dan etika dasar pada anak. Apa yang harus diperbuatnya dan apa yang tidak. Orang tua berperan besar dalam penanaman moral dan etika dasar dalam seorang anak.

Saya pun teringat dengan proposisi Jawa “ing ngarsa sing tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani” yang sekiranya menurut saya dapat diterapkan untuk menjadi orang tua ideal bagi seorang anak. Ketika anak masih usia kanak-kanak orang tua hendaknya menjadi teladan mutlak bagi anaknya karena fase itu si anak akan membutuhkan suatu sosok yang akan dijadikan fondasi karakternya. Untuk itu, orang tua hendaknya memiliki kesadaran bahwa anak akan melakukan apapun yang ia lihat. Anak tidak mengerti mana salah dan benar. Orang tua harus memberikan contoh dalam berbagai lini pada anak fase kanak-kanak. Bagaimana bersikap pada orang lain, bagaimana bersosialisasi, apa yang boleh dan tidak untuk dilakukan kepada orang lain dan lain sebagainya.

Beranjak remaja, anak akan memilah-milih sosok yang akan diidolakannya. Baik berasal dari kehidupan sebenarnya maupun dari dunia imajinasinya. Bisa jadi si anak akan mengidolakan pemusik idolanya ataupun mengidolakan tokoh yang ada dalam sebuah cerita fiksi. Untuk itu, orang tua harus mampu mengarahkannya dengan posisi sebagai teman. Orang tua harus mampu untuk mengarahkan kemauan dan kehendak anaknya agar bisa terarah untuk mencontoh sosok idolanya. Hal itu perlu agar anak tidak salah arah dalam mereduplikasi perilaku atau karakter dari tokoh yang diidolakannya. Dalam fase remaja memang sesekali orang tua harus mengubah peran teman menjadi orang tua bila perilaku anak sudah mulai mengkhawatirkan. Namun, tindakan itu merupakan tindakan terakhir bilamana negosiasi dengan si anak tidak berjalan mulus atau mengalami jalan buntu.

Saat sudah dewasa, peran orang tua agaknya harus berubah 180 derajat. Pada fase dewasa, anak akan sulit sekali menuruti orang tua untuk hal-hal yang menurutnya benar. Untuk menghadapi anak pada fase ini, orang tua haruslah menjadi energi pendorong sehingga anak menjadi lebih bertenaga untuk menghadapi masalah-masalah di depannya. Untuk dapat seperti itu, orang tua hendaknya mampu bercengkrama dengan anak dan menjadi penyedia saran serta kebijaksanaan bagi anak. Dengan menyediakan saran dan kebijaksanaan bagi si anak, maka anak akan belajar melihat masalah dari berbagai sudut pandang dan mencari solusi pada suatu masalah dengan seksama.

Menjadi orang tua memanglah tidak mudah. Ia harus memiliki kesabaran, ketelatenan, keuletan, dan determinasi diri sehingga tindak-tanduknya bisa menjadi keteladanan bagi anak. Anak haruslah didampingi oleh orang tuanya hingga kapanpun. Hanya saja, takaran pendampingan orang tua kepada anak berbeda-beda pada fase umurnya. Orang tua yang ideal merupakan orang tua yang mampu mendampingi anaknya dengan fleksibel dan mampu mencari celah untuk dapat berkomunikasi dengan anak.