Rabu, 12 Agustus 2015

Tontonan Anak Dan Persoalan Bangsa

Memperhatikan dinamika pertelevisian saat ini sungguh membuat pusing kepala. Ya, lihat saja tontonan televisi yang kerap menampilkan kemonotonan tema dan selalu melakukan repetisi format acara hanya untuk mengejar rating. Juga tengok perihal pemberitaan. Sudah jauh dari kesan pemberitaan berimbang, berbobot, dan berilmu.

Ada yang salah dengan dunia pertelevisian Indonesia. Beragam acara yang melanggar masih terpelihara dengan apik di stasiun televisi tanpa ada pemberhentian. Sebut saja beberapa serial televisi, Tukang Bubur Naik Haji, Ganteng-Ganteng Serigala, dan 7 Manusia Harimau yang dengan leluasa lenggak-lenggok di layar kaca. Padahal, dampak negatif sudah sangat nyata menghantui di depan mata.

Coba tengok anak-anak yang menjadikan tontonan seperti itu sebagai sarapan sehari-harinya. Ada gegar imajinasi dan salah kaprah pemahaman mengenai interaksi sosial. Ada yang berlomba-lomba berperilaku kehewan-hewanan dan ada pula yang berlomba mendapatkan "cinta" yang belum pantas mereka lakonkan. Sungguh sudah status siaga keadaan anak-anak saat ini.

Padahal, pada era 80 hingga 90-an televisi masih disesaki tontonan layak untuk anak. Sebut saja Keluarga Cemara, Unyil, Si Komo, Tralala-Trilili, dan acara menggambar Pak Tino Sidin. Melalui acara-acara tersebut, anak-anak dilatih sisi imajinasi, kreatifitas, sisi humanisme, dan perilaku kanak-kanak yang menyenangkan. Tak hanya itu, tontonan semacam itu menjadi tuntunan anak-anak memahami bagaimana seharusnya berperilaku, berinteraksi, dan nilai-nilai dalam masyarakat.

Jika dibandingkan dengan generasi masa kini, generasi 80 dan 90-an merupakan generasi anak-anak bahagia. Mereka merasakan bagaimana menjadi anak yang bertingkah-polah selayaknya anak-anak. Sekarang, kita sering menemukan anak-anak mudah sekali berujar "cinta" padahal belum memahami apa bentuk konsekuensi dan tanggung jawab ketika mengenal "cinta". Koridor tata nilai kita sudah rusak.

Kita dapat dengan mudah menyalahkan budaya asing yang telah mencengkramkan cakarnya di negeri kita tercinta. Tapi, bukan soal itu saja yang menjadi persoalan besarnya. Persoalan terbesarnya ialah kita membiarkan diri kita terbuai dengan dampak negatif yang terselip dari keindahan budaya asing. 

Harusnya, setiap kepala kita berpikir, apakah Indonesia ini memiliki budaya yang menjadi identitas bangsa? Saya bisa menjawab dengan lantang. Kita belum mempunyai identitas budaya. Karena, yang kita miliki ialah budaya daerah yang menjadi identitas. Dengan begitu, secara tak sadar kita sudah mengotak-ngotakkan diri kita menjadi banyak kotak berdasarkan latar budaya daerah masing-masing. Kita bersatu dalam negara Indonesia hanya karena disatukan oleh bahasa Indonesia yang kadang belum mampu dikuasai sepenuhnya oleh perindividu kita.

Apa yang kita lakukan? Kita hanya berkutat pada isu remeh, seperti isu agama, suku, dan politik, yang berpotensi memperuncing perpecahan. Dan, itulah yang disaksikan oleh anak-anak. Kesibukan kita membahas hal remeh menjadikan kita membiarkan anak-anak terbuai oleh tontonan tak layak dan tak berbuat apa-apa untuk mencegah anak-anak kita terhipnotis dengan beragam tontonan beracun tersebut.

Seharusnya, kita bersatu untuk anak-anak kita. Bersatu untuk memberikan sebuah tuntunan agar anak-anak mau dan mampu bersikap kritis atas segala suguhan yang ada di layar kaca. Dengan begitu, tanpa dipantau pun anak-anak akan membiasakan diri memborder diri mereka dari tontonan tidak layak. Ketika tontonan tak layak bagi anak-anak tidak lagi ditonton maka dengan sendirinya tontonan itu akan "terbungkus". 

Mulai dari diri kita untuk tidak mempersalahkan dan menghujat. Mulai untuk membenahi diri sendiri dan melihat segala hal dengan kacamata yang lebih luas. Dan, mulailah dengan bersatu menghentikan tontonan racun demi anak-anak kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar