Masyarakat secara umum pasti sudah sering mendengar ungkapan tut wuri handayani. Ungkapan tersebut merupakan ungkapan yang berasal dari seorang tokoh nasional, yakni Ki Hadjar Dewantara. Sebenarnya ungkapan yang menjadi slogan di dunia pendidikan Indonesia tersebut bukan muncul satu ungkapan saja, melainkan berasal dari sebuah trilogi ungkapan, yakni Ing ngarsa sung tuladha, Ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.
Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani merupakan ungkapan yang memiliki satu kesatuan makna. Ungkapan tersebut jika diartikan dalam bahasa Indonesia memiliki arti 'yang di depan menjadi teladan, yang di tengah membangun kehendak, dari belakang turut memberi daya atau semangat' (sumber: St. S. Tartono. Pitutur Adi Luhur: Ajaran Moral dan Filosofi Hidup Orang Jawa). Maksudnya, seorang manusia harus bermanfaat di manapun posisinya.
Ketika ia sedang di depan (menjadi seorang pemimpin atau guru) ia harus menjadi teladan dan contoh bagi murid dan anggotanya. Karena, orang-orang yang berdiri di belakangnya akan mengacu padanya yang sedang berada di depan. Selain itu, ketika di depan hendaknya selalu melihat ke belakang untuk menata langkah selanjutnya, agar langkah yang sudah dibuat tidak menjerumuskan orang yang mengikuti di belakang.
Lalu kedua, ketika sedang berada di tengah-tengah (dalam sebuah kelompok) maka manusia hendaknya mampu mengkondisikan suasana, sehingga suasananya menjadi kondusif. Akan lebih baik jika seorang manusia mampu membuat suasana di sekelilingnya menjadi suasana positif. Kekuatan positif yang terlahir dalam sebuah kelompok akan membawa dampak baik bagi kelompok tersebut dan memberikan pengembangan diri bagi anggota kelompoknya, baik secara individu atau secara kelompok keseluruhan.
Terakhir, ketika manusia sedang berada di belakang bukan berarti ia harus menjadi pengikut semata. Ketika manusia di belakang ia juga memiliki andil, yakni sebagai pendorong orang-orang di depannya agar tidak pantang menyerah. Selain itu, ia juga memiliki peran untuk mempelajari kesalahan orang di depannya agar kesalahan tersebut tidak terulang dan menjadi regenerasi orang-orang yang sudah pernah berada di depannya. Tanpa ada orang di belakang maka tak ada orang yang di depan (pemimpin).
Oleh karena itu, dalam trilogi ungkapannya, Ki Hadjar Dewantara menanamkan sebuah harapan bahwa bangsa Indonesia mampu menjadi bangsa yang bermanfaat secara individu maupun dalam kelompok. Menjadi pembakar semangat positif dan mendorong pengembangan diri pada bangsa sendiri. Trilogi ungkapan tersebut hendaknya tidak dipisah, karena maknanya akan jauh berbeda.
Minggu, 21 Agustus 2011
Senin, 01 Agustus 2011
Hadapi Realita, Wahai Garuda
Baru saja Indonesia menang atas Turkmenistan dan melaju ke babak tiga besar. Namun, langkah Indonesia untuk menuju piala dunia 2014 di Brazil masih panjang. Masih ada lawan-lawan yang sudah menjadi langganan piala dunia di asia, seperti Jepang, Korea Selatan, Australia, Iran, dan Cina.
Skor agregat 5-4 bukanlah hasil yang memuaskan, meski itu merupakan usaha keras para punggawa tim Garuda. Banyak bagian yang harus diperbaiki. Terutama fisik dari para pemain agar mampu bermain penuh selama 90 menit. Terlihat dalam pertandingan melawan Turkmenistan yang lalu, para pemain sudah kelelahan di pertengahan babak kedua. Fisik yang terkuras sebelum 90 menit pertandingan merupakan pekerjaan rumah tambahan, selain kekompakan tim.
Lupakan Kejayaan, Jalani Realita
Jika memang ingin Indonesia masuk ke dalam pentas dunia sepakbola, maka lupakan bahwa tim Garuda pernah berkompetisi di dalamnya, meski dengan nama Hindia-Belanda. Mengingat-ingat kejayaan yang sudah memfosil tersebut hanya akan membuat mental punggawa merah putih menjadi manja.
Berada satu grup dengan Qatar, Bahrain, dan Iran merupakan sebuah tantangan baru. Iran termasuk langganan berlaga di ajang piala dunia, sedangkan Qatar dan Bahrai juga tidak dapat diremehkan. Melawan ketiga negara tersebut merupakan sebuah realita berat yang harus dihadapi oleh tim Garuda. Untuk mampu menang, tim merah putih harus mampu bermain penuh selama 90 menit dan mampu bermain ball positioning dengan baik.
Selain itu, harus diingat bahwa kemenangan sebuah tim tidak hanya kerja keras satu orang saja, melainkan kerja keras satu tim. Kerja sama, dan tidak egois dalam menguasai bola. Kesalahan kecil saja dapat merusak tempo permainan, jadi pemain harus mampu menjaga tempo permainan.
Satu hal lagi yang harus diingat, yakni bermain bola bukan karena mengejar target atau sebuah beban, bermainlah karena memang diri menyenangi dan mencintai olahraga tersebut. Jangan jadikan kemenangan target, namun jadikan kesenangan sebuah alasan. Bermain dengan hati yang gembira akan memberikan kekuatan untuk berusaha sampai akhir dan berani menerima kekalahan. Maju dan hadapi realita. Indonesia bisa dan Indonesia jaya.
Skor agregat 5-4 bukanlah hasil yang memuaskan, meski itu merupakan usaha keras para punggawa tim Garuda. Banyak bagian yang harus diperbaiki. Terutama fisik dari para pemain agar mampu bermain penuh selama 90 menit. Terlihat dalam pertandingan melawan Turkmenistan yang lalu, para pemain sudah kelelahan di pertengahan babak kedua. Fisik yang terkuras sebelum 90 menit pertandingan merupakan pekerjaan rumah tambahan, selain kekompakan tim.
Lupakan Kejayaan, Jalani Realita
Jika memang ingin Indonesia masuk ke dalam pentas dunia sepakbola, maka lupakan bahwa tim Garuda pernah berkompetisi di dalamnya, meski dengan nama Hindia-Belanda. Mengingat-ingat kejayaan yang sudah memfosil tersebut hanya akan membuat mental punggawa merah putih menjadi manja.
Berada satu grup dengan Qatar, Bahrain, dan Iran merupakan sebuah tantangan baru. Iran termasuk langganan berlaga di ajang piala dunia, sedangkan Qatar dan Bahrai juga tidak dapat diremehkan. Melawan ketiga negara tersebut merupakan sebuah realita berat yang harus dihadapi oleh tim Garuda. Untuk mampu menang, tim merah putih harus mampu bermain penuh selama 90 menit dan mampu bermain ball positioning dengan baik.
Selain itu, harus diingat bahwa kemenangan sebuah tim tidak hanya kerja keras satu orang saja, melainkan kerja keras satu tim. Kerja sama, dan tidak egois dalam menguasai bola. Kesalahan kecil saja dapat merusak tempo permainan, jadi pemain harus mampu menjaga tempo permainan.
Satu hal lagi yang harus diingat, yakni bermain bola bukan karena mengejar target atau sebuah beban, bermainlah karena memang diri menyenangi dan mencintai olahraga tersebut. Jangan jadikan kemenangan target, namun jadikan kesenangan sebuah alasan. Bermain dengan hati yang gembira akan memberikan kekuatan untuk berusaha sampai akhir dan berani menerima kekalahan. Maju dan hadapi realita. Indonesia bisa dan Indonesia jaya.
Langganan:
Postingan (Atom)