Sayup-sayup terdengar suara kicau burung, merdu laksana alunan simfoni kehidupan. Suara jam wekerku kini tak kudengar, dan mataku tak lagi menatap langit-langit kamar kos-kosan, ternyata aku masih di dalam gua. Kehangatan yang kurasakan semalam, hanya halusinasi.
Sudah lama memang aku tak bersua dengan ibuku. Semenjak aku hijrah ke Depok, tempat aku berkuliah. Padahal, jarak rumahku hanya berbeda beberapa kilometer dari kampusku. Tapi kini aku berada di tempat yang tak kuketahui, hutan penuh keanehan dalam semalam, dan gua yang membuatku merindukan rumah serta keluarga.
Ku coba bangkitkan tubuhku yang masih merasa lelah. Aku mencari sebuah petunjuk, di manakah keberadaanku kini. Sejauh mataku memandang, hanya dinding gua yang dipenuhi lumut dan ilalang-ilalang. Ku coba mencari sinar pelangi yang menuntunku ke gua ini, namun ia tela sirna, hilang bersama terbit sang mentari. Tak ada penunjuk arah, aku pun berjalan menyusuri gua, menuju jauh ke dalam.
Kaki ini melangkah tanpa tujuan di dalam gua. Semakin kaki ini melangkah, semakin gelap suasana sekitar. Mata tak dapat lagi melihat apapun di depan raga ku. Hanya rabaan tanganku yang menuntun ke mana arah kaki ini melangkah. Jauh di lubuk hatiku, aku yakin, di dalam gua ini semua pertanyaanku selama ini akan terjawab. Aku yakin.
Bermodalkan keberanian dan benda yang ku pungut di hutan, tongkat dan medali garuda, aku terus menuju dasar gua. Jantung berdegup kencang, khawatir ada bahaya menghadang. Namun, semua itu ku coba untuk sirnakan dari lubuk pikiran. Terkadang, aku disana suara-suara tak berwujud, membuat aku getir menyambut asal suara itu. Terdenganr sangat kecil suara berdecit, mungkin itu tikus. Membuang rasa takut, menjauhi rasa khawatir, aku terus melangkah, mencari jawaban keberadaanku di tempat yang asing ini.
Setelah kira-kira dua jam lewat, aku sudah sampai di perut gua. Sebuah ruangan yang sangat luas dengan sebuah istana di dalamnya. Istana dengan warna putih disertai ornamen-ornamen berupa patung garuda dengan warna merah dan emas. Istana itu begitu terang, seakan-akan menjadi sumber cahaya di dalam gua ini. Di tengah-tengah istana tersebut, terlihat sebuah menara tinggi menjulang hingga hampir menyentuh langit-langit gua. Di dinding menara tersebut terdapat sebuah ukiran batu bergambar garuda yang serupa dengan gambar garuda yang ada di medali dan tongkat di genggamanku.
Terlihat cahaya benderang berterbangan di sekitar istana itu, sangat indah. Dari balik cahaya itu, muncul seorang gadis yang melekat dalam ingatan. Dia gadis yang hadir dalam mimpi-mimpi burukku, ya itu memang dia.
“Selamat datang, Gibran”, ujar gadis itu dengan tenang.
“Siapa kau? Kenapa kau tahu namaku?”, tanyaku tanpa jeda.
“Akan ku jelaskan semuanya di dalam”, jawabnya singkat, “Mari”. Gadis itu berjalan menuju istana yang megah itu. Aku pun mengikutinya hanya ingin mendengar jawaban sebenarnya dari gadis itu.
Memasuki gerbang istana, aku melihat banyak patung-patung berukirkan gambar garuda dan simbol-simbol berbentuk api. Ku lihat gadis itu menuju sebuah pintu besar dengan ornamen garuda berwarna merah, ia pun berhenti di depan pintu itu.
“Sebelum kita memasuki ruang Raja, ijinkan saya mengenalkan diri”, ujarnya dengan tenang, “Nama saya Salma, panjangnya Salma Karamy”.
“Lalu, untuk apa saya ada di sini? Mengapa saya?”, tanyaku bertubi-tubi.
“Semua akan dijawab oleh Baginda Raja”. Lalu ia membuka pintu besar itu.
Begitu pintu itu terbuka, aku melihat sepasang singgasana tepat 10 meter setelah pintu besar itu. Tergelar permadani berwarna merah dan tiang-tiang lilin berornamenkan gambar garuda merah. Ruangan yang begitu megah, dan indah.Terdapat sebuah pancuran kecil di dekat singgasana dengan ornamen mahkota yang besar dan dipenuhi warna emas.
Pandangan mataku kemudian tertuju pada sebuah lukisan besar di belakang dua singgasana itu. Lukisan tiga ekor burung, Garuda, Merak, dan Cendrawasih. Tiga ekor burung yang saling berhadapan menghadap sebuah titik lingkaran api di tengah lukisan itu. Apa maksudnya? Tak tahu apa maksudnya. Setelah terpukau dengan gemerlap ruangan itu, mataku menuju ke arah pergerakan Karamy yang berjalan perlahan menuju belakang dua singgasana itu.
“Kau lihat lukisan ini?”, tanya Karamy dengan menunjuk lukisan tiga ekor burung itu.
“Ya pastinya”, jawabku singkat, “Memangnya, itu lukisan apa?”.
“Ini lukisan yang melambangkan tiga pendiri kerajaan Agni ini”.
“Oh, jadi aku berada di dunia antah-berantah yang bernama Agni”.
“Ya, dan negeri ini membutuhkanmu”. Kemudian Karamy bergerak perlahan menuju sebuah pintu di samping kanan lukisan itu. “Ikuti aku”, ujarnya.
Aku pun mengikutinya, dengan tanpa ragu, untuk mendapatkan semua pertanyaan dari dalam benakku. Pertanyaan mimpi burukku.
Sebuah lorong panjang dengan penerangan berupa lilin namun tak berbatang. Redup, namun terang. Terasa kehangatan yang berbeda dari panasnya lilin. Karamy terlihat santai berjalan, namun dengan aura kebimbangan dalam langkahnya. Seperti sebuah beban berat menahan langkahnya. Terlihat pula siluet murung wajah Karamy, seraya menahan air mata dari lubuk hatinya.
Langkah kaki Karamy berhenti di sebuah prasasti besar. “Ini adalah prasasti ramalan di negeri kami”, ujarnya sendu.
“Tentang apa prasasti itu?”, tanyaku.
Karamy diam sejenak, lalu berkata, “Kisah dalam prasasti ini adalah tentang orang yang akan menyelamatkan kami”.
“Menyelamatkan dari apa ?”.
“Dari kehancuran total”, jawabnya dengan getir.
Mendengar jawaban Karamy, aku tersentak, dan akhirnya aku tahu rona cemas wajahnya selama dalam mimpiku dan saat aku bertemu dengannya. Sungguh wajah yang membekas penuh kegelisahan.
“Kehancuran?”, tanyaku gemetar, “Siapa yang ingin menghancurkan negeri ini?”.
Karamy berjalan perlahan menuju sebuah tirai di samping prasasti itu. Ia menarik seutas tali besar yang ada di sebelah kanan tirai yang berwarna merah keemasan. Tirai besar itu perlahan terbuka, dan terdapat sebuah lukisan di baliknya. Lukisan yang menggambarkan sembilan ekor monster dengan rupa menyeramkan.
“Mereka yang akan menghancurkan negeri ini, mereka ialah siluman biju”, ujar Karamy.
“Apa itu biju?”, tanyaku penasaran.
“Biar Baginda Raja yang memberitahukan, mari kita beranjak ke tempat raja”. Karamy pun berjalan perlahan menuju belakang prasasti, ternyata ada jalan rahasia di sana. Dengan rasa penasaran, aku mengikutinya. Berjalan dalam sebuah lorong temaram, hanya disinari obor, aku berpikir tentang semua cerita Karamy. Tak masuk akal, namun sepertinya itu sangat mengkhawatirkan Karamy.
Selang lima menit berjalan, akhirnya aku dan Karamy sampai pada sebuah ruangan berbentuk oval dengan patung di tengah ruangan. Patung sesosok pria berjanggut sepanjang leher, dan dengan ornamen selayaknya raja.
“Apakah ini rajamu, Karamy?”, tanyaku, “Ini hanya sebuah patung, bukan manusia. Bagaimana aku mengerti masalahmu? Jika hanya ada patung yang akan menjelaskan itu semua?”.
Karamy tersenyum dan berkata, “Tunggu saja sebentar”.
Tiba-tiba dari pintu masuk di belakangku melesat sebuah sinar. Sinar pelangi yang mengantarkan aku ke mulut gua. Sinar itu berputar-putar dalam ruangan, dan akhirnya melesat masuk ke dalam patung raja itu. Saat mataku masih terperangah dengan kehadiran kembali sinar itu, patung batu itu kemudian bergerak, seakan-akan ingin melepaskan diri dari belenggunya. Mataku tak dapat berkedip, ku menoleh ke Karamy, dan kulihat, Karamy diam dengan tenang.
Patung itu retak perlahan, dari balik retakan itu terlihat sebersit warna kulit manusia. Patung itu hidup, pikirku. Retakan itu semakin besar dan pecah dengan teratur. Dan akhirnya, di hadapanku bukan lagi patung, namun sesosok pria berjanggut yang penuh dengan aura kebijaksanaannya.
“Kenapa terdiam, wahai anak muda?”, sapa pria berjanggut yang baru saja keluar dari sesosok patung itu.
“Ini adalah raja kami, Sri Maharaja Odin”, ujar Karamy.
“Odin?”, ujarku.
“Hahahahahahahahahahahahahahahahaha”, tawa Odin menggelegar di ruangan kecil itu. “Ya, aku Odin, Raja dari negeri ini, negeri Agni”.
“Memangnya kenapa kalau engkau adalah seorang raja?”.
Sesaat mendengar pertanyaanku, Odin terdiam. “Hahahahahahahahahahahaha”, tawanya kembali menggelegar, memecah hening beberapa menit yang lalu. “Gibran Anwar, ku pahami kau tak mengerti, karena kita berbeda dunia”. Setelah berkata seperti itu, pria besar dengan tinggi sampai 2 meter itu menghampiri Karamy.
“Karamy, kau sudah menjalankan tugas dengan baik”, ujarnya kepada Karamy disertai tepukan di bahunya.
Karamy kemudian bersimpuh di hadapan Odin dan berkata, “Sebuah kebanggaan bagi hamba, wahai Maharaja Odin”.
Odin kemudian membungkuk dan mengangkat Karamy. “Tak usah terlalu sungkan, aku sama saja sepertimu, hanya seorang manusia, namun dengan tanggung jawab yang lebih besar darimu”, sahut Odin dengan mata penuh kehangatan.
“Hei Odin, kau masih punya hutang penjelasan padaku”, selaku di tengah-tengah pembicaraan Odin dan Karamy.
“Hahahahahahahahahahaha”, tawa Odin. “Maaf, saya lupa ada engkau, Gibran”.
“Kalau sudah ingat, sekarang jelaskan, apa maksudmu menculik saya ke negeri antah-berantah ini”.
Odin kemudian menghampiri singgasana batunya, dan ia menghembuskan nafas yang terasa berat untuk dilepaskan. Sepertinya, cerita yang akan disampaikannya merupakan cerita yang penuh dengan kedukaan mendalam. “Baiklah”, ujarnya, “Aku akan bercerita semuanya”.
“Semua berawal saat empat kerajaan di negeri ini, yaitu Agni, Bayu, Baruna, dan Antaboga menghadapi sebuah ancaman serius dari seorang penyihir yang bernama Loki. Loki merupakan penyihir yang tersohor akan kekuatan magisnya. Seorang penyihir yang selalu mengenakan jubah berwarna hitam dan selalu membawa tongkat dengan ornamen sayap kelelawar di ujung tongkatnya. Ia memang seorang penyihir yang sakti dan tak terkalahkan. Namun, ia selalu merasa bahwa keempat kerajaan di dunia ini mencemoohnya. Padahal, tidak satupun dari kami yang mencemooh ataupun mengejek Loki. Kami, raja dari masing-masing kerajaan, mencoba untuk menjelaskan kepada Loki, namun semua dimentahkan begitu saja. Loki hanya ingin berdamai dengan empat kerajaan, jika empat kerajaan tersebut tunduk di bawah kuasa Loki. Mendengar hal itu, kami keempat raja sempat bimbang. Kemudian Loki mengatakan, jika ia tidak dapat jawabannya hingga matahari terbenam, maka ia akan menghancurkan keempat kerajaan yang ada di dunia ini. Kami pun semakin bimbang, jika kami melawan Loki, akan sulit untuk menang. Hingga akhirnya, Maharaja Fuujin dari negeri Bayu mengusulkan untuk memanggil pendeta suci dari negeri Persian, Adonis”.
Odin kemudian bangkit dari singgasananya dan menuju sebuah lukisan di belakang singgasananya. Sebuah lukisan yang remang tidak terlalu terlihat, karena cahaya ruangan yang tak begitu terang. “Kami kemudian mencari Adonis”, ujar Odin dengan serius sembari mengusap-usap janggutnya, “Pencarian kami tidak lama, karena kami sudah tahu di mana keberaaan Adonis. Ia selalu ada di pertapaannya, Svarga”.
Odin kemudian berbalik menuju singgasananya. “Kami berhasil menemuinya”, ujarnya, “Kami berdiskusi mengenai Loki pada Adonis. Dengan senyumnya, Adonis hanya menyarankan kami untuk membawa dirinya ke hadapan Loki sesaat matahari hendak terbenam. Dan akhirnya kami membawanya dengan secepat mungkin menuju kerajaan Agni, sebagai tempat yang dipilih Loki untuk membawa terornya kembali. Tepat sebelum matahari terbenam, Loki sudah hadir di depan pintu kerajaan ini. Ia terlihat bersama tiga orang kepercayaannya. Di sebelah kirinya terlihat sesosok manusia dengan perawakan sedang, tidak terlalu tinggi dan juga tidak terlalu besar. Ia menggunakan kulit serigala sebagai bajunya, dan dua bilah pisau kecil di pinggangnya. Ia dikenal sebagai Taring Serigala, Fenrir. Lalu, lelaki kedua di sebelah kanan Loki, ia lelaki dengan perawakan lebih kecil dengan selendang terbuat dari kulit ular. Ia membawa tongkat dengan tengkorang kepala ular di atas tongkatnya. Ia juga menggunakan jubah yang bercorakkan kulit ular, dan membawa seekor ular yang melingkar di tangan kirinya. Lelaki itu ialah orang yang dijuluki Ular Berbisa dari Samudra Hitam, Jormungand. Selain mereka berdua, Loki juga didampingi seorang perempuan yang berjalan tepat di belakangnya. Perempuan itu memiliki rambut yang panjang dan terurai. Ia mengenakan baju jubah layaknya Jormungand, namun dengan corak kulit Jaguar. Ia tidak terlalu tinggi, setinggi Loki. Perempuan itu dikenal dengan julukan Ratu Neraka, Hel”.
“Lalu, hubungan ceritamu dengan keberadaanku di negeri ini apa?”, tanyaku menyelak, “Beri penjelasan bagian itu saja”.
“Sabar anak muda”, jawab Odin tenang, “Biarkan aku menyelesaikan ceritaku. Ku lanjutkan lagi ceritaku. Loki dan ketiga ajudannya itu sampai di aula kerajaan Agni, Aula Phoenix. Ia dengan tawa liciknya menagih janji kami, keempat Maharaja dari keempat kerajaan di dunia ini. Sebelum kami menjawab tantangan dari Loki, Adonis masuk ke dalam aula dengan tenang dan tanpa gentar. Loki terkejut dengan kedatangan Adonis. Tanpa banyak ucap, Loki dan ketiga ajudannya menyerbu Adonis dengan murka. Namun, Loki dan ketiga ajudannya berhasil dikalahkan oleh Adonis dengan sigap. Fenrir, Jormungand, dan Hel yang terkapar kemudian di bekukan oleh Adonis dengan mantra-mantra yang tidak kami pahami. Sesaat kemudian, Fenrir, Jormungand, dan Hel yang membeku di terbangkan oleh Adonis ke ujung dunia. Tersisa Loki seorang. Adonis kemudian mengutuk Loki dan merampas semua keahlian sihirnya dalam sebuah bola yang dikeluarkannya dari balik jubah putihnya. Loki yang kekuatannya sedang diserap kemudian merapalkan mantra dan akhirnya bola itu pecah dan terbagi menjadi sembilan siluman yang dikenal dengan nama biju. Kesembilan siluman itu terlihat ganas dan menyeramkan dengan jumlah buntut yang berbeda-beda”.
“Apa yang dilakukan Adonis?”, tanyaku.
Odin menghela nafas panjang dan ia berkata, “Kemudian Adonis membuat sembilan segel yang ditujukan kepada sembilan biju itu. Ia mengerahkan sihir putihnya dan akhirnya kesembilan biju itu tersegel dalam sembilan buah bola kristal. Melihat hal itu, Loki yang sudah hampir mati berkata bahwa ia akan kembali ke negeri ini dengan sembilan biju-nya dan akan menguasai negeri ini. Sesaat setelah ia mengutuk negeri ini, ia sirna menjadi debu. Mendengar kutukan itu, Adonis kemudian mengambil sebuah kanvas lukis, dan melukis ramalan baik untuk menangkal kutukan Loki. Lukisan itu kemudian diserahkan kepada kami dan ia berpesan untuk berpegang pada lukisan ini, jika nanti Loki bangkit bersama tiga ajudannya dan kesembilan sihirnya yang berbentuk siluman biju”.
Mataku terperangah dengan semua cerita yang diucapkan oleh Odin. Semua terasa khayalan dan mimpi. Tapi, aku mendengarnya dengan nyata. Ini bukan mimpi, namun tetap belum dapat kunalarkan. “Dan, kesimpulannya dari kisahmu dengan keberadaanku di sini?”, tanyaku dengan pelan.
Odin mengarahkan pandangan matanya kepadaku. Mata yang tajam, seperti hendak memberikan sesuatu yang tidak biasa. “Kesimpulannya, kaulah yang dilukis oleh Adonis. Kaulah yang akan menyelamatkan dunia kami dari Loki. Kaulah, Gibran”, jawabnya dengan suara tegas.
Mendengar itu, aku tertegun tak berkata. Apa maksudnya perkataan Odin? Mungkin ini benar-benar mimpi. Tapi, mengapa hatiku terasa sesak, seakan-akan ada beban di bahuku yang berat. “Kenapa kau begitu yakin, kalau aku yang dimaksud oleh Adonis?”, tanyaku ragu.
Odin kemudian kembali menatapku tajam, dan ia bergerak perlahan menuju lukisan yang tak begitu tampak di belakang singgasananya. Ia mengangkat tangannya dan muncul api kecil dari telapak tangannya. Api kecil itu memberikan sedikit cahaya, sangat cukup untuk menyinari lukisan itu. “Ini lukisan yang dibuat Adonis”, ujarnya, “Dalam lukisan ini terdapat gambar seorang pemuda. Pemuda itu yang akan menyelamatkan kami. Pemuda itu bernama Gibran Anwar”. Odin kemudian membesarkan api di telapak tangannya sehingga api itu menerangi seisi ruangan.
Dan, lukisan itu pun terlihat. Lukisan wajah seorang pemuda, pemuda itu, aku. “Itu, itu, aku”, ujarku gemetar, “Mengapa bisa? Kenapa ada gambar lukisan aku di situ? Aku bukan berasal dari negeri ini, tapi, kenapa lukisan ku ada di negeri ini?”.
“Adonis berpesan kepada kami, untuk menemukan pemuda dalam lukisan itu dan melatihnya menjadi seorang ksatria”, kata Odin dengan mata tajam, “Tanda-tanda pemuda itu ialah pemuda yang terlahir bukan dari negeri ini dan dunia ini. Pemuda yang mampu menemukan sebilah tongkat dan medali garuda. Pemuda yang telah kehilangan mimpinya dan akan menemukan mimpinya di dunia ini. Pemuda yang terlahir dengan nama dua pujangga, dan terlahir dalam sebuah keluarga yang tidak utuh lagi, karena ayahnya sudah meninggal dunia”.
“Pemuda itu kau, Gibran”, ujar Karamy dengan tenang dan menatapku hangat, “Kami butuh bantuanmu. Tolong kami. Hanya itu permintaanku padamu, wahai ksatria terpilih, Gibran Anwar”.
Badanku gemetar, jantungku berdegup tak beraturan, dan hatiku bimbang. Tak mungkin aku. Memang aku terlahir atas nama dua pujangga, Kahlil Gibran dan Chairil Anwar. Memang aku juga terlahir di dunia tanpa mengenal ayahku, karena ia sudah meninggal saat kakakku kecil. Dan, memang aku, pemuda yang sudah kehilangan mimpi dan harapan semenjak kakak ku meninggal. Tapi, apa mungkin aku yang ada dalam ramalan negeri ajaib ini. Mengapa aku? Memangnya siapa aku? Pikiran itu berputar-putar di benakku yang sempit. “Tidak mungkin”, kataku, “Mungkin ramalanmu salah alamat. Aku ini bukan siapa-siapa. Aku hanya orang biasa yang tak punya ambisi apapun. Aku..”.
“Itulah, karena itulah Adonis percaya padamu, jauh sebelum kau lahir”, tegas Odin, “Dari kehampaan dalam dirimu lah, kami bertugas untuk mengisinya dengan sentuhan harapan dan mimpi. Kami sangat berharap, kau, Gibran Anwar, untuk menolong kami mengalahkan ambisi Loki. Jangan bimbang, dengarkan kata hatimu. Aku yakin, hatimu ingin menolong kami”.
“Mengapa kau begitu yakin padaku, Odin?”, tanyaku meyakinkan diri.
“Karena, Adonis percaya padamu, dan kami percaya kepada Adonis”, jawab Odin penuh kehangatan. Odin kemudian menghampiri sebuah pilar di salah satu pojok ruangan itu. Dari pilar itu, ia menekan sebuah batu. Batu yang bergeser itu ternyata sebuah kotak batu yang tak begitu besar juga tak begitu kecil. Setelah mengambil kotak batu itu, Odin menghampiriku dan memberikan kotak itu padaku.
“Apa ini?”, tanyaku heran.
“Bukalah, dan kau akan mengerti apa isi kotak itu”, jawab Odin tenang. Ia kemudian berjalan perlahan menuju Karamy. “Gadis ini yang akan mendampingimu dan memberikan semua ilmu yang ia ketahui mengenai dunia ini”, ujarnya dengan menepuk bahu Karamy, “Ia akan menjadi mata, telinga, akal, dan ilmu bagimu selama di dunia ini. Ia merupakan kebanggaan kerajaan Agni. Ia menguasai ilmu penyembuhan dan sedikit bela diri yang mungkin akan berguna nanti. Jangan sungkan untuk bertanya padanya”.
“Izinkan saya menjadi pemandumu, matamu, telingamu, dan ilmumu”, ujar Karamy dengan lembut dan tatapan penuh kesahajaan.
“Eh”, pekikku bingung, “Tak usah terlalu resmi, Karamy, aku tak terbiasa berformal-formal pada orang lain. Kau tak perlu memanggilku ksatria pilihan atau apapun, cukup namaku, Gibran”.
“Baiklah, Gibran”, jawab Karamy santun, “Sebelum kita memulai petualanganmu di dunia ini, ada baiknya kau istirahat dahulu. Karena, nanti kita berdua akan melakukan perjalanan ke tiga kerajaan lainnya dan ke tempat pertapaan Adonis, Svarga”. Karamy kemudian menghampiriku dan menggenggam tanganku.
Karamy menuntunku menuju sebuah pintu lagi di samping pintu aku pertama masuk. Dari pintu itu, aku kembali berhadapan oleh suasana lorong yang remang-remang, namun dengan kondisi cahaya yang lebih terang. Karamy menuntunku hingga samapai di sebuah pintu yang berukuran sedang dan terbuat dari kayu, mungkin kayu itu kayu Jati, karena terlihat kokoh.
“Di kamar ini kamu akan istirahat, Gibran”, tutur Karamy.
“Ah, baiklah”, jawabku, “Memang dari tadi tubuhku terasa lelah, seakan-akan sendi-sendi tulangku dan pembuluh venaku sudah hancur lebur. Semua berkat cerita Odin yang membuat kepala pusing”.
Mendengar perkataanku, Karamy tersenyum kecil. “Maafkan Sang Baginda”, katanya halus sehalus rupanya, “Baginda memang selalu terlihat bersemangat. Terlebih, jika ia bertemu dengan sosok yang membuatnya tertarik dan terkesan. Ia selalu beranggapan, bahwa pemuda penyelamat negeri ini ialah sosok yang kaku dan menyebalkan. Namun, ia salah, ternyata sosoknya begitu sederhana. Dan karena itu, ia tertarik padamu Gibran. Kau mengingatkannya kepada anaknya yang menghilang”.
Aku terdiam. “Anaknya?”, tanyaku, “Ia punya anak? Tadi dia tidak menyinggung sedikitpun mengenai anaknya”.
Karamy tertunduk lesu. “Maafkan aku”, jawabnya seakan-akan menyimpan sesuatu, “Aku tak dapat membicarakannya lebih lanjut. Ini di luar tugasku. Ada baiknya kau istirahat, karena besok kita akan mendapat sedikit arahan Yang Mulia, mengenai beberapa ilmu dasar untuk dirimu. Selamat malam”. Seusai ia berkata demikian, Karamy berjalan cepat menuju arah ruangan Odin tadi. Terlihat langkahnya yang tergopoh-gopoh menuai nuansa rindu dan gundah.
“Thor..”, gumamku, “Mengapa aku merasa begitu sedih mendengar nama itu keluar dari mulut Karamy? Sudahlah, lebih baik aku beristirahat”. Tak lama Karamy pergi, aku masuk ke dalam kamar itu. Kamar yang sederhana, hanya diterangi oleh dua buah obor di sisi kamar. Di kamar itu, aku berpikir semua cerita Odin, nasibku di negeri ini, negeri aneg yang tak masuk di akal. Dan, aku memikirkan Karamy, dan Thor putra Odin yang seolah-olah terdapat kisah sedih dari nama itu. Thor, mengapa aku merasakan sedih dari wajah Karamy setelah mengucapkan nama itu? Thor.
***
Sayup-sayup terdengar gemuruh suara elang di luar sana. Ya, aku ada di dunia lain, bukan di duniaku. Menurut orang-orang, dunia tempat aku berada bisa dikatakan sebagai dunia paralel, yakni dunia yang ada berdampingan dengan dunia sebenarnya.
Suara-suara elang yang saling bersahutan membuatku bangkit dari tempat tidur. Ku coba sadarkan diri dari kantuk yang masih tersisa. Ku perhatikan sekeliling kamar. Jendela kamar ini merupakan sumber utama cahaya yang menerangi seisi kamar pada saat pagi hari. Ku tengok ke samping tempat tidurku, terdapat baju berwarna putih dengan aksesoris kain panjang berwarna merah, dan celana panjang berwarna hitam. Mungkin itu pakaian ganti untukku. Siapa yang membawanya ke kamar ini? Mungkin Karamy. Aku beranjak dari tempat tidur dan menuju jendela kamar. Mata ku melihat suasana sekitar istana yang sejuk dan sepi. Istana ini ada di dalam gua, namun keindahannya tidak menlukiskan istana ini ada di dalam gua.
Terlihat lima ekor elang bertebrangan di sekitar istana, seakan-akan sedang bermain-main. Lalu, terlihat juga beberapa burung lainnya, penuh warna. Melihat itu semua menenangkan pikiranku. Semua yang ku alami, terasa mimpi yang panjang. Ku pejamkan mata, menghimpun segenap tenaga, untuk menyegarkan kepala. Ku mencoba menikmati simfoni lantunan kicau elang dan burung-burung lainnya yang berterbangan.
Setelah menyegarkan diri, aku mengalihkan perhatianku pada seisi ruangan. Ruangan kamar ini belum ku perhatikan dari semalam. Ternyata, kamar ini dipenuhi oleh lukisan dan panji-panji yang bergambarkan gambar palu dan petir. Di atas tempat tidurku terdapat lukisan seorang pemuda dengan wajah rupawan dan rambut tergerai hingga bahu. Perawakan pemuda itu atletis dan berotot. Ia mengenakan busana yang mirip dengan busana Odin, namun berbeda ornamen dan warna saja. “Hmm, mungkin dia yang bernama Thor”, gumamku.
Tok-tok-tok....
“Ya”, jawabku mendengar ketukan pintu kamar. “Masuk saja”
Pintu terbuka. Ternyata Karamy yang mengetuk pintu kamar. “Sudah bersiap, Gibran?”, tanyanya santun.
“Oh, ya”, jawabku.
“Baiklah”, ujar Karamy, “Pagi ini kita akan bertemu lagi dengan Baginda Maharaja Odin”.
“Di tempat kemarin?”, tanyaku memastikan.
“Bukan”, jawabnya. “Kita akan menuju gunung Candradimuka. Letaknya di selatan kerajaan ini. Di situ, Baginda Odin sudah menunggu. Jika kau sudah siap, temui aku di depan gerbang istana”. Setelah mengatakan itu, Karamy meninggalkan kamarku.
Melihat gelagat Karamy yang sedikit dingin pagi ini membuatku menjadi penasaran padanya. Ia yang mengganggu mimpiku hingga akhirnya aku terjebak dalam dunia ini. Selalu membuatku memikirkan segala hal yang berkenaan dengannya. Misterius. Mencoba membuang segala pikiranku tentang Karamy, aku pun berbenah. Ku coba pakaian yang telah disiapkan. Aku merasa seperti kembali ke abad lampau. Pakaian yang sangat sejuk ini membuatku terlihat seperti ksatria dari negeri antah-berantah. Sebelum meninggalkan kamar, aku teringat akan tongkat dan medali yang ku dapatkan di hutan. Ku perhatikan tongkat yang sudah ku pasangkan medali di dalamnya, ternyata mirip sebuah gagang pedang. Tak banyak pikir lagi, tongkat itu ku bawa dalam tas yang juga sudah dipersiapkan bersamaan dengan pakaian tersebut. Aku pun berjalan menuju gerbang istana.