Minggu, 12 Agustus 2012

Jejak Kehidupan (2)

Biarkan senja menjadi narator kenangan kita bersama
Biarkan ia membacakan bait-bait keberadaan kita
Agar dunia mengerti, betapa jalur kehidupan kita
Bertemu dalam sebuah rangkulan hangat, sebuah bukti kita keluarga

Candamu, menjadi awan teduh bagiku
Candaku, menjadi angin sejuk bagimu
Kebahagiaan hakiki, kebahagiaan bersama

Sedihmu, menjadi sesak di hatiku
Sedihku, menjadi peretak di hatimu
Kesedihan hakiki, kesedihan berpeluk kasih

Bilamana hari itu datang
Biarkan senja mengisahkan kisah kita
Pada generasi mendatang
Agar kebersamaan ini menjadi abadi dalam kebersamaan mereka

Tiada awan kelabu mampu palingkan ikatan ini
Tiada badai berdecit mampu putuskan genggaman tangan ini
Karena aku dan engkau, berpeluh bersama dalam kesenangan dan kedukaan
Saling memaknai maksud keberadaan diri dalam keberbedaan

Jejak Kehidupan (1)

Suara-suara yang bergumul dalam benak
Saling berpeluh dalam jenuh sejenak
Palung kehidupan yang berorasi
Di tiap jengkal selaksa nafas hakiki

Perlahan hutan pun berdendang
Mengumandangkan seru-seru kehidupan
Benak yang dianugerahi perlu bersenang
Agar penat jenuh berlalu dengan kelegaan

Kumandang hutan bermakna jejak di atas bumi
Berdecak kagum pada goresan tarian pena
Dari jemari manusia mengukir kisah terkasihi
Di dalam aliran kenangan hati

Serukanlah, walau hanya sedetik
Kumandang itu, agar se-antero jagad memaknainya
Menjadi sebuah kisahan termegah dan terbaik
Menjadi jelmaan kisah hidup yang terus terpandangi di antara jejak lainnya

Serukanlah, walau hanya dengan sejengkal suara
Kumandangkan itu, agar dirimu tak menyesal nantinya
Bilamana nafasmu sudah beradu di peraduan nyawa
Bilamana belum sempatlah dirimu mengabadikan bukti dirimu ada di dunia

Rabu, 08 Agustus 2012

Mimpi Yang Sempurna


Manusia hidup bersama mimpinya. Manusia hidup dengan menghidupi mimpinya. Mimpi menjadi bahan bakar menuju sebuah kebanggaan seorang manusia. Malam menjadi bunga sketsa merancang mimpi dan pagi menjadi arena pertarungan untuk mewujudkan mimpi. Tak pelak, deru nafas yang berjenjang ini selalu aku mempercayai mimpi.

Rasa percayaku akan mimpi bermula dari dongeng seorang kakek penjaga sekolahku, Pak Sugiman namanya. Asal Kebumen, beranak tiga, dan ia membesarkan anak-anaknya sendiri karena istrinya meninggal setelah kelahiran anak ketiganya. Persahabatanku dengan Pak Giman, panggilan akrab Pak Sugiman, berawal kala aku menginjak kelas 1 SMA. Saat itu, aku tengah duduk berpangku di sudut tangga sekolah, menahan isak tangis karena sekelompok teman-teman sekelas—yang merupakan anak bengal di kelas—memperolok diriku karena aku berbadan gemuk gempal. Selalu setiap hari, aku selalu menjadi bahan tertawaan. Selalu dibilang lamban, menyusahkan, dan tidak akan pernah sukses dalam hidup.

Sendiri dengan isak tangis yang sunyi dan air mata menetes perlahan, aku terduduk diam hingga sore menjelang. Aku enggan pulang, aku merasa malu untuk berjalan pulang, karena aku gemuk. Sungguh, aku merasa sudah tidak tahan dengan hidupku dan ingin rasanya mengakhiri hidupku. Saat sepiku berpeluh air mata, sesosok bayangan menutupi cahaya lampu tangga. Aku menoleh ke belakang, ternyata Pak Giman berdiri di belakangku. Ia berdiri tegap dengan kaus oblong dan celana lusuhnya. Dengan sapu lidi di tangan kanannya dan tong sampah besar di tangan kirinya, ia menatapku dengan hangat.

“Sedang apa le?”, tanya Pak Giman. “Kok belum pulang?”

“Ah, Pak Giman, tidak apa-apa”, jawabku dengan menyeka air mata yang membekas.

Ana apa ta le? Kok menangis”

Mendengar pertanyaan itu aku terdiam. Lalu, dengan sedikit berpaling muka aku menjawab, “Tidak ada apa-apa kok pak”.

Ya Wis le, kalau ada hal yang mengganjal hati, jangan ragu cerita sama bapak. Bapak ini walau sudah tua, setidaknya masih bisa menjadi pendengar yang baik. Ya”, ujarnya dengan senyum lebar. “Kamu pulanglah, sudah sore besok pasti harus berangkat pagi kan?”.

“Iya pak”, lalu aku meninggalkan Pak Giman dengan tanpa berpamitan meski lewat pandangan mata.

***

Suatu hari, aku sudah tidak tahan akan perlakuan teman-temanku yang selalu memperolokku. Aku melawannya, dan mendorong temanku sebelum keluar kelas untuk pulang. Karena perlawananku itu, mereka melawan dan menyeretku menuju kamar mandi sekolah.

Aku dikerumuni lima orang. Mereka merupakan anak-anak bengal yang ada di kelasku. Mereka berkuasa di kelas dan tak ada satu pun anak yang berani melawan mereka. Wajah mereka kesal, karena aku melawan dari kekuasaan mereka dan membuat mereka malu di depan kelas. Akhirnya, satu persatu dari mereka memukuliku.

Di tengah mereka dengan asyiknya memukuliku, tiba-tiba salah satu di antara mereka ada yang menarik dan melemparnya kepada yang lainnya. Hingga akhirnya pukulan mereka berhenti. Ternyata yang datang ialah Pak Giman.

“Sudah merasa jago kalian?”, geram Pak Giman. “Akan saya laporkan ke kepala sekolah nanti”.

“Eh, penjaga sekolah macem-macem, kami yang bayar sekolahan jadi penjaga sekolah itu sama saja kami yang bayar”, tantang salah satu temanku.

“Oo, bocah kemarin sore sudah kurang ajar, maaf saja, rezeki itu bukan datang dari kamu, tapi dari Tuhan, meskipun saya dipecat, nama baik saya tidak akan berpengaruh apa-apa, tapi orang tua kalian akan malu seumur hidup”, jawab Pak Giman dengan lantang.

Mendengar jawaban Pak Giman yang berani membuat teman-teman yang mengeroyokku geram tapi mereka tak berani dan meninggalkan kami berdua.

“Kamu tidak apa-apa le?”, tanya Pak Giman padaku.

“Tidak apa-apa pak”, jawabku dengan mencoba berdiri “Terima kasih pak”. Aku berdiri dan berjalan keluar.

Le, tunggu sebentar”, panggil Pak Giman. “Biar bapak antar kamu pulang, takutnya para begundal itu akan menyegatmu di depan sana”.

Mendengar tawaran Pak Giman membuatku sedikit bimbang untuk pulang ke rumah. Pertimbangannya ada benarnya dalam benakku. “Baik pak, maaf kalau saya merepotkan”, jawabku menerima tawaran Pak Giman.

“Oia le, aku belum sempat mengenal namamu, siapa namamu le?”, tanya PaK Giman dengan Ramah.

“Umm, namaku Arya pak”, jawabku dengan suara lelah karena sedang menahan sakit sisa dari pemukulan teman-temanku itu.

Lalu kami berdua berjalan keluar dan Pak Giman menyertaiku hingga aku naik ke dalam angkutan umum. Di dalam mobil angkutan umum, entah mengapa aku merasa ada kehangatan yang berasal dari perhatian Pak Giman padaku.

***

Esok harinya, di kelas aku sudah tidak merasa nyaman, karena teman-temanku yang kemarin mengerjaiku memandangku dengan tatapan dendam. Selama jam pelajaran aku berkeringat dingin dan ketakutan. Aku pun panik, karena jam pelajaran akan usai dan berganti jam istirahat. Suara bell yang menggelegar membuatku pucat pasih dan sudah mulai terdengar sorak-sorai kecil dari kelompok anak bengal itu.

Sebelum guru keluar kelas, tiba-tiba Pak Giman datang dan meminta izin untuk masuk ke kelas pada guruku. Aku tak tahu apa yang mereka berdua bicarakan di depan kelas. “Arya, kamu ikut Pak Giman keluar ya, orang tuamu datang di bawah dan mencarimu. Katanya ada urusan penting”, ujar guruku.

Mendengar perkataan guruku itu, aku bingung. “Baik bu”, jawabku keheranan. Aku pun tak ingin menyia-nyiakan kesempatan untuk keluar kelas karena ingin menghindari teman-temanku yang ingin kembali menyiksaku. Lalu aku mengikuti Pak Giman keluar kelas dan menuju warung di luar sekolah.

“Maaf Pak Giman, kenapa kita ke sini? Dan apakah orang tuaku ada di warung ini?”, tanyaku keheranan.

Pak Giman tersenyum. “Maaf ya le, bapak bohong, bapak sengaja membawa kamu ke warung ini untuk mengamankanmu dari pengeroyokmu yang kemarin, sebab tadi pagi bapak tidak sengaja mendengar mereka berkumpul dan merencanakan untuk menjahilimu lagi”, jelas Pak Giman.

Jawaban Pak Giman tersebut membuatku merasa bahwa kini aku tidak sendiri di sekolah. “Umm, terima kasih pak, sudah dua kali bapak menolong saya”, ujarku.

“Oh, tak usah sungkan le, ini minum es blewah, di warung ini es ini rasanya enak loh”, ujar Pak Giman sembari menyodorkan segelas es blewah padaku. Kami pun bercengkrama dan menjadi sahabat. Sejak saat itu, aku tidak pernah takut lagi di sekolah. Aku pun berani melawan jika ada yang mencercaku, karena aku yakin di belakangku ada yang mendukungku. Aku dan dan Pak Giman sering bertukar cerita. Ia sering sekali menceritakan kampungnya, cerita wayang yang dikisahkan turun temurun dari orang tuanya, hingga menceritakan ketiga buah hatinya di kampung. Anaknya yang pertama baru masuk sekolah menengah pertama, anak keduanya baru masuk sekolah dasar, dan anak bungsunya masih berumur dua tahun. Ia juga sering bercerita tentang mimpi-mimpinya, terutama mimpinya untuk membahagiakan keluarganya dan menyekolahkan anaknya hingga jenjang yang paling tinggi.

***

Persahabatanku dengan Pak Giman menjadi warna tersendiri dalam kehidupan semasa SMA ku. Kami saling bercerita, baik tentang keluarga maupun tentang hal yang sedang dialami. Perbincangan kami selalu berujung dengan pertanyaan Pak Giman kepadaku. Pertanyaan yang selalu ia tanyakan padaku, yakni “Apa mimpimu le?”. Dan, setiap ia menanyakan itu, aku pun tak dapat menjawabnya. Pak Giman seakan memahami aku yang tidak mau menanyakannya dan tidak memaksaku untuk menjawabnya.

Hingga akhirnya aku menginjak semester terakhir di kelas 3, Pak Giman pun sudah semakin terlihat kerut di wajahnya. Ya, waktu itu berputar cepat. Terkadang aku masih merasa baru mengenal Pak Giman di hari kemarin dan kini aku sudah tiga tahun berada di sekolah ini. Sudah semenjak kenaikan dari kelas 1 ke kelas 2, kelompok berandal yang sering menggangguku tak pernah mengusikku lagi. Semua berkat Pak Giman yang selalu ada di sampingku dan mendorongku untuk berani jika aku benar.

Suatu hari, setelah jam sekolah selesai, aku mampir ke rumah petak Pak Giman di belakang sekolah. Rumah kontrakan kecil tempatku menghabiskan sebagian waktuku ketika aku jengah dengan sekolah ataupun sekedar beristirahat kecil dan belajar untuk ujian. Seperti biasa, Pak Giman selalu membuatkan aku teh manis hangat dan sepiring kecil gorengan untuk menemaniku di rumahnya itu. Di hari itu, Pak Giman kembali menanyakan pertanyaan yang sama kepadaku. “Le, kamu punya mimpi tidak?”, tanya Pak Giman sembari menaruh segelas teh manis hangat dan gorengan di lantai tempat kami duduk bersila.

“Aku tak tahu pak, mungkin dulu pernah”, jawabku datar.

Pak Giman tersenyum dan berkata, “Akhirnya kamu menjawab juga le. Mengapa kau bilang begitu?”.

“Tak tahu pak, jika saja aku bisa bertanya pada bintang-bintang mengapa aku berjalan di jalan kesunyian, mungkin mereka akan memberikan jawabannya. Aku dulu pernah memiliki mimpi, namun hancur ketika ayahku meninggal dalam sebuah kecelakaan. Karena, aku ingin menjadi petugas medis atau dokter, tapi ketika ayahku sekarat tak ada dokter yang sanggup menyelamatkannya”, jawabku dengan diakhiri dengan helaan nafas halus. “Beragam alasannya, ada yang bilang ayahku harus didaftarkan dulu ke rumah sakitlah, menunggu kamar kosonglah, macam-macam dan berbeda-beda tiap petugas medis yang ditanya ibuku. Hingga akhirnya ayah meninggal di IGD dan aku...”.

“Seharusnya kamu teruskan mimpimu”, potong Pak Giman.

“Mengapa? Aku kesal dengan orang yang tidak bisa menyelamatkan ayahku dan aku tidak mau berprofesi seperti mereka”, jawabku dengan nada bicara sedikit meninggi.

Pak Giman menepuk pundakku, “Mereka seperti itu karena menjadi seorang penyelamat jiwa bukanlah impian mereka”.

Mendengar perkataan Pak Giman aku terdiam. Sebuah perkataan sederhana yang mampu meredam amarah singkatku pada kenangan masa lalu.

“Ketika kamu menjadi sesuatu berdasarkan mimpimu, maka kau akan menjalaninya dengan tulus. Tak peduli rintangan dan hal-hal menghambat di depanmu. Mimpi yang sempurna ialah mimpi yang kau niatkan dalam hati, kau rancang dalam imaji, dan kau tuju dengan ketulusan dan kesungguhan hati”, ujar Pak Giman dengan menatap mataku. “Kalau menjadi dokter itu mimpimu, kejarlah hingga kamu mendapatkannya, le”.

Aku tertegun atas perkataan Pak Giman. Ia hampir tidak pernah memaksaku untuk menjawab pertanyaannya tentang mimpi, tapi sore ini ia seakan-akan ingin mengembalikan aku kepada mimpi besarku yang telah lama ku kubur. Aku hanya bisa terdiam, dan tidak bisa menjawab atau pun menyahuti perkataan Pak Giman.

Ya wis, direnungkan lagi apa mimpimu le”, tenang Pak Giman setelah melihat wajahku yang menjadi serius dan sedikit murung. “Tapi, jangan lama-lama kau renungkan, ingat, kamu sebentar lagi akan lulus sekolah dan harus menetapkan langkah kakimu kedepannya”.
Akhirnya kami berbincang santai hingga malam menjelang. Meski hanya dengan teh manis hangat dan gorengan, bagiku, jamuan Pak Giman adalah jamuan yang mewah dan mengisi kenangan masa SMA.

***

Kenangan sore itu terus membekas dalam ingatanku. Sudah empat tahun lamanya semenjak terakhir aku bertemu Pak Giman. Aku mengikuti perkataannya dulu, aku kembali pada mimpiku. Setelah lulus sekolah, aku mengambil ujian masuk kuliah untuk jurusan kedokteran di salah satu perguruan tinggi negeri. Berusaha sebaik mungkin, dan benar adanya perkataan Pak Giman, aku memang menjalani perkuliahanku dengan tulus.

Dan kini aku berdiri di sebuah auditorium kampus untuk diwisuda. Bersama teman-temanku, aku berdiri di barisan mahasiswa berprestasi. Di saat pidato rektorku, entah mengapa aku merasa ada yang sedang memperhatikanku dari kejauhan. Hingga akhirnya acara wisudaku selesai, aku pun menghampiri ibuku dan membereskan barang-barang ke dalam mobil. Saat aku tengah membereskan barang-barangku, aku melihat Pak Giman di pinggir parkiran gedung auditorium. Ia tersenyum ke arahku, dan sesaat kemudian ia menghilang terhalangi oleh orang yang berlalu-lalang. Aku mencoba memastikan penglihatanku. Aku berjalan cepat menuju tempat aku melihat Pak Giman. Namun, ia memang sudah menghilang tanpa jejak. Kemudian ibu memanggilku dan aku menghampirinya dengan rasa heranku terhadap kejadian barusan. Apakah itu imajinasi? Atau halusinasi? Akhirnya aku pulang bersama ibuku.

Setelah semua urusanku di kampus selesai, aku segera membuat surat lamaran pekerjaan ke sebuah rumah sakit. Tidak memakan waktu lama, aku pun dipanggil dan diterima di rumah sakit tersebut. Semua berjalan seperti adanya, aku memeriksa pasien, dan merawatnya hingga sehat kembali. Semua ku lakukan dengan segenap tenagaku. Hingga suatu hari, aku sedang duduk menunggu pasien, datang pasien yang ku tunggu duduk di depan mejaku. Aku terkejut melihat wajah pasien itu, ia begitu mirip dengan Pak Giman, hanya saja ia jauh lebih muda bahkan lebih muda dariku.

“Ya, ada yang bisa saya bantu?”, tanyaku dengan suara sedikit ragu.

“Anu dok, saya mau melakukan pemeriksaan badan saya untuk mengikuti seleksi akademi kepolisian”, ujarnya sedikit terbata. “Tapi saya tidak punya uang sama sekali dok. Saya dengar, untuk dapat lulus seleksi masuk akademi kepolisian, saya harus membayar dokter yang memeriksa kesehatan saya”.

Aku tersenyum, dengan merapikan data-data pasien itu aku berkata “Tidak apa-apa, tidak usah bayar juga tidak apa-apa. Tapi kamu janji sama saya, jangan melihat saya sama dengan dokter-dokter seperti itu ya”.

Pasien itu kemudian mengangkat kepalanya dan memercikkan ekspresi senang. Melihat ekspresinya, ada kelegaan dalam hatiku. Lalu, aku membaca data diri dari pasien tersebut mencari nama dari pasien mudaku itu. “Namamu Subagyo ya, salam kenal, saya Dokter Arya”, sapaku hangat. “Oke, kita mulai, coba buka mulutnya, aahh”. Aku memeriksanya hingga tak terasa sudah satu jam berlalu.

“Hasilnya akan selesai diurus suster nanti sekitar tigapuluh menit lagi”, ujarku.

“Terima kasih dok, akhirnya saya bisa mewujudkan mimpi sempurnaku”, ujar Bagyo.
Mendengar kata-katanya barusan, aku tersentak. “Mimpi sempurna? Ya, memang itu harus kau kejar”, ujarku menyemangati Bagyo.

“Kata bapak saya dok, Ketika kamu menjadi sesuatu berdasarkan mimpimu, maka kau akan menjalaninya dengan tulus. Tak peduli rintangan dan hal-hal menghambat di depanmu. Mimpi yang sempurna ialah mimpi yang kau niatkan dalam hati, kau rancang dalam imaji, dan kau tuju dengan ketulusan dan kesungguhan hati. Dan, saya selalu mengingatnya hingga kini”, kisah Bagyo dengan semangatnya.

Aku pun semakin tersentak. Apakah mungkin ia anak dari Pak Giman? Aku pun memberanikan diri untuk bertanya padanya, “Maaf, kalo boleh saya tahu, siapa nama bapak mas?”.

“Oh, bapak saya namanya Sugiman. Orang biasa memanggilnya Pak Giman”, terang Bagyo dengan polos.

“Pak Giman? Kamu anak Pak Giman?”, tanyaku dengan kaget.

Keheranan, Bagyo pun menjawab, “Iya dok, memangnya ada apa ya?”.

“Dia orang yang berjasa buat saya. Bisa pertemukan saya dengan beliau?”, ujarku.

“Umm..”, ragu Bagyo, “Bapak sudah meninggal dok, tahun kemarin ia meninggal karena sakit”.

Aku pun kaget dan tidak menyangka. Bagaimana bisa ia meninggal tahun kemarin dan aku melihatnya ketika aku wisuda. Lalu, kami berbincang mengenai Pak Giman. Hingga aku meminta Bagyo mengantarkanku ke makan Pak Giman.

Sepanjang perjalanan menuju pemakaman, Bagyo dan aku bertukar cerita tentang Pak Giman. Ia mengajarkan anaknya sama seperti mengajarkan aku, yakni percaya akan mimpi dan teru mengejarnya. Aku pun masih tidak percaya bahwa Pak Giman sudah meninggal, karena aku begitu nyata melihatnya hadir dan tersenyum padaku saat wisudaku. Akhirnya mobilku sampai di sebuah tempat pemakaman. Aku dipandu oleh Bagyo menuju makam Pak Giman.

Setelah beberapa menit, aku sampai di sebuah makam sederhana. Tiada dihiasi oleh keramik, hanya papan kayu saja. Di papan kayu itu tertulis, nama Sugiman Bin Cahyadi. Benar, ini memang benar makam Pak Giman. Aku pun tak kuasa menahan airmataku, sudah lama aku tidak menangis semenjak bertemu dengan Pak Giman. Kini, ketika aku berhasil mewujudkan mimpiku, Pak Giman telah tiada. Lalu, aku melihat Bagyo, melihat wajah polosnya, aku pun berniat untuk membantu anak itu menggapai mimpinya, seperti Pak Giman yang membantuku menemukan mimpi sempurnaku.

“Aku berjanji Pak Giman, akan aku bantu Bagyo dan adik-adiknya menemukan mimpinya, seperti bapak yang membantuku menemukan mimpi sempurnaku. Hanya ini yang bisa ku perbuat untuk membalas budi baikmu. Dan, hidupku akan berarti jika dapat menjadi bagian dari mimpi yang sempurna bagi Bagyo serta adik-adiknya. Aku berjanji padamu. Selamat jalan Pak Giman, damai tentramlah di dalam kisah mimpi yang sempurnaku”, ucapku dalam hati. Aku dan Bagyo kemudian bergegas meninggalkan pemakaman.

Terinspirasi dari lagu peterpan yang berjudul "mimpi yang sempurna".