Televisi telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat modern. Televisi telah menjadi all in one entertainment yang murah meriah khalayak ramai. Semua program televisi sejatinya ada untuk menghibur penonton sehingga sejenak bisa melepaskan penat pikiran mereka.
Akan tetapi, kini hiburan itu semakin tidak jelas arahnya. Sebab, seluruh program televisi saat ini mayoritas setipe dan monoton. Beberapa televisi bahkan menjual sinetron murahan dengan plot cerita yang mudah tertebak. Bahkan, ada beberapa sinetron yang menjual romansa tidak sesuai dengan usianya.
Mata kita saat ini sangat lumrah melihat adegan anak sekolah bercinta-cintaan dengan berbagai intrik yang di luar nalar. Selain itu, kita juga dipertontonkan gaya anak muda yang sangat jauh dari kondisi sebenarnya anak sekolah, khususnya perihal gaya hidup.
Hal ini sangat mengganggu saya lantaran banyak anak-anak yang akhirnya meniru berbagai tontonan "sampah" itu dalam kehidupan sehari-harinya. Sebagai orang tua, saya melihatnya sebagai kondisi yang miris lantaran sulitnya bagi orang tua untuk menyortir berbagai tontonan itu pada anak. Mereka, anak-anak, terpaksa disuguhkan tontonan yang belum sepenuhnya mereka pahami.
Bila membuka lembar kenangan masa lalu saya, dulu begitu banyak tontonan layak untuk anak. Berbagai serial kartun di hari minggu bertebaran memanjakan anak-anak era tahun 90-an. Bahkan, bagi generasi 80-90-an yang kini telah dewasa, kenangan itu membekas dan membuat sebagian besar mereka ingin me-rewind kenangan itu hingga mencari tontonan kartun kenangan di internet.
Seandainya para pemilik televisi itu bisa melupakan sejenang perihal rating program yang dijual oleh lembaga rating program televisi Nielsen dan membuat tontonan yang layak, tentu berbagai acara "sampah" tak akan berkeliaran di stasiun televisi mereka.
Sayangnya, hal itu kiranya tidak akan mereka lakukan. Sebab, uang lebih penting ketimbang masa depan anak-anak Indonesia.
Tapi, bila boleh memberikan sedikit pemikiran saya, ada baiknya para pengusaha televisi tidak lagi bergantung pada rating yang notaben penilaiannya kurang jelas. Coba fokus untuk membuat program televisi berkualitas yang tidak melulu meniru program lainnya.
Saya rasa, banyak anak muda kreatif dengan ide cemerlang dan brilian yang bisa diajak diskusi untuk membuat sebuah program televisi berkualitas. Pastinya, akan banyak variasi program televisi yang tak melulu menjual cinta-cintaan khas sinetron "alay".
Hingga saat ini, mungkin program televisi cukup "aman" ditonton baru ada di NET TV (bukan promosi). Alasan saya mengatakan hal itu lantaran stasiun televisi itu menyajikan banyak tontonan variatif dan tidak melulu meniru patron yang ada.
Segi sinematografinya pada sinema serinya berbeda dengan berbagai sinetron "alay" yang tersebar hampir di seluruh stasiun televisi nasional. Selain itu, penonton NET TV tidak melulu disuguhkan drama semata, ada berbagai bentuk variety show yang berbeda-beda karakternya.
Tontonan semacam itu yang saya rindukan sejak lama. Mantengin NET TV tidak membuat saya jenuh dan bosan lantaran beragam variasi programnya. Kiranya, televisi nasional yang sudah lebih dahulu ada bisa belajar kepada juniornya itu untuk membuat program televisi berkualitas.
Saya rasa, banyak penonton televisi yang merindukan program televisi berkualitas. Jadi, bagi pengusaha televisi nasional, cobalah untuk menurunkan bebal otak kalian dan mulai berpikir jernih untuk menyajikan program televisi berkualitas.
Kamis, 06 April 2017
Cerdaslah Menjadi Pemilih dan Pengguna Medsos
Melihat fenomena pemilihan kepala daerah (Pilkada) akhir-akhir ini memberikan beberapa pelajaran bagi saya. Pertama, tingkat kepedulian dan partisipatoris masyarakat Indonesia, khususnya di daerah yang tengah menyelenggarakan semakin tinggi. Hal itu bisa terlihat dari berbagai macam keikutsertaan masyarakat dalam rangkaian Pilkada, mulai dari kampanye hingga mengikuti acara debat resmi Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD).
Apalagi, bila menilik aktifitas di dunia media sosial (medsos). Banyak pengguna akun medsos yang senantiasa mendengungkan dan mengkampanyekan jagoan masing-masing. Keadaan ini bisa dikatakan sebagai suatu kondisi positif lantaran masyarakat Indonesia tidak lagi awam terhadap dunia politik.
Kedua, pola kampanye para calon kepala daerah semakin kreatif dan mencoba menarik perhatian pemilih pemula. Idenya pun beragam, mulai dengan pendekatan humor satire hingga video kampanye memaparkan visi misi kandidat calon.
Kiranya berbagai pendekatan mulai digunakan secara unik agar dapat lebih menonjol ketimbang calon lainnya. Ide-ide kreatif para tim sukses di balik layar tentunya patut diacungi jempol. Sebab, kini kampanye tidak hanya identik dengan konser musik alakadarnya ataupun tebar pesona melalui poster ataupun baliho.
Dan, ketiga, munculnya ruang terbuka bagi masyarakat untuk lebih mengenal calon kandidat yang akan dipilihnya. Tentunya, hal ini dipengaruhi akan kemajuan teknologi. Kini, siapapun bisa mencari informasi sebanyak mungkin mengenai calon kandidat. Bahkan, calon pemilih bisa update dengan leluasa mengenai visi misi ataupun kegiatan calon kandidat selama masa kampanye keliling.
Pastinya, berbagai akses informasi itu akan sangat membantu calon pemilih untuk menentukan pilihannya kelak di bilik pencoblosan. Pemilih menjadi dimudahkan dengan segala fasilitas yang ada untuk mendapatkan informasi.
Meski begitu, momen Pilkada tentunya memunculkan beberapa masalah sosial yang juga baru ada saat ini. Salah satu contoh yang paling saya tidak sukai ialah munculnya gesekan kontraproduktif antar tim sukses ataupun pendukung pasangan calon.
Berbagai akun medsos anonim bermunculan mencerca, mencela, bahkan menyebarkan kampanye hitam terhadap calon kandidat yang tengah berkompetisi. Adapun, hal itu bukanlah hal yang baik dilakukan meski dalam demokrasi penggunaan cara seperti itu mungkin saja diperbolehkan.
Gesekan paling banyak memang terjadi di ranah dunia maya. Akan tetapi, ada kalanya gesekan itu terealisasikan dalam dunia nyata. Berdasarkan pengalaman pribadi, beberapa kawan saya menjadi bermusuhan lantaran terlalu getol membela jagoan mereka. Padahal, beberapa tahun silam, mereka adalah kawan karib yang sudah selaiknya saudara.
Kondisi seperti ini yang membuat saya jemu dan jengah akan keadaan kampanye di dunia maya. Hal terparah ialah ada beberapa kawan saya berkoar-koar akan calon yang tidak berlaga di daerahnya. Tentunya, boleh saja mereka berkomentar mengenai Pilkada yang terjadi di luar daerahnya, khususnya mengenai Pilkada DKI Jakarta. Namun, bagi saya itu hanya buang-buang waktu dan tenaga lantaran efek yang akan diterima mereka tidaklah signifikan akan siapa pemenang Pilkada di daerah lain.
Kiranya, perlu kesadaran dari masing-masing kita untuk menahan diri dan tidak terlalu memaksakan menjagokan kandidat calon secara berlebihan. Sebab, sebaik-baiknya calon kandidat kepala daerah mereka tetaplah manusia.
Mereka bukanlah dewa yang harus disembah-sembah atau Tuhan yang menjelma dalam raga manusia. Mereka manusia biasa, sama halnya dengan kita semua. Jadi, jangan terlalu buta membela mereka seolah-olah merekalah Sang Juru Selamat umat manusia.
Selain itu, medsos bukanlah sekedar media kampanye politik semata. Banyak hal yang bisa dilakukan secara positif dan produktif melalui medsos. Coba tinggalkan aroma persaingan Pilkada dan gunakan medsos secara cerdas.
Akhir kata, tulisan ini sebenarnya hanya sebagian dari curahan hati yang saya pendam lantaran malas melihat tingkah polah banyak pendukung calon hilir mudik di medsos saya. Ada baiknya, mari kita bersama-sama menjadi pemilih dan pengguna medsos yang cerdas. Tak perlu terlalu getol membela calon kandidat, cukup pantau, pelajari, dan pertanyakan visi misi para calon kandidat. Bedah program mereka, cerna, dan tentukan pilihanmu.
Apalagi, bila menilik aktifitas di dunia media sosial (medsos). Banyak pengguna akun medsos yang senantiasa mendengungkan dan mengkampanyekan jagoan masing-masing. Keadaan ini bisa dikatakan sebagai suatu kondisi positif lantaran masyarakat Indonesia tidak lagi awam terhadap dunia politik.
Kedua, pola kampanye para calon kepala daerah semakin kreatif dan mencoba menarik perhatian pemilih pemula. Idenya pun beragam, mulai dengan pendekatan humor satire hingga video kampanye memaparkan visi misi kandidat calon.
Kiranya berbagai pendekatan mulai digunakan secara unik agar dapat lebih menonjol ketimbang calon lainnya. Ide-ide kreatif para tim sukses di balik layar tentunya patut diacungi jempol. Sebab, kini kampanye tidak hanya identik dengan konser musik alakadarnya ataupun tebar pesona melalui poster ataupun baliho.
Dan, ketiga, munculnya ruang terbuka bagi masyarakat untuk lebih mengenal calon kandidat yang akan dipilihnya. Tentunya, hal ini dipengaruhi akan kemajuan teknologi. Kini, siapapun bisa mencari informasi sebanyak mungkin mengenai calon kandidat. Bahkan, calon pemilih bisa update dengan leluasa mengenai visi misi ataupun kegiatan calon kandidat selama masa kampanye keliling.
Pastinya, berbagai akses informasi itu akan sangat membantu calon pemilih untuk menentukan pilihannya kelak di bilik pencoblosan. Pemilih menjadi dimudahkan dengan segala fasilitas yang ada untuk mendapatkan informasi.
Meski begitu, momen Pilkada tentunya memunculkan beberapa masalah sosial yang juga baru ada saat ini. Salah satu contoh yang paling saya tidak sukai ialah munculnya gesekan kontraproduktif antar tim sukses ataupun pendukung pasangan calon.
Berbagai akun medsos anonim bermunculan mencerca, mencela, bahkan menyebarkan kampanye hitam terhadap calon kandidat yang tengah berkompetisi. Adapun, hal itu bukanlah hal yang baik dilakukan meski dalam demokrasi penggunaan cara seperti itu mungkin saja diperbolehkan.
Gesekan paling banyak memang terjadi di ranah dunia maya. Akan tetapi, ada kalanya gesekan itu terealisasikan dalam dunia nyata. Berdasarkan pengalaman pribadi, beberapa kawan saya menjadi bermusuhan lantaran terlalu getol membela jagoan mereka. Padahal, beberapa tahun silam, mereka adalah kawan karib yang sudah selaiknya saudara.
Kondisi seperti ini yang membuat saya jemu dan jengah akan keadaan kampanye di dunia maya. Hal terparah ialah ada beberapa kawan saya berkoar-koar akan calon yang tidak berlaga di daerahnya. Tentunya, boleh saja mereka berkomentar mengenai Pilkada yang terjadi di luar daerahnya, khususnya mengenai Pilkada DKI Jakarta. Namun, bagi saya itu hanya buang-buang waktu dan tenaga lantaran efek yang akan diterima mereka tidaklah signifikan akan siapa pemenang Pilkada di daerah lain.
Kiranya, perlu kesadaran dari masing-masing kita untuk menahan diri dan tidak terlalu memaksakan menjagokan kandidat calon secara berlebihan. Sebab, sebaik-baiknya calon kandidat kepala daerah mereka tetaplah manusia.
Mereka bukanlah dewa yang harus disembah-sembah atau Tuhan yang menjelma dalam raga manusia. Mereka manusia biasa, sama halnya dengan kita semua. Jadi, jangan terlalu buta membela mereka seolah-olah merekalah Sang Juru Selamat umat manusia.
Selain itu, medsos bukanlah sekedar media kampanye politik semata. Banyak hal yang bisa dilakukan secara positif dan produktif melalui medsos. Coba tinggalkan aroma persaingan Pilkada dan gunakan medsos secara cerdas.
Akhir kata, tulisan ini sebenarnya hanya sebagian dari curahan hati yang saya pendam lantaran malas melihat tingkah polah banyak pendukung calon hilir mudik di medsos saya. Ada baiknya, mari kita bersama-sama menjadi pemilih dan pengguna medsos yang cerdas. Tak perlu terlalu getol membela calon kandidat, cukup pantau, pelajari, dan pertanyakan visi misi para calon kandidat. Bedah program mereka, cerna, dan tentukan pilihanmu.
Langganan:
Postingan (Atom)