Sabtu, 26 Februari 2011

Arcapada: Bagian II: Gua Cermin Hati


Sayup-sayup terdengar suara kicau burung, merdu laksana alunan simfoni kehidupan. Suara jam wekerku kini tak kudengar, dan mataku tak lagi menatap langit-langit kamar kos-kosan, ternyata aku masih di dalam gua. Kehangatan yang kurasakan semalam, hanya halusinasi.
            Sudah lama memang aku tak bersua dengan ibuku. Semenjak aku hijrah ke Depok, tempat aku berkuliah. Padahal, jarak rumahku hanya berbeda beberapa kilometer dari kampusku. Tapi kini aku berada di tempat yang tak kuketahui, hutan penuh keanehan dalam semalam, dan gua yang membuatku merindukan rumah serta keluarga.
            Ku coba bangkitkan tubuhku yang masih merasa lelah. Aku mencari sebuah petunjuk, di manakah keberadaanku kini. Sejauh mataku memandang, hanya dinding gua yang dipenuhi lumut dan ilalang-ilalang. Ku coba mencari sinar pelangi yang menuntunku ke gua ini, namun ia tela sirna, hilang bersama terbit sang mentari. Tak ada penunjuk arah, aku pun berjalan menyusuri gua, menuju jauh ke dalam.
            Kaki ini melangkah tanpa tujuan di dalam gua. Semakin kaki ini melangkah, semakin gelap suasana sekitar. Mata tak dapat lagi melihat apapun di depan raga ku. Hanya rabaan tanganku yang menuntun ke mana arah kaki ini melangkah. Jauh di lubuk hatiku, aku yakin, di dalam gua ini semua pertanyaanku selama ini akan terjawab. Aku yakin.
            Bermodalkan keberanian dan benda yang ku pungut di hutan, tongkat dan medali garuda, aku terus menuju dasar gua. Jantung berdegup kencang, khawatir ada bahaya menghadang. Namun, semua itu ku coba untuk sirnakan dari lubuk pikiran. Terkadang, aku disana suara-suara tak berwujud, membuat aku getir menyambut asal suara itu. Terdenganr sangat kecil suara berdecit, mungkin itu tikus. Membuang rasa takut, menjauhi rasa khawatir, aku terus melangkah, mencari jawaban keberadaanku di tempat yang asing ini.
            Setelah kira-kira dua jam lewat, aku sudah sampai di perut gua. Sebuah ruangan yang sangat luas dengan sebuah istana di dalamnya. Istana dengan warna putih disertai ornamen-ornamen berupa patung garuda dengan warna merah dan emas. Istana itu begitu terang, seakan-akan menjadi sumber cahaya di dalam gua ini. Di tengah-tengah istana tersebut, terlihat sebuah menara tinggi menjulang hingga hampir menyentuh langit-langit gua. Di dinding menara tersebut terdapat sebuah ukiran batu bergambar garuda yang serupa dengan gambar garuda yang ada di medali dan tongkat di genggamanku.
            Terlihat cahaya benderang berterbangan di sekitar istana itu, sangat indah. Dari balik cahaya itu, muncul seorang gadis yang melekat dalam ingatan. Dia gadis yang hadir dalam mimpi-mimpi burukku, ya itu memang dia.
“Selamat datang, Gibran”, ujar gadis itu dengan tenang.
“Siapa kau? Kenapa kau tahu namaku?”, tanyaku tanpa jeda.
“Akan ku jelaskan semuanya di dalam”, jawabnya singkat, “Mari”. Gadis itu berjalan menuju istana yang megah itu. Aku pun mengikutinya hanya ingin mendengar jawaban sebenarnya dari gadis itu.
            Memasuki gerbang istana, aku melihat banyak patung-patung berukirkan gambar garuda dan simbol-simbol berbentuk api. Ku lihat gadis itu menuju sebuah pintu besar dengan ornamen garuda berwarna merah, ia pun berhenti di depan pintu itu.
“Sebelum kita memasuki ruang Raja, ijinkan saya mengenalkan diri”, ujarnya dengan tenang, “Nama saya Salma, panjangnya Salma Karamy”.
“Lalu, untuk apa saya ada di sini? Mengapa saya?”, tanyaku bertubi-tubi.
“Semua akan dijawab oleh Baginda Raja”. Lalu ia membuka pintu besar itu.
            Begitu pintu itu terbuka, aku melihat sepasang singgasana tepat 10 meter setelah pintu besar itu. Tergelar permadani berwarna merah dan tiang-tiang lilin berornamenkan gambar garuda merah. Ruangan yang begitu megah, dan indah.Terdapat sebuah pancuran kecil di dekat singgasana dengan ornamen mahkota yang besar dan dipenuhi warna emas.
            Pandangan mataku kemudian tertuju pada sebuah lukisan besar di belakang dua singgasana itu. Lukisan tiga ekor burung, Garuda, Merak, dan Cendrawasih. Tiga ekor burung yang saling berhadapan menghadap sebuah titik lingkaran api di tengah lukisan itu. Apa maksudnya? Tak tahu apa maksudnya. Setelah terpukau dengan gemerlap ruangan itu, mataku menuju ke arah pergerakan Karamy yang berjalan perlahan menuju belakang dua singgasana itu.
“Kau lihat lukisan ini?”, tanya Karamy dengan menunjuk lukisan tiga ekor burung itu.
“Ya pastinya”, jawabku singkat, “Memangnya, itu lukisan apa?”.
“Ini lukisan yang melambangkan tiga pendiri kerajaan Agni ini”.
“Oh, jadi aku berada di dunia antah-berantah yang bernama Agni”.
“Ya, dan negeri ini membutuhkanmu”. Kemudian Karamy bergerak perlahan menuju sebuah pintu di samping kanan lukisan itu. “Ikuti aku”, ujarnya.
            Aku pun mengikutinya, dengan tanpa ragu, untuk mendapatkan semua pertanyaan dari dalam benakku. Pertanyaan mimpi burukku.
            Sebuah lorong panjang dengan penerangan berupa lilin namun tak berbatang. Redup, namun terang. Terasa kehangatan yang berbeda dari panasnya lilin. Karamy terlihat santai berjalan, namun dengan aura kebimbangan dalam langkahnya. Seperti sebuah beban berat menahan langkahnya. Terlihat pula siluet murung wajah Karamy, seraya menahan air mata dari lubuk hatinya.
            Langkah kaki Karamy berhenti di sebuah prasasti besar. “Ini adalah prasasti ramalan di negeri kami”, ujarnya sendu.
“Tentang apa prasasti itu?”, tanyaku.
Karamy diam sejenak, lalu berkata, “Kisah dalam prasasti ini adalah tentang orang yang akan menyelamatkan kami”.
“Menyelamatkan dari apa ?”.
“Dari kehancuran total”, jawabnya dengan getir.
Mendengar jawaban Karamy, aku tersentak, dan akhirnya aku tahu rona cemas wajahnya selama dalam mimpiku dan saat aku bertemu dengannya. Sungguh wajah yang membekas penuh kegelisahan.
“Kehancuran?”, tanyaku gemetar, “Siapa yang ingin menghancurkan negeri ini?”.
Karamy berjalan perlahan menuju sebuah tirai di samping prasasti itu. Ia menarik seutas tali besar yang ada di sebelah kanan tirai yang berwarna merah keemasan. Tirai besar itu perlahan terbuka, dan terdapat sebuah lukisan di baliknya. Lukisan yang menggambarkan sembilan ekor monster dengan rupa menyeramkan.
“Mereka yang akan menghancurkan negeri ini, mereka ialah siluman biju”, ujar Karamy.
“Apa itu biju?”, tanyaku penasaran.
“Biar Baginda Raja yang memberitahukan, mari kita beranjak ke tempat raja”. Karamy pun berjalan perlahan menuju belakang prasasti, ternyata ada jalan rahasia di sana. Dengan rasa penasaran, aku mengikutinya. Berjalan dalam sebuah lorong temaram, hanya disinari obor, aku berpikir tentang semua cerita Karamy. Tak masuk akal, namun sepertinya itu sangat mengkhawatirkan Karamy.
            Selang lima menit berjalan, akhirnya aku dan Karamy sampai pada sebuah ruangan berbentuk oval dengan patung di tengah ruangan. Patung sesosok pria berjanggut sepanjang leher, dan dengan ornamen selayaknya raja.
“Apakah ini rajamu, Karamy?”, tanyaku, “Ini hanya sebuah patung, bukan manusia. Bagaimana aku mengerti masalahmu? Jika hanya ada patung yang akan menjelaskan itu semua?”.
Karamy tersenyum dan berkata, “Tunggu saja sebentar”.
Tiba-tiba dari pintu masuk di belakangku melesat sebuah sinar. Sinar pelangi yang mengantarkan aku ke mulut gua. Sinar itu berputar-putar dalam ruangan, dan akhirnya melesat masuk ke dalam patung raja itu. Saat mataku masih terperangah dengan kehadiran kembali sinar itu, patung batu itu kemudian bergerak, seakan-akan ingin melepaskan diri dari belenggunya. Mataku tak dapat berkedip, ku menoleh ke Karamy, dan kulihat, Karamy diam dengan tenang.
            Patung itu retak perlahan, dari balik retakan itu terlihat sebersit warna kulit manusia. Patung itu hidup, pikirku. Retakan itu semakin besar dan pecah dengan teratur. Dan akhirnya, di hadapanku bukan lagi patung, namun sesosok pria berjanggut yang penuh dengan aura kebijaksanaannya.
“Kenapa terdiam, wahai anak muda?”, sapa pria berjanggut yang baru saja keluar dari sesosok patung itu.
“Ini adalah raja kami, Sri Maharaja Odin”, ujar Karamy.
“Odin?”, ujarku.
“Hahahahahahahahahahahahahahahahaha”, tawa Odin menggelegar di ruangan kecil itu. “Ya, aku Odin, Raja dari negeri ini, negeri Agni”.
“Memangnya kenapa kalau engkau adalah seorang raja?”.
Sesaat mendengar pertanyaanku, Odin terdiam. “Hahahahahahahahahahahaha”, tawanya kembali menggelegar, memecah hening beberapa menit yang lalu. “Gibran Anwar, ku pahami kau tak mengerti, karena kita berbeda dunia”. Setelah berkata seperti itu, pria besar dengan tinggi sampai 2 meter itu menghampiri Karamy.
“Karamy, kau sudah menjalankan tugas dengan baik”, ujarnya kepada Karamy disertai tepukan di bahunya.
Karamy kemudian bersimpuh di hadapan Odin dan berkata, “Sebuah kebanggaan bagi hamba, wahai Maharaja Odin”.
Odin kemudian membungkuk dan mengangkat Karamy. “Tak usah terlalu sungkan, aku sama saja sepertimu, hanya seorang manusia, namun dengan tanggung jawab yang lebih besar darimu”, sahut Odin dengan mata penuh kehangatan.
“Hei Odin, kau masih punya hutang penjelasan padaku”, selaku di tengah-tengah pembicaraan Odin dan Karamy.
“Hahahahahahahahahahaha”, tawa Odin. “Maaf, saya lupa ada engkau, Gibran”.
“Kalau sudah ingat, sekarang jelaskan, apa maksudmu menculik saya ke negeri antah-berantah ini”.
Odin kemudian menghampiri singgasana batunya, dan ia menghembuskan nafas yang terasa berat untuk dilepaskan. Sepertinya, cerita yang akan disampaikannya merupakan cerita yang penuh dengan kedukaan mendalam. “Baiklah”, ujarnya, “Aku akan bercerita semuanya”.
            “Semua berawal saat empat kerajaan di negeri ini, yaitu Agni, Bayu, Baruna, dan Antaboga menghadapi sebuah ancaman serius dari seorang penyihir yang bernama Loki. Loki merupakan penyihir yang tersohor akan kekuatan magisnya. Seorang penyihir yang selalu mengenakan jubah berwarna hitam dan selalu membawa tongkat dengan ornamen sayap kelelawar di ujung tongkatnya. Ia memang seorang penyihir yang sakti dan tak terkalahkan. Namun, ia selalu merasa bahwa keempat kerajaan di dunia ini mencemoohnya. Padahal, tidak satupun dari kami yang mencemooh ataupun mengejek Loki. Kami, raja dari masing-masing kerajaan, mencoba untuk menjelaskan kepada Loki, namun semua dimentahkan begitu saja. Loki hanya ingin berdamai dengan empat kerajaan, jika empat kerajaan tersebut tunduk di bawah kuasa Loki. Mendengar hal itu, kami keempat raja sempat bimbang. Kemudian Loki mengatakan, jika ia tidak dapat jawabannya hingga matahari terbenam, maka ia akan menghancurkan keempat kerajaan yang ada di dunia ini. Kami pun semakin bimbang, jika kami melawan Loki, akan sulit untuk menang. Hingga akhirnya, Maharaja Fuujin dari negeri Bayu mengusulkan untuk memanggil pendeta suci dari negeri Persian, Adonis”.
            Odin kemudian bangkit dari singgasananya dan menuju sebuah lukisan di belakang singgasananya. Sebuah lukisan yang remang tidak terlalu terlihat, karena cahaya ruangan yang tak begitu terang. “Kami kemudian mencari Adonis”, ujar Odin dengan serius sembari mengusap-usap janggutnya, “Pencarian kami tidak lama, karena kami sudah tahu di mana keberaaan Adonis. Ia selalu ada di pertapaannya, Svarga”.
            Odin kemudian berbalik menuju singgasananya. “Kami berhasil menemuinya”, ujarnya, “Kami berdiskusi mengenai Loki pada Adonis. Dengan senyumnya, Adonis hanya menyarankan kami untuk membawa dirinya ke hadapan Loki sesaat matahari hendak terbenam. Dan akhirnya kami membawanya dengan secepat mungkin menuju kerajaan Agni, sebagai tempat yang dipilih Loki untuk membawa terornya kembali. Tepat sebelum matahari terbenam, Loki sudah hadir di depan pintu kerajaan ini. Ia terlihat bersama tiga orang kepercayaannya. Di sebelah kirinya terlihat sesosok manusia dengan perawakan sedang, tidak terlalu tinggi dan juga tidak terlalu besar. Ia menggunakan kulit serigala sebagai bajunya, dan dua bilah pisau kecil di pinggangnya. Ia dikenal sebagai Taring Serigala, Fenrir. Lalu, lelaki kedua di sebelah kanan Loki, ia lelaki dengan perawakan lebih kecil dengan selendang terbuat dari kulit ular. Ia membawa tongkat dengan tengkorang kepala ular di atas tongkatnya. Ia juga menggunakan jubah yang bercorakkan kulit ular, dan membawa seekor ular yang melingkar di tangan kirinya. Lelaki itu ialah orang yang dijuluki Ular Berbisa dari Samudra Hitam, Jormungand. Selain mereka berdua, Loki juga didampingi seorang perempuan yang berjalan tepat di belakangnya. Perempuan itu memiliki rambut yang panjang dan terurai. Ia mengenakan baju jubah layaknya Jormungand, namun dengan corak kulit Jaguar. Ia tidak terlalu tinggi, setinggi Loki. Perempuan itu dikenal dengan julukan Ratu Neraka, Hel”.
            “Lalu, hubungan ceritamu dengan keberadaanku di negeri ini apa?”, tanyaku menyelak, “Beri penjelasan bagian itu saja”.
            “Sabar anak muda”, jawab Odin tenang, “Biarkan aku menyelesaikan ceritaku. Ku lanjutkan lagi ceritaku. Loki dan ketiga ajudannya itu sampai di aula kerajaan Agni, Aula Phoenix. Ia dengan tawa liciknya menagih janji kami, keempat Maharaja dari keempat kerajaan di dunia ini. Sebelum kami menjawab tantangan dari Loki, Adonis masuk ke dalam aula dengan tenang dan tanpa gentar. Loki terkejut dengan kedatangan Adonis. Tanpa banyak ucap, Loki dan ketiga ajudannya menyerbu Adonis dengan murka. Namun, Loki dan ketiga ajudannya berhasil dikalahkan oleh Adonis dengan sigap. Fenrir, Jormungand, dan Hel yang terkapar kemudian di bekukan oleh Adonis dengan mantra-mantra yang tidak kami pahami. Sesaat kemudian, Fenrir, Jormungand, dan Hel yang membeku di terbangkan oleh Adonis ke ujung dunia. Tersisa Loki seorang. Adonis kemudian mengutuk Loki dan merampas semua keahlian sihirnya dalam sebuah bola yang dikeluarkannya dari balik jubah putihnya. Loki yang kekuatannya sedang diserap kemudian merapalkan mantra dan akhirnya bola itu pecah dan terbagi menjadi sembilan siluman yang dikenal dengan nama biju. Kesembilan siluman itu terlihat ganas dan menyeramkan dengan jumlah buntut yang berbeda-beda”.
            “Apa yang dilakukan Adonis?”, tanyaku.
            Odin menghela nafas panjang dan ia berkata, “Kemudian Adonis membuat sembilan segel yang ditujukan kepada sembilan biju itu. Ia mengerahkan sihir putihnya dan akhirnya kesembilan biju itu tersegel dalam sembilan buah bola kristal. Melihat hal itu, Loki yang sudah hampir mati berkata bahwa ia akan kembali ke negeri ini dengan sembilan biju-nya dan akan menguasai negeri ini. Sesaat setelah ia mengutuk negeri ini, ia sirna menjadi debu. Mendengar kutukan itu, Adonis kemudian mengambil sebuah kanvas lukis, dan melukis ramalan baik untuk menangkal kutukan Loki. Lukisan itu kemudian diserahkan kepada kami dan ia berpesan untuk berpegang pada lukisan ini, jika nanti Loki bangkit bersama tiga ajudannya dan kesembilan sihirnya yang berbentuk siluman biju”.
            Mataku terperangah dengan semua cerita yang diucapkan oleh Odin. Semua terasa khayalan dan mimpi. Tapi, aku mendengarnya dengan nyata. Ini bukan mimpi, namun tetap belum dapat kunalarkan. “Dan, kesimpulannya dari kisahmu dengan keberadaanku di sini?”, tanyaku dengan pelan.
            Odin mengarahkan pandangan matanya kepadaku. Mata yang tajam, seperti hendak memberikan sesuatu yang tidak biasa. “Kesimpulannya, kaulah yang dilukis oleh Adonis. Kaulah yang akan menyelamatkan dunia kami dari Loki. Kaulah, Gibran”, jawabnya dengan suara tegas.
            Mendengar itu, aku tertegun tak berkata. Apa maksudnya perkataan Odin? Mungkin ini benar-benar mimpi. Tapi, mengapa hatiku terasa sesak, seakan-akan ada beban di bahuku yang berat. “Kenapa kau begitu yakin, kalau aku yang dimaksud oleh Adonis?”, tanyaku ragu.
            Odin kemudian kembali menatapku tajam, dan ia bergerak perlahan menuju lukisan yang tak begitu tampak di belakang singgasananya. Ia mengangkat tangannya dan muncul api kecil dari telapak tangannya. Api kecil itu memberikan sedikit cahaya, sangat cukup untuk menyinari lukisan itu. “Ini lukisan yang dibuat Adonis”, ujarnya, “Dalam lukisan ini terdapat gambar seorang pemuda. Pemuda itu yang akan menyelamatkan kami. Pemuda itu bernama Gibran Anwar”. Odin kemudian membesarkan api di telapak tangannya sehingga api itu menerangi seisi ruangan.
Dan, lukisan itu pun terlihat. Lukisan wajah seorang pemuda, pemuda itu, aku. “Itu, itu, aku”, ujarku gemetar, “Mengapa bisa? Kenapa ada gambar lukisan aku di situ? Aku bukan berasal dari negeri ini, tapi, kenapa lukisan ku ada di negeri ini?”.
“Adonis berpesan kepada kami, untuk menemukan pemuda dalam lukisan itu dan melatihnya menjadi seorang ksatria”, kata Odin dengan mata tajam, “Tanda-tanda pemuda itu ialah pemuda yang terlahir bukan dari negeri ini dan dunia ini. Pemuda yang mampu menemukan sebilah tongkat dan medali garuda. Pemuda yang telah kehilangan mimpinya dan akan menemukan mimpinya di dunia ini. Pemuda yang terlahir dengan nama dua pujangga, dan terlahir dalam sebuah keluarga yang tidak utuh lagi, karena ayahnya sudah meninggal dunia”.
“Pemuda itu kau, Gibran”, ujar Karamy dengan tenang dan menatapku hangat, “Kami butuh bantuanmu. Tolong kami. Hanya itu permintaanku padamu, wahai ksatria terpilih, Gibran Anwar”.
            Badanku gemetar, jantungku berdegup tak beraturan, dan hatiku bimbang. Tak mungkin aku. Memang aku terlahir atas nama dua pujangga, Kahlil Gibran dan Chairil Anwar. Memang aku juga terlahir di dunia tanpa mengenal ayahku, karena ia sudah meninggal saat kakakku kecil. Dan, memang aku, pemuda yang sudah kehilangan mimpi dan harapan semenjak kakak ku meninggal. Tapi, apa mungkin aku yang ada dalam ramalan negeri ajaib ini. Mengapa aku? Memangnya siapa aku? Pikiran itu berputar-putar di benakku yang sempit. “Tidak mungkin”, kataku, “Mungkin ramalanmu salah alamat. Aku ini bukan siapa-siapa. Aku hanya orang biasa yang tak punya ambisi apapun. Aku..”.
            “Itulah, karena itulah Adonis percaya padamu, jauh sebelum kau lahir”, tegas Odin, “Dari kehampaan dalam dirimu lah, kami bertugas untuk mengisinya dengan sentuhan harapan dan mimpi. Kami sangat berharap, kau, Gibran Anwar, untuk menolong kami mengalahkan ambisi Loki. Jangan bimbang, dengarkan kata hatimu. Aku yakin, hatimu ingin menolong kami”.
            “Mengapa kau begitu yakin padaku, Odin?”, tanyaku meyakinkan diri.
            “Karena, Adonis percaya padamu, dan kami percaya kepada Adonis”, jawab Odin penuh kehangatan. Odin kemudian menghampiri sebuah pilar di salah satu pojok ruangan itu. Dari pilar itu, ia menekan sebuah batu. Batu yang bergeser itu ternyata sebuah kotak batu yang tak begitu besar juga tak begitu kecil. Setelah mengambil kotak batu itu, Odin menghampiriku dan memberikan kotak itu padaku.
            “Apa ini?”, tanyaku heran.
            “Bukalah, dan kau akan mengerti apa isi kotak itu”, jawab Odin tenang. Ia kemudian berjalan perlahan menuju Karamy. “Gadis ini yang akan mendampingimu dan memberikan semua ilmu yang ia ketahui mengenai dunia ini”, ujarnya dengan menepuk bahu Karamy, “Ia akan menjadi mata, telinga, akal, dan ilmu bagimu selama di dunia ini. Ia merupakan kebanggaan kerajaan Agni. Ia menguasai ilmu penyembuhan dan sedikit bela diri yang mungkin akan berguna nanti. Jangan sungkan untuk bertanya padanya”.
            “Izinkan saya menjadi pemandumu, matamu, telingamu, dan ilmumu”, ujar Karamy dengan lembut dan tatapan penuh kesahajaan.
            “Eh”, pekikku bingung, “Tak usah terlalu resmi, Karamy, aku tak terbiasa berformal-formal pada orang lain. Kau tak perlu memanggilku ksatria pilihan atau apapun, cukup namaku, Gibran”.
            “Baiklah, Gibran”, jawab Karamy santun, “Sebelum kita memulai petualanganmu di dunia ini, ada baiknya kau istirahat dahulu. Karena, nanti kita berdua akan melakukan perjalanan ke tiga kerajaan lainnya dan ke tempat pertapaan Adonis, Svarga”. Karamy kemudian menghampiriku dan menggenggam tanganku.
            Karamy menuntunku menuju sebuah pintu lagi di samping pintu aku pertama masuk. Dari pintu itu, aku kembali berhadapan oleh suasana lorong yang remang-remang, namun dengan kondisi cahaya yang lebih terang. Karamy menuntunku hingga samapai di sebuah pintu yang berukuran sedang dan terbuat dari kayu, mungkin kayu itu kayu Jati, karena terlihat kokoh.
            “Di kamar ini kamu akan istirahat, Gibran”, tutur Karamy.
            “Ah, baiklah”, jawabku, “Memang dari tadi tubuhku terasa lelah, seakan-akan sendi-sendi tulangku dan pembuluh venaku sudah hancur lebur. Semua berkat cerita Odin yang membuat kepala pusing”.
            Mendengar perkataanku, Karamy tersenyum kecil. “Maafkan Sang Baginda”, katanya halus sehalus rupanya, “Baginda memang selalu terlihat bersemangat. Terlebih, jika ia bertemu dengan sosok yang membuatnya tertarik dan terkesan. Ia selalu beranggapan, bahwa pemuda penyelamat negeri ini ialah sosok yang kaku dan menyebalkan. Namun, ia salah, ternyata sosoknya begitu sederhana. Dan karena itu, ia tertarik padamu Gibran. Kau mengingatkannya kepada anaknya yang menghilang”.
            Aku terdiam. “Anaknya?”, tanyaku, “Ia punya anak? Tadi dia tidak menyinggung sedikitpun mengenai anaknya”.
            Karamy tertunduk lesu. “Maafkan aku”, jawabnya seakan-akan menyimpan sesuatu, “Aku tak dapat membicarakannya lebih lanjut. Ini di luar tugasku. Ada baiknya kau istirahat, karena besok kita akan mendapat sedikit arahan Yang Mulia, mengenai beberapa ilmu dasar untuk dirimu. Selamat malam”. Seusai ia berkata demikian, Karamy berjalan cepat menuju arah ruangan Odin tadi. Terlihat langkahnya yang tergopoh-gopoh menuai nuansa rindu dan gundah.
            “Thor..”, gumamku, “Mengapa aku merasa begitu sedih mendengar nama itu keluar dari mulut Karamy? Sudahlah, lebih baik aku beristirahat”. Tak lama Karamy pergi, aku masuk ke dalam kamar itu. Kamar yang sederhana, hanya diterangi oleh dua buah obor di sisi kamar. Di kamar itu, aku berpikir semua cerita Odin, nasibku di negeri ini, negeri aneg yang tak masuk di akal. Dan, aku memikirkan Karamy, dan Thor putra Odin yang seolah-olah terdapat kisah sedih dari nama itu. Thor, mengapa aku merasakan sedih dari wajah Karamy setelah mengucapkan nama itu? Thor.
***
Sayup-sayup terdengar gemuruh suara elang di luar sana. Ya, aku ada di dunia lain, bukan di duniaku. Menurut orang-orang, dunia tempat aku berada bisa dikatakan sebagai dunia paralel, yakni dunia yang ada berdampingan dengan dunia sebenarnya.
            Suara-suara elang yang saling bersahutan membuatku bangkit dari tempat tidur. Ku coba sadarkan diri dari kantuk yang masih tersisa. Ku perhatikan sekeliling kamar. Jendela kamar ini merupakan sumber utama cahaya yang menerangi seisi kamar pada saat pagi hari. Ku tengok ke samping tempat tidurku, terdapat baju berwarna putih dengan aksesoris kain panjang berwarna merah, dan celana panjang berwarna hitam. Mungkin itu pakaian ganti untukku. Siapa yang membawanya ke kamar ini? Mungkin Karamy. Aku beranjak dari tempat tidur dan menuju jendela kamar. Mata ku melihat suasana sekitar istana yang sejuk dan sepi. Istana ini ada di dalam gua, namun keindahannya tidak menlukiskan istana ini ada di dalam gua.
            Terlihat lima ekor elang bertebrangan di sekitar istana, seakan-akan sedang bermain-main. Lalu, terlihat juga beberapa burung lainnya, penuh warna. Melihat itu semua menenangkan pikiranku. Semua yang ku alami, terasa mimpi yang panjang. Ku pejamkan mata, menghimpun segenap tenaga, untuk menyegarkan kepala. Ku mencoba menikmati simfoni lantunan kicau elang dan burung-burung lainnya yang berterbangan.
            Setelah menyegarkan diri, aku mengalihkan perhatianku pada seisi ruangan. Ruangan kamar ini belum ku perhatikan dari semalam. Ternyata, kamar ini dipenuhi oleh lukisan dan panji-panji yang bergambarkan gambar palu dan petir. Di atas tempat tidurku terdapat lukisan seorang pemuda dengan wajah rupawan dan rambut tergerai hingga bahu. Perawakan pemuda itu atletis dan berotot. Ia mengenakan busana yang mirip dengan busana Odin, namun berbeda ornamen dan warna saja. “Hmm, mungkin dia yang bernama Thor”, gumamku.
            Tok-tok-tok....
            “Ya”, jawabku mendengar ketukan pintu kamar. “Masuk saja”
            Pintu terbuka. Ternyata Karamy yang mengetuk pintu kamar. “Sudah bersiap, Gibran?”, tanyanya santun.
            “Oh, ya”, jawabku.
            “Baiklah”, ujar Karamy, “Pagi ini kita akan bertemu lagi dengan Baginda Maharaja Odin”.
            “Di tempat kemarin?”, tanyaku memastikan.
            “Bukan”, jawabnya. “Kita akan menuju gunung Candradimuka. Letaknya di selatan kerajaan ini. Di situ, Baginda Odin sudah menunggu. Jika kau sudah siap, temui aku di depan gerbang istana”. Setelah mengatakan itu, Karamy meninggalkan kamarku.
            Melihat gelagat Karamy yang sedikit dingin pagi ini membuatku menjadi penasaran padanya. Ia yang mengganggu mimpiku hingga akhirnya aku terjebak dalam dunia ini. Selalu membuatku memikirkan segala hal yang berkenaan dengannya. Misterius. Mencoba membuang segala pikiranku tentang Karamy, aku pun berbenah. Ku coba pakaian yang telah disiapkan. Aku merasa seperti kembali ke abad lampau. Pakaian yang sangat sejuk ini membuatku terlihat seperti ksatria dari negeri antah-berantah. Sebelum meninggalkan kamar, aku teringat akan tongkat dan medali yang ku dapatkan di hutan. Ku perhatikan tongkat yang sudah ku pasangkan medali di dalamnya, ternyata mirip sebuah gagang pedang. Tak banyak pikir lagi, tongkat itu ku bawa dalam tas yang juga sudah dipersiapkan bersamaan dengan pakaian tersebut. Aku pun berjalan menuju gerbang istana.

Kamis, 24 Februari 2011

Arcapada: Bagian I: Permulaan


Banyak orang mengatakan bahwa kita harus mempunyai mimpi, dari mimpi yang berupa khayalan ataupu mimpi yang harus dijadikan sebuah cita-cita. Tapi, aku tak percaya itu semua. Bagiku, mimpi hanya sebuah omong kosong yang tak ada juntrungannya. Hanya sebuah angan-angan tanpa tujuan, hanya sebuah pengobat kegelisahan diri, dan hanya sebuah penghibur hati kala kita bersedih. Dulu memang aku sangat senang bermimpi, namun, kejadian dua tahun yang lalu membuatku mengubur jauh-jauh segala impian dan harapan. Kejadian yang sangat menyesakkan hati itu, yaitu saat kakak kebanggaan satu-satunya, harus mati dalam kecelakaan motor beruntun di depan sebuah pertokoan bonafit di Jakarta. Kehilangan seseorang yang sangat aku banggakan dan ku sayangi merupakan pukulan telak bagi hidupku yang masih hijau saat itu.
            Aku yang sekarang sudah tidak mempercayai tentang mimpi. Aku hanya mempercayai sebuah realita yang pahit tanpa kesenangan. Aku hidup tanpa memiliki cita-cita, harapan, impian dan bahkan sebuah tujuan hidup. Hanya duduk terdiam kala teman sebangku SMA ku dipukul oleh seniornya, tak menggubris seorang pencopet yang lewat tepat di depan mata kepalaku, dan mungkin terlalu enggan memandang wajah seorang nenek tua yang menangis dengan memeluk mayat cucunya mati tertabrak bus di sebelah motorku melintas.
            Tak ada warna lagi di hidupku. Semua terasa abu-abu, tak ada merah, kuning, hijau, maupun biru. Aku hanya menjadi pria yang menjemukan dan tak memiliki sensitifitas terhadap ruang kehidupan di sekitarku. Sungguh penyendiri dan pemikir untuk diri sendiri.
            Egois, bisa dikatakan itulah aku. Tak banyak memiliki teman dan tak ingin memiliki kedekatan dengan seseorang yang dapat membuatku merasa akan kehilangan lagi. Semua perasaan dalam diriku kupendam jauh-jauh di kotak pandora hatiku. Aku hanya akan mempercayai diriku dan hanya aku. Semua kebahagiaan hanya imajinasi tak berujung, semua kesengsaraan adalah bagian hidupku, hanya itu yang ada dalam benak pikiranku. Hingga aku bermimpi tentangnya.
            Tepat pada tanggal 19 November 2007 hari senin, awal aku bermimpi tentang seorang gadis yang menatap langit dengan wajah cemas dan sunyi. Wajahnya sangat murung dan menampakkan rona kegelisahan. Setiap malam mimpiku hanya dia yang menatap langit. Aku tak mengerti maksud mimpiku itu, dan setiap malam, mimpiku diawali oleh keahadiran gadis mungil itu yang tak bergeming kala ku tegur. Semakin ku berteriak untuk memanggilnya, seakan suara yang keluar hanya bagai semilir angin tak terasa. Sang gadis dalam mimpi ku itu selalu tersenyum kepada ku dengan rona kepolosannya. Senyum itulah yang mengakhiri mimpiku. Aku tak mengerti kehadirannya dalam mimpiku, siapa dirinya pun aku tak tahu.
            Hari selasa tanggal 20 November 2007, aku terbangun masih dengan mimpi aneh yang sama seperti hari kemarin. Mungkin hanya kebetulan saja. Beranjak dari tempat tidurku dan menuju kamar mandi, bersiap untuk mengajar murid-muridku di SD Kembang. Aku adalah seorang guru di sekolah itu. Baru tiga bulan aku lulus, tapi aku sudah mengajar di sekolah ini sekitar lima bulan saat aku masih mahasiswa. Meskipun menjadi seorang guru bukanlah sebuah keinginan, tapi kebutuhan akan uangnya, aku menjalaninya dengan secukup-cukupnya, tak bersemangat dan tak terlalu masa bodoh.
            Ku nyalakan motor tua hasil tabungan dari gaji mengajarku dan berangkat menuju tempat kerja. Aku menjadi guru di kelas 3A yang berisikan 39 siswa. Banyak murid-muridku yang mencoba mengakrabkan diri padaku, tapi semua tak ku gubris. Hanya beberapa murid yang sangat aku hapal, mereka adalah tiga sekawan Maria Tanjung, Sapril, dan Imam Fauzi. Tiga murid itu pernah membantuku untuk mencari pendapatan tambahan, karena gajiku sebagai guru hanya sedikit.
Maria Tanjung, biasanya ku panggil Maria, adalah anak perempuan cantik dan berkulit putih. Ia adalah anak tunggal dari seorang direktur di sebuah perusahaan minyak tingkat nasional. Maria merupakan anak perempuan paling tangguh di kelas aku mengajar. Tak pernah meneteskan airmata saat digoda oleh murid laki-laki, tak pernah menyerah dalam menghadapi pelajaran, dan sangat sopan pada setiap orang yang dikenalnya. Maria membantu aku dalam hal finansial. Dia membiarkan aku menjadi guru privatnya di rumah. Gaji dari mengajar privat itu cukup besar untuk menjalani kehidupan sehari-hari di kos-kosan kecil yang menjadi istanaku. Kedekatanku tidak lebih dari seorang pengajar pada muridnya, aku tak ingin terlalu membina hubungan batin pada murid-muridku.
            Lalu, murid kedua yang sangat ku kenal, yakni Sapril. Sapril adalah anak yang bertubuh mungil dengan kulit berwarna coklat dan tahi lalat di pipi sebelah kiri. Ia merupakan murid yang lincah dan tidak kenal takut. Sapril lah murid pertama yang dapat memasuki duniaku. Dapat dikatakan aku cukup dekat dengannya, tak tahu kenapa. Tingkah laku Sapril mengingatkan aku pada tingkah polah kakak ku ketika masih kecil. Urakan dan berani, tapi penuh dengan rasa tanggung jawab yang besar, maklum ia adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Orang tuanya hanyalah pedagang rumah makan di belakang gedung Arthaloka, Setia Budi. Sapril pernah membantuku mendapatkan motor bututku, kebetulan kakak sepupunya waktu itu ingin menjual motornya.
            Murid terakhir dari tiga sekawan, yakni Imam Fauzi yang biasa ku panggil Imam. Ia adalah anak yang berperawakan sedang dengan kulit putih langsat. Pada dasarnya, Imam adalah anak yang pemalu, dan sederhana. Namun, ketika ia sedang fokus pada suatu hal, tanpa segan-segan ia akan mendalaminya. Dalam pelajaran ia biasa-biasa saja, tak pintar juga tak bodoh, hanya saja jika sudah berkenaan dengan hobi keseniannya, maka ia akan menjadi nomor satu. Jasanya pada ku ialah memberikan alamat kos-kosan tempat aku tinggal sekarang, maklum ibunya adalah pemilik kos-kosan ini. Imam hidup hanya bertiga dengan ibu dan kakak perempuannya. Ayahnya sudah lama meninggal, jauh sebelum Imam lahir.
            Mereka bertiga ku beri julukan tiga sekawan karena mereka selalu bersama-sama ketika di sekolah, dan mereka bertigalah yang tidak peduli sikap dinginku. Dapat dikatakan mereka adalah api penghangat sementara dalam kehidupanku.
Sesampainya aku di sekolah, seperti biasa, aku mengajar dengan seadanya saja, tak bersemangat dan datar. Ku memulai kelas dari jam 07.30 WIB dan beristirahat jam 11.30 WIB. Ku perhatikan Sapril dan Maria memperhatikan aku dari jauh. Matanya begitu tajam menatap diriku. Hatiku bertanya-tanya, ada apa gerangan mereka menatapku? Mungkin ada yang salah dengan cara berpakaianku. Aku berupaya tidak peduli. Akhirnya Sapril berjalan dengan santai ke arahku.
“Pak Gibran, bapak lagi tidak sehat ya?”, tanyanya dengan lugas.
“Bapak sehat Pril, memangnya kenapa?”, jawabku santai.
“Gak apa-apa pak, Cuma saya dan Maria melihat bapak seperti kurang tidur dan tidak konsentrasi mengajar dari tadi”
“Oh, saya Cuma kurang tidur saja Pril, tidak ada apa-apa”
“Kurang tidur kenapa pak?”, tanya Maria menyelak Sapril.
“Gak apa-apa Maria, terima kasih sudah mau mengkhawatirkan bapak”
“Bapak jangan bohong, saya dan Sapril kan khawatir pak”
“Sudahlah Maria, Pak Gibran gak apa-apa”, tegas Sapril kepada Maria, “Iyakan pak?”
“Sapril, Maria, bapak tidak apa-apa, percaya sama bapak, ya”, ujarku meyakinkan mereka berdua, “Sana nikmati bekal kalian, bapak mau ke kantor guru”
“Baik pak”, jawab Sapril dan Maria serentak. Sapril dan Maria keluar kelas bersamaan dan menghampiri Imam yang sudah menunggu di luar kelas, dan aku pun beranjak dari kelas menuju ruang guru dengan berpikir dalam benak, tentang keunikan ketiga muridku itu. Hanya mereka bertiga yang mampu menembus benteng dingin dan keras ku. Sungguh unik mereka, tiga sekawan.
Jam menunjukkan pukul 14.00 WIB, akhirnya selesai aku mengajar. Sapril memimpin kelas untuk mengucapkan salam padaku dan semua murid-muridku pulang dengan beraturan, menuju ke rumah masing-masing. Aku pun segera membereskan barang-barangku di atas meja guru kelasku. Merapikan semuanya dan memasukkan ke dalam tas ransel butut yang sudah kupakai semenjak aku mahasiswa. Ku berjalan perlahan menuju ruang kelas ku yang penuh dengan gambar-gambar pahlawan nasional, di antaranya ialah gambar R. A. Kartini, Imam Bonjol, dan Sukarno. Sebuah ruang kelas sederhana dan sedikit berwarna dengan karya keterampilan murid-muridku saat kelas kesenian.
Aku menuju tempat motorku diparkirkan, sejenak ku perhatikan anak-anak muridku berlarian, bermain bola sepak. Mereka menyapaku dengan riang gembira. Aku pun membalasnya dengan dingin, dan mempersiapkan motorku untuk pulang. Ku nyalakan jantung motorku, melaju menuju kos-kosanku.

***

Mimpi itu semakin sering datang. Semakin hari mimpi itu semakin jelas. Tetap di hutan yang sama, tetap dengan gadis yang sama, hanya saja aku dapat mendengarnya memanggil namaku, “Gibran..”. Siapa sebenarnya gadis itu? Pertanyaan itu selalu ku tanyakan kala matahari sudah menyapa dan membangkitkan aku dari mimpi absurd itu. Gadis itu selalu menggunakan jubah bertudung coklat yang sudah terlihat butut, dan ia juga selalu memberikan tangannya kepada ku, seolah-olah ia ingin sekali tangannya ku raih.
Termenung hariku di pagi hari. Selalu bertanya, apakah mimpi ini kebetulan? Atau memang sebuah kutukan? Tak mengerti. Ku lihat jendela kamar, matahari belum menampakan wajahnya yang berseri, masih tertidur mungkin. Ku bangunkan tubuhku perlahan untuk mempersiapkan hari yang akan ku hadapi. Ku ambil handuk dan menuju kamar mandi.
Selesai mandi, aku mengambil kemeja panjang berwarna putih yang sudah dipasangkan dengan celana bahan berwarna hitam. Kusisir rambut dengan rapi dan membentuk belah pinggir. Setelah merapikan pakaian, aku memasukan bahan ajarku ke dalam tas ranselku dan menuju keluar kamar kos-kosan dengan menuntun motor CB tuaku. Perlahan tapi pasti, aku dengan motorku, melaju ke sekolahku.
Sesampainya di sekolah, aku memarkirkan motor di tempat favoritku, di bawah pohon beringin tua yang sudah menjadi ciri khas sekolah ini. Kemudian aku berjalan dengan santai menuju ruang guru untuk absen guru dan langsung menuju ruang kelas yang masih kosong, ya itulah kebiasaan ku, menikmati suasana hening ruang kelas di pagi hari. Ku buka tas ranselku, ku ambil roti kecil yang masih menempel harganya, Rp. 1.000,00. Roti itulah yang menjadi teman sarapan di pagi yang dinginku.
Dalam keheningan terbesit mimpi yang sudah ku alami akhir-akhir ini. Tidak jelas mimpi itu. Keheninganku terpecahkan oleh suara langkah beriramakan keriangan yang menuju ke dalam kelas hampa ini. Ya, Maria datang dengan wajahnya bersreri-seri. “Eh Pak Gibran sudah datang”, sapa Maria, “Selamat pagi Pak”. Ku jawab sapaan Maria dengan anggukan pelanku dan Maria pun menuju bangkunya di baris pertama dekat dengan pintu masuk. Nuansa keheningan sekarang terpecahkan oleh senandung riang Maria, maklum ia merupakan anak perempuan penuh energi di pagi hari. Selang beberapa menit kemudian hadir anak-anak murid lainnya.
Tepat jam 07.30 WIB bel sekolah berbunyi. Suara itu menggema ke seluruh lorong sekolah yang bergedung tua itu. Seperti biasa, pelajaran di kelas ku dimulai dengan komando dari Sapril selaku ketua kelas. Semua berjalan biasa, yang berbeda hanya rasa kantuk yang menyerangku. Sudah dua atau tiga hari aku bermimpi yang sama dan mengganggu rutinitas tidurku.
Tak terasa jarum jam sudah menunjukkan pukul 14.00 WIB, selesai sudah tugasku sebagai guru hari itu. Pelajaran ditutup oleh komando Sapril untuk berdoa pulang dan memberi salam kepada ku selaku guru, sebuah formalitas baku yang tidak pernah berubah dari aku masih di bangku sekolah dasar dulu. Semua anak telah berlarian meninggalkan kelas, begitupun dengan tiga sekawan, Maria, Sapril, dan Imam. Akhirnya aku sendiri membereskan segala peralatan dan barang-barangku. Aku pun pulang, sendiri dengan rasa kantuk.

***

Pagi itu, hari minggu tanggal 2 Desember 2007, aku terbangun dengan kepala yang sedikit pusing. Berbeda dengan pagi-pagi sebelumnya, aku merasa kepala terasa berat dan tidak dapat diangkat dengan sewajarnya. Kupaksakan tubuh kurusku untuk bangkit dari tempat tidur. Ku lihat jam di samping tempat tidur dari besiku, ternyata sudah jam 10.00 WIB. Tumben aku bangun terlalu siang, biasanya aku terbangun jam 06.00 WIB setiap harinya termasuk hari minggu. Ku coba langkahkan kakiku menuju pintu kamar mandi, ku ambil handuk warna biru muda dekil di kursi yang menghadap ke jendela kamar kecil ku.
            Ku arahkan mata pada kaca di atas wastafel tuaku, terlihat dua kantung mata penanda seseorang terkantuk dalam buaian mimpinya terlalu lama. Ku pandangi daerah sekitar dagu, begitu tak terurus jenggot yang mulai tumbuh berantakan. Sejenak ku coba mengingat bagaimana rupa pria dalam kaca sebelum mimpi aneh itu mengganggunya, apakah tampan? Gemuk? Ataukah memang ia sudah kurus tak terurus seperti sekarang? Tak dapat ku ingat. Begitu ambigu semuanya, tak dapat kubedakan mana yang benar, dan mana yang fiktif. Beranjak dari cermin, ku langkahkan kaki kembali ke tempat tidur. Kembali ku coba mengingat, hal apa yang membuat kepala ini menjadi berat dan pusing tak tertolong.
            Menyerah pada ketidak-pastian, ku coba benamkan kepalaku di bantal. Mencoba membayangkan wajah gadis itu, dan berharap untuk dapat bertemu. Harapanku bertemu dia hanya untuk memastikan apa keinginannya? Kenapa ia begitu cemas? Dan kenapa ia ingin aku menjangkaunya? Hanya itu saja dan aku mungkin terbebas. Semoga dia memang nyata, semoga aku dapat bertemu dengannya, semoga saja.
            Rutinitasku setiap hari minggu ialah beristirahat dan menilai pekerjaan rumah para murid yang minggu lalu ku berikan. Namun, hari minggu kali ini semua berbeda. Badanku lelah, lemas, dan tak bertenaga. Semuanya seakan telah memuakan alur kehidupanku. Semua perasaan ini berkat dari mimpi aneh itu. Semua tugas, dan kebiasaanku di hari minggu malas ku kerjakan. Aku hanya duduk termenung di dekat jendela kamar kos-kosan ku. Termenung, dan merenung.
            Pandangan mata ku hanya tertuju pada barisan awan yang melayang perlahan. Sedikit melegakan, karena awan-awan itu menenangkan kebimbanganku. Terbesit keinginan untuk menjadi sebuah awan putih yang tentram. Namun aku manusia, bukan awan. Aku harus bisa melalui segala masalah yang ada di ujung hidungku.
            Jam kamar menunjukkan pukul 12.00 WIB, sudah dua jam ternyata aku terbengong-bengong atas sesuatu yang tak jelas. Perutku lapar, tapi aku tak ingin makan. Badanku sudah lengket keringat, tapi aku malas bergerak menuju kamar mandi dan menyegarkan otak dengan segayung-dua gayung air di bak mandi. Benar-benar kehilangan semangat. Berbeda dengan hari minggu yang telah lalu, di mana aku selalu menikmati hari liburku dengan mengerjakan pekerjaan rumah.
            Nafasku berat hari ini, aliran darahku tak teratur, terasa sungguh melemahkan badan. Aku ingin hidup seperti dulu, sebelum mimpi itu datang. Walaupun kehidupanku yang lalu juga sama menyedihkannya, namun tidak membuat aku menjadi seperti orang tolol tanpa semangat hidup. Kalau seperti ini terus, percuma aku kuliah empat tahun dengan tujuan mendapatkan uang yang lebih banyak, meskipun faktanya gelar sarjanaku hanya sebuah isapan jempol.
***

Telah dua minggu rasanya, mimpi itu tidak datang lagi. Bersyukurkah aku mimpi penuh kebingungan itu sirna? Mungkin saja. Kini aku dapat menikmati hari-hariku sebagai seorang guru. Semua kembali normal, aku berhasil melupakan mimpi aneh itu, tentang gadis di dalam hutan, tentang tangannya yang hendak menjangkauku. Jauh di dasar nalarku, aku masih penasaran.
            Kehidupan hampa ku telah normal, dan aku mampu untuk menjalani rutinitas mengajarku dengan santai, tanpa kantung mata dan rasa kantuk. Ku parkirkan tunggangan setia ku di bawah pohon beringin sekolah. Sejenak aku menatap langit yang cerah dengan deretan awan putih nan indah, aku lega. Seperti kebiasaanku yang sudah lama tak ku lakukan dengan semestinya, yakni merenung dalam ruang kelas sebelum murid-murid datang. Berjalan perlahan menyusuri sudut kelas, seperti sudah setahun tidak merasakan keindahan kesunyian kelas ini, padahal tidak begitu lama aku terganggu oleh mimpi itu. Main-main dengan kesunyian sudah selesai, saatnya ku siapkan materi untuk mengajar.
            Seperti biasa, murid yang datang pertama ialah Maria. Ia datang selalu dengan keriangan di wajahnya. Setelah Maria, murid yang lain datang menyusul dengan berbagai raut wajah, ada yang santai, ada yang cemas, dan ada yang tersenyum. Hanya Sapril yang tidak dapat ku terka bagaimana raut wajahnya saat datang. Terkadang raut wajahnya senang, terkadang murung, terkadang segar, dan terkadang mengantuk. Sapril, si anak ajaib.
            Aku mengajar dengan semestinya, tidak terlalu mengantuk dan tidak terlalu bersemangat, hanya mengajar dengan kedataran perasaanku. Tapi, aku sudah seperti awal, tidak terganggu oleh pikiran yang mempermasalahkan asal-muasal mimpi aneh itu. Mimpi aneh yang menyerang rongga akalku sehingga aku tidak dapat berpikir logis. Bisa dikatakan, aku bebas dengan kembali menjadi aku.
            Pulang mengajar, aku pacu tungganganku menuju kos-kosan. Aku ingin menikmati mimpi-mimpi indah tanpa kehadiran mimpi aneh itu. Aku melaju menikmati perjalanan, tidak cepat dan tidak lambat. Aku sungguh merindukan saat-saat santai tanpa beban dan kantuk. Semua kupastikan kembali normal versi Gibran Anwar, tanpa impian dan tanpa obsesi hanya menjalani hidup untuk bertahan bernafas.
            Sesampainya di kamar kos-kosan, aku berbaring dengan pakaian lengkap tanpa berganti baju. Ku melihat langit-langit kamar dan merasakan bahwa langit-langit kamar telah berubah menjadi sekumpulan awan yang melegakan. Setelah sekian minggu aku dihantui oleh mimpi aneh itu, akhirnya aku bebas. Namun tetap saja, sepertiga hatiku masih terpikirkan pertanyaan-pertanyaan tentang mimpi itu. Apakah aku sudah bebas? Ataukah mimpi itu akan kembali? Semoga saja tidak.
            Hari-hari penuh kedamaian ku nikmati. Kuteguk setiap jengkal kedamaiannya, seakan-akan surga sudah kudapatkan. Akhirnya aku yakin, mimpi itu tak akan datang kembali. Ini keinginanku, merasakan kembali kedamaian yang kuinginkan.
            Tanggal 28 Desember 2007, seperti rutinitasku sehari-hari, aku berangkat menuju sekolah sebelum guru-guru dan murid-murid lainnya berangkat. Aku ingin menikmati kesunyian dalam kelas sebelum mengajar. Melangkah kaki ini begitu ringan, seringan bulu. Tanpa prasangka dan praduga, aku yakin akulah yang pertama hadir di ruangan kelas.
            Sejengkal lagi aku akan masuk ke ruang kelas, sepintas aku melihat bayangan dengan lekuk tubuh yang menandakan bahwa pemilik bayangan tersebut adalah seorang remaja putri. Aku coba tengok perlahan, dan aku terkejut dengan apa yang ku lihat, pemilik bayangan itu ialah gadis yang hadir dalam mimpiku. Aku terperangah dan tak beranjak, terkejut benar akal sehatku. Ternyata ia nyata, atau aku hanya mimpi?
            Perlahan gadis dengan berjubah coklat itu terlihat tersenyum, dan ia memecah keheningan seraya berkata, “Kau orang yang terpilih, Gibran...”. Lalu semua terasa berputar, ruang kelasku rontok satu persatu menuju kegelapan yang nyata. Aku panik, aku takut, dan aku pun berteriak dalam hati. Dalam ketidak-jelasan keberadaanku, terdengar lantang suara gadis itu dalam benakku
“Kau terpilih Gibran....”
“Hanya kau yang pantas....”
“Tak akan ada orang lain.....”
“Kaulah penyelamat dunia kami.....”
“Kaulah.... Kaulah....”
            Suara gadis itu terus menggema tanpa ada jeda. Menyeriang dalam ingatan dan terukir dalam derasnya aliran darah. Aku hanya dapat menutup telinga dan memejamkan mata, berharap suara yang mengganggu itu sirna secepatnya. Namun, suara gadis itu tetap menajam dan menusuk setiap rongga telinga ku. Semakin melengking, hingga menyerupai suara weker. Akhirnya aku terperanjak, aku membuka mataku, dan aku melihat langit-langit kamar kos-kosanku. Ternyata itu mimpi.
            Aku bangkit dari tempat tidur, mencoba mengembalikan segala kesadaran diri. Semua yang baru saja aku alami ternyata mimpi, namun seperti nyata dan membuat aku bingung untuk membedakan mana dunia kenyataan dengan dunia mimpi. Ku matikan jam wekerku yang terus berteriak, dan ku regangkan ragaku untuk menggapai kesegaran sejenak. Setelah sedikit segar, aku kembali melihat jam wekerku yang sudah membisu, jarumnya menunjukkan pukul 06.00 WIB, satu setengah jam lagi menuju bel sekolah, maka segeralah aku menuju kamar mandi untuk membasuh diri dari kengerian mimpi semalam.
            Setelah selesai bersiap diri, aku menyalakan motorku yang kedinginan angin malam, dan melesat menuju sekolah. Di perjalanan, aku terus terngiang wajah gadis dalam mimpiku, sungguh nyata, namun itu mimpi. “Siapa gadis itu?”, gumamku. Tak mau ambil pusing dengan mimpiku, aku melajukan motor dengan hati-hati menuju sekolah.

***

Tanggal 8 Januari 2008, gadis itu kembali hadir dalam mimpiku, menghiasi mimpiku dengan keresahan mendalam. Bukan di hutan, hanya di telaga penuh sinar dan terdapat sebuah tongkat kayu di hadapnya. Wajah sang gadis begitu cemas, dan kembali mencoba menggapai tanganku. Inginnya aku menggapai tangan mungil itu, tapi selalu lenyap bersamaan suara ayam jantan milik ibu kos. Kesal? Iya aku kesal, bingung? Iya aku bingung. Kenapa ia datang lagi? Kenapa kali ini tempatnya berubah? Tongkat apa yang ada di hadapan gadis itu? Mimpi kali ini begitu menyebalkan, membuat amarah memuncak.
            Keseharianku penuh kegelisahan kembali, semenjak mimpi itu datang lagi. Mengajar tidak bergairah, makan tidak terasa, tidur tak nyenyak, membuat aku seperti orang aneh di mata rekan sesama pengajar dan tetangga kos-kosan. Menjadi aneh, aneh, dan aneh. Semua karena gadis yang tak ku kenal itu. Tapi ku coba untuk acuhkan perasaan aneh ini, kuingkari dengan segenap tenaga yang masih ada di dalam tubuh yang rentan karena kurang menikmati istirahat di malam hari.
            Tepat jam 21.00 WIB, ku rebahkan diri di kasur tuaku yang bersepreikan warna biru tua. Saat ku mencoba memejamkan mata, ku mendengar sebuah suara, “Gibran...”. Suara yang sudah terlalu dihapalkan oleh otakku, suara yang membuatku muak, suara gadis dalam mimpi aneh itu. Suara itu nyata, dengan cepat kupaksakan mata untuk mencari sosok pemilik suara itu. Ku temukan di mana pemilik suara itu, ia berdiri di dekat meja belajar kamarku.
“Siapa kau? Bagaimana kau bisa masuk ke kamar ku?”, tanyaku dengan tegas pada gadis berjubah tudung coklat.
“Tak usah takut, tak usah cemas, aku hanya ingin membawamu, menuju jawaban pertanyaanmu selama ini”, jawabnya dengan sederhana.
Belum sempat aku melontarkan pertanyaan kepada gadis itu, tiba-tiba diriku sudah berada di tengah-tengah hutan dalam mimpiku. Begitu identik, persis dengan yang sering ku saksikan dalam mimpi. Sungguh terkejut, hati dan mata seperti bertengkar, mempertanyakan apakah semua ini nyata? Ataukah hanya mimpi yang biasa?
            Hutan yang persis sama dengan yang ada di mimpiku. Terdengar kicauan burung bagaikan orkestra indah, juga terdengar suara gemericik air dari kejauhan, dedaunan begitu hijau dan bunga-bunganya penuh warna, tanahnya sedikit basah tapi menyejukkan, dan cahaya yang redup menenangkan hati tertutup oleh deretan pohon-pohon menjulang tak beraturan. Terkesima dengan segala pemandangan itu, aku hanya terdiam dalam dudukku. Apakah ini mimpi? Atau memang nyata? Dua pertanyaan itu bergejolak membara dalam hati. Segala indra tubuhku sudah menyatakan ini asli dan bukan mimpi, namun hati dan otakku seakan-akan masih saja tidak percaya. Di mana aku berada saat ini?
            Tersentak aku tersadar, gadis itu menghilang, dan aku hanya sendiri di dalam hutan asing ini. Gadis itu memang tidak dapat ku tebak, sesaat ia datang dan membawaku ke tempat ajaib ini, dan sekarang ia telah menghilang. Keterlaluan benar gadis itu. Bangkit dari tempat aku terjatuh, ku coba mencari jalan keluar dari hutan tak bernama ini. Intuisi dan naluri ku merespon suara sungai yang terdengar samar di telinga. Kakiku melayang menuju sumber suara itu. Perlahan-lahan seperti seekor srigala yang sedang mengendus mangsanya, akupun berupaya mencari sumber suara itu. Melangkah dan melangkah, tak tahu sudah berapa kilometer kaki ini melangkah, semua lelah tak terasa karena tubuhku merasa ingin cepat menuju sungai yang suaranya begitu mempengaruhi akal sehatku. Melangkah dan terus melangkah, hingga akhirnya terhenti juga langkah kaki rentanku, karena sebuah batu besar menghalangi langkah kaki ku. Dari balik batu besar itu, kudengar dengan jelas suara gemericik air sungai yang sudah menarik kakiku ke depan batu besar itu.
            Bagaimana aku bisa lewat? Pertanyaan itu muncul dengan berbagai macam rencana jawabannya di otakku. Ku cari-cari celah di batu itu, meraba-raba, mendorongnya, hingga mencoba menendangnya. Tapi, batu itu memang tak bergerak se-inci pun. Begitu kokoh, bak gedung-gedung pencakar langit di kota yang kutinggalkan tanpa kusadari karena gadis itu. Saat mencoba mencari celah lagi di batu itu, aku melihat sebuah benda berbentuk medali berwarna merah dengan pinggiran berwarna emas, dan terdapat gambar garuda di dalamnya. Ku ambil benda itu, ku teliti dengan seksama, begitu indah medali ini. Akhirnya ku putuskan untuk menyimpan medali merah itu dan kembali mencari jalan untuk melewati batu besar di hadapanku.
            Sekali lagi ku coba untuk merobohkan batu besar itu dengan menggunakan bantuan dari kayu yang kubuat menjadi seperti pengungkit sederhana. Sesaat aku menekan alat pengungkit sederhana itu, tiba-tiba batu besar itu bergeser dengan halusnya, seperti pintu pagar. Alhasil, aku yang sudah terlanjur melompat ke pengungkit itu terjatuh, cukup keras kurasa. “Wadaaoooww, sakit gila pantat ini”, teriak ku. Dengan rasa sakit itu, aku melihat sebuah pemandangan luar biasa. Sebuah air terjun yang berkilauan karena adanya hiasan ruby, intan, dan permata. Selokan di bawahnya terlihat kokoh dan indah, berwarna keemasan dan sepertinya memang terbuat dari emas. Mata ku kemudian berpetualang dengan alur dari selokan itu, mencari-cari kemanakah aliran air itu pergi. Perlahan-lahan aku mengikuti jejak langkah air itu, hingga mengantarkan aku sampai pada sebuah telaga yang tidak terlalu besar, dan berbentuk lingkaran.
            Tepat di tengah telaga itu ada sebuah gazebo kecil yang sudah tidak terurus. Penuh lumut dan ilalang dari hutan yang terus menjaga gazebo itu dari para perusak. Gazebo tua itu menarik naluriku untuk mendekat kepadanya, seakan-akan ada sesuatu di dalamnya. Dengan ragu-ragu ku langkahkan kecil kaki ini, berharap tidak ada serangan dari ulang yang mungkin bersarang di sana, atau kejutan dari kalajengking yang mungkin bersembunyi di antara lumut basah. Banyak bayangan ketakutan di dalam otak ini, namun hati seakan-akan mengatakan bahwa kaki ini harus terus berjalan menuju gazebo tua itu. Ku ambil sebuah kayu tua di dekat pintu masuk gazebo itu, lalu ku hajar lumut-lumut di dalam gazebo, untuk mencegah diserang lebih dulu oleh para ular dan serangga. Ketakutanku ternyata hanya halusinasi, tak ada apa-apa.
Ku hela nafas tak bersuara, penanda bahwa raga ini lega karena tak ada ular atau kalajengking seperti yang kutakutkan. Namun, ada yang aneh dengan naluriku, aku seakan-akan masih saja dibimbing oleh naluriku untuk mencari sesuatu di antara lumut-lumut basah itu. Kugapaikan tanganku, kuraba-raba, dan akhirnya tanganku memegang sesuatu. Sebuah benda seperti tongkat kecil yang berukuran 30 cm. Di bawah tongkat itu ada ornamen yang sama dengan yang ada di dalam medali yang kutemukan sebelumnya. Sebuah ornamen garuda lengkap dengan sayap yang terbuka lebar. Lalu, kuteliti lagi, di atas tongkat itu ada sebuah lubang. Lubang itu besarnya sama dengan besar dari medali yang kutemukan. Karena penasaran, kucoba memasukan medali itu ke dalam lubang yang ada dalam tongkat. “Masuk”, ujarku tak menyangka intuisiku benar.
            Meskipun medali itu sangatlah pas dalam lubang di tongkat itu, tidak terjadi apa-apa. Ternyata tidak seperti yang kubayangkan. Aku menghela nafas lega, ternyata tidak terjadi apa-apa, hanya menemukan sebuah tongkat aneh dengan lubang sebesar medali yang kutemukan. Tanpa buang waktu, aku melihat sekeliling tempat aku berpijak. Mencari-cari jalan pulang yang tidak kutemukan dari tadi.
            Sebuah percikan cahaya di sebelah utara menarik perhatian indera penglihatanku. Mungkin itu jalan pulang? Atau mungkin itu sarang binatang buas? Pertanyaan dalam kepala yang membuat hati ini bimbang untuk melangkah. Aku mengatur nafas sejenak, mencoba meraba kesejukan hutan misterius ini. Sungguh, aku jadi terkenang kenangan masa kecil, bersama kakak kebanggaanku.
            Dulu, aku dan kakakku sering sekali pergi ke gunung untuk menghirup udara segar yang dihasilkan oleh dedaunan. Begitu menyejukan, melepaskan segala imajinasi masa kecil bersama idola ku saat itu. Udara segar itu kini kurasakan di hutan misterius ini, udara yang sama segarnya, udara yang juga dihasilkan dedaunan, tapi ada satu perbedaan, kali ini aku sendiri menikmatinya, tanpa kakak kebanggaanku.
            Setelah beristirahat, aku putuskan untuk menuju percikan sinar itu, meski ada keraguan dalam hati. Perlahan ku melangkah menuju sinar itu, melewati semak belukar, dan barisan pohon pinus yang menjuntai, serta dihadang oleh barisan pohon mangga dan nangka liar yang tak terawat. Langkah ini ditemani oleh suara kicauan burung-burung yang beragam, tak dapat kusimpulkan satu-persatu, dan dituntun oleh kesejukan alami hutan penuh misteri atas pesonanya. Perjalanan kecilku itu pun sampai pada tujuannya, sumber dari percikan sinar misterius itu. Terperana aku, tak dapat kugerakan kaki ku, sungguh indah sumber sinar itu, sebuah pusara transparan dengan cahaya pelangi berkilau di dalamnya.
            Mataku tidak mempercayainya, cahaya pelangi itu di luar nalarku, tak ada yang mungkin dapat menghasilkan cahaya pelangi yang seindah itu, di mana aku sekarang? Dunia mimpi atau dunia nyata? Ah mungkin aku bermimpi, tapi mungkin saja tidak. Dengan penuh pertanyaan di kepala ku, ku sandarkan tubuhku pada sebuah pohon pinus besar di sebelah barat sinar pelangi.
            Aku sudah kehilangan akal sehat, aku sudah gila, kenapa bisa? Ada sebuah pusara dengan sinar pelangi di dalamnya, dan begitu nyata sinar itu, sungguh tak masuk akal. Tidak, aku masih waras, tapi bagaimana bisa ada sebuah sinar yang begitu indah ada di dalam pusara transparan di tengah hutan, mungkin fenomena alam, tapi tidak mungkin fenomena alam, apa yang terjadi dengan otakku? Aarrggh, benar-benar membingungkan, tak sanggup lagi aku bertanya-tanya.
            Kala kepalaku terkantuk, ku merasa sinar itu hendak menghampiriku. Sinar pelangi indah itu bergerak perlahan menuju tempatku terduduk. Seperti hidup, sinar itu sakan-akan memberikan sinyal bahwa aku harus kembali berpijak pada akal sehatku. Akhirnya kuputuskan untuk menghampiri pusara tembus pandang itu. Semakin tubuhku mendekati pusara itu, semakin kelelahanku menghilang, seperti baru saja menerima oksigen baru dan bagaikan sedang dimanja oleh buaian tenaga baru. Kurasakan lecet-lecet kecil di sekujur tubuhku kembali pulih, seakan-akan tidak adanya lecet yang disebabkan melintasi hutan dengan berjalan kaki. Tak hanya sampai di situ, sinar pelangi itu pun seakan-akan merajut kembali pakaianku yang sudah lusuh kembali seperti baru dengan beberapa aksen dan lambang yang aneh. Sebuah lambang garuda merah di tengah pakaianku, dan aksen etnik di pinggiran baju yang kukenakan.
            Lambang garuda itu sama dengan gambar garuda di medali dan tongkat yang ku temukan. Ini kejadian yang membuat kepala pusing. Apa maksud dari gambar garuda yang selalu kutemukan semenjak terdampar di hutan misterius ini? Membingungkan sampai ke sum-sum belakang.
“Gibran...”, sebuah suara menggema, “Gibran...”.
“Siapa itu? Tunjukkan wujudmu!!!”, teriakku mencari sosok suara yang memanggil namaku itu.
“Gibran..., Gibran....”
“Siapa kau? Kemari kalau berani, akan ku hadapi kau”
“Gibran...., ikuti....sinar....itu.....”, perlahan suara itu memudar.
“Siapa kau? Apa yang kau inginkan dari diriku? Jawab!!!!!!”, teriakku dengan penuh kekesalan kepada suara yang menyuruhku mengikuti sebuah sinar.
            Kepalaku kacau, aku bingung dengan semua realita yang ku hadapi, membuat diri muak dan ingin segera mendapatkan jawaban pasti. Aku terdiam dekat dengan sinar pelangi dalam pusara. Apakah sinar pelangi ini yang harus ku ikuti? Apakah sinar pelangi ini akan memberikan jawaban? Aku tak tahu. Kurasakan hutan semakin gelap, mungkin malam telah menjelang, tak tahu, semua terasa singkat di hutan ini. Ku coba rebahkan sejenak ragaku di samping pusara. Melamun memandang bintang-bintang yang mulai menampakkan wajahnya, memikirkan semua hal yang baru saja ku lalui, keanehan demi keanehan, tak dapat dipikirkan secara logika. Aku yang selalu menggunakan alasan logika atas sebuah fenomena terpuruk tak berdaya dalam kebingungan. Waktu semakin bergerak menuju rumah sang bulan, ia tak menunggu aku yang sedang bimbang dan gundah, terperanga, terbelalak mata, dan tergores alur logikaku. Apa yang harus ku lakukan? Selalu pertanyaan penuh kebimbangan itu muncul. Tak tahu, masa bodoh.
            Kurang lebih 30 menit aku terdiam dalam benak pikiran, akhirnya aku memutuskan untuk mencoba menghampiri pusara sinar pelangi itu. Kurapikan diri seadanya, kulangkahkan kaki perlahan menuju pusara. Tubuh rentanku sudah berada 20 cm dari pusara itu, ku angkat tanganku dan mencoba meraih sinar pelangi di dalam pusara. Ku buka pintu kecil di ujung pusara, ku raih sinar pelangi itu, ku genggam dan ku arahkan ke dekat wajahku untuk diamati dengan seksama. Ternyata sumber dari cahaya itu adalah sebuah medali juga, tapi aku tak dapat melihat apakah ada gambar di tengah-tengahnya, karena mataku silau oleh sinar pelangi itu. Ku coba meraba bagian tengah medali yang bersinarkan sinar pelangi, kurasakan di jemariku, seperti gambar seekor burung, burung yang berbeda dengan garuda, namun memiliki paruh mirip garuda.
            Ketika tanganku asik menerka-nerka gambar yang ada di medali itu, tiba-tiba sinar pelangi dari medali itu bersinar lebih terang dan melesat terbang menuju arah utara dari tempat ku berpijak. Tanpa basa-basi, aku berlari mengikuti medali sinar pelangi itu, melalui semak-belukar, kubangan lumpur, tangkai-tangkai pohon tua yang tertidur, dan berbagai macam pohon di hutan misterius itu. Medali itu melesat dengan sangat cepat menuju sebuah gua kecil di bawah pohon beringin besar, mungkin sudah ratusan tahun umurnya.

***

Perlahan-lahan aku langkahkan kaki dengan penuh kehati-hatian. Ku masuki mulut gua yang lebarnya tidak lebih lebar dari gerbang sekolah tempat aku mengajar. Mengingat gerbang itu, aku jadi merindukan wajah murid-muridku lugu dan tidak pernah ku gubris karena sifat acuh yang mendarah daging. Terbayang begitu nyata dalam ingatan, semua orang yang ada dalam hidupku, baik ibu maupun almarhum kakak.
            Semua berkumpul dalam bayangan kelelahanku, semua terasa nyata. Aku di dalam gua seperti bersama-sama. Aku merasa tak asing dengan kehangatan ini. Aku rindu kehangatan ini. Aku rindu keluargaku.