Biarkan senja menjadi narator kenangan kita bersama
Biarkan ia membacakan bait-bait keberadaan kita
Agar dunia mengerti, betapa jalur kehidupan kita
Bertemu dalam sebuah rangkulan hangat, sebuah bukti kita keluarga
Candamu, menjadi awan teduh bagiku
Candaku, menjadi angin sejuk bagimu
Kebahagiaan hakiki, kebahagiaan bersama
Sedihmu, menjadi sesak di hatiku
Sedihku, menjadi peretak di hatimu
Kesedihan hakiki, kesedihan berpeluk kasih
Bilamana hari itu datang
Biarkan senja mengisahkan kisah kita
Pada generasi mendatang
Agar kebersamaan ini menjadi abadi dalam kebersamaan mereka
Tiada awan kelabu mampu palingkan ikatan ini
Tiada badai berdecit mampu putuskan genggaman tangan ini
Karena aku dan engkau, berpeluh bersama dalam kesenangan dan kedukaan
Saling memaknai maksud keberadaan diri dalam keberbedaan
Minggu, 12 Agustus 2012
Jejak Kehidupan (1)
Suara-suara yang bergumul dalam benak
Saling berpeluh dalam jenuh sejenak
Palung kehidupan yang berorasi
Di tiap jengkal selaksa nafas hakiki
Perlahan hutan pun berdendang
Mengumandangkan seru-seru kehidupan
Benak yang dianugerahi perlu bersenang
Agar penat jenuh berlalu dengan kelegaan
Kumandang hutan bermakna jejak di atas bumi
Berdecak kagum pada goresan tarian pena
Dari jemari manusia mengukir kisah terkasihi
Di dalam aliran kenangan hati
Serukanlah, walau hanya sedetik
Kumandang itu, agar se-antero jagad memaknainya
Menjadi sebuah kisahan termegah dan terbaik
Menjadi jelmaan kisah hidup yang terus terpandangi di antara jejak lainnya
Serukanlah, walau hanya dengan sejengkal suara
Kumandangkan itu, agar dirimu tak menyesal nantinya
Bilamana nafasmu sudah beradu di peraduan nyawa
Bilamana belum sempatlah dirimu mengabadikan bukti dirimu ada di dunia
Saling berpeluh dalam jenuh sejenak
Palung kehidupan yang berorasi
Di tiap jengkal selaksa nafas hakiki
Perlahan hutan pun berdendang
Mengumandangkan seru-seru kehidupan
Benak yang dianugerahi perlu bersenang
Agar penat jenuh berlalu dengan kelegaan
Kumandang hutan bermakna jejak di atas bumi
Berdecak kagum pada goresan tarian pena
Dari jemari manusia mengukir kisah terkasihi
Di dalam aliran kenangan hati
Serukanlah, walau hanya sedetik
Kumandang itu, agar se-antero jagad memaknainya
Menjadi sebuah kisahan termegah dan terbaik
Menjadi jelmaan kisah hidup yang terus terpandangi di antara jejak lainnya
Serukanlah, walau hanya dengan sejengkal suara
Kumandangkan itu, agar dirimu tak menyesal nantinya
Bilamana nafasmu sudah beradu di peraduan nyawa
Bilamana belum sempatlah dirimu mengabadikan bukti dirimu ada di dunia
Rabu, 08 Agustus 2012
Mimpi Yang Sempurna
Manusia hidup bersama mimpinya. Manusia hidup dengan menghidupi mimpinya.
Mimpi menjadi bahan bakar menuju sebuah kebanggaan seorang manusia. Malam
menjadi bunga sketsa merancang mimpi dan pagi menjadi arena pertarungan untuk
mewujudkan mimpi. Tak pelak, deru nafas yang berjenjang ini selalu aku
mempercayai mimpi.
Rasa percayaku akan mimpi bermula dari dongeng seorang kakek penjaga
sekolahku, Pak Sugiman namanya. Asal Kebumen, beranak tiga, dan ia membesarkan
anak-anaknya sendiri karena istrinya meninggal setelah kelahiran anak
ketiganya. Persahabatanku dengan Pak Giman, panggilan akrab Pak Sugiman,
berawal kala aku menginjak kelas 1 SMA. Saat itu, aku tengah duduk berpangku di
sudut tangga sekolah, menahan isak tangis karena sekelompok teman-teman sekelas—yang
merupakan anak bengal di kelas—memperolok diriku karena aku berbadan gemuk
gempal. Selalu setiap hari, aku selalu menjadi bahan tertawaan. Selalu dibilang
lamban, menyusahkan, dan tidak akan pernah sukses dalam hidup.
Sendiri dengan isak tangis yang sunyi dan air mata menetes perlahan, aku
terduduk diam hingga sore menjelang. Aku enggan pulang, aku merasa malu untuk
berjalan pulang, karena aku gemuk. Sungguh, aku merasa sudah tidak tahan dengan
hidupku dan ingin rasanya mengakhiri hidupku. Saat sepiku berpeluh air mata,
sesosok bayangan menutupi cahaya lampu tangga. Aku menoleh ke belakang,
ternyata Pak Giman berdiri di belakangku. Ia berdiri tegap dengan kaus oblong
dan celana lusuhnya. Dengan sapu lidi di tangan kanannya dan tong sampah besar
di tangan kirinya, ia menatapku dengan hangat.
“Sedang apa le?”, tanya Pak
Giman. “Kok belum pulang?”
“Ah, Pak Giman, tidak apa-apa”, jawabku dengan menyeka air mata yang
membekas.
“Ana apa ta le? Kok menangis”
Mendengar pertanyaan itu aku terdiam. Lalu, dengan sedikit berpaling muka
aku menjawab, “Tidak ada apa-apa kok pak”.
“Ya Wis le, kalau ada hal yang
mengganjal hati, jangan ragu cerita sama bapak. Bapak ini walau sudah tua,
setidaknya masih bisa menjadi pendengar yang baik. Ya”, ujarnya dengan senyum
lebar. “Kamu pulanglah, sudah sore besok pasti harus berangkat pagi kan?”.
“Iya pak”, lalu aku meninggalkan Pak Giman dengan tanpa berpamitan meski
lewat pandangan mata.
***
Suatu hari, aku sudah tidak tahan akan perlakuan teman-temanku yang selalu
memperolokku. Aku melawannya, dan mendorong temanku sebelum keluar kelas untuk
pulang. Karena perlawananku itu, mereka melawan dan menyeretku menuju kamar
mandi sekolah.
Aku dikerumuni lima orang. Mereka merupakan anak-anak bengal yang ada di
kelasku. Mereka berkuasa di kelas dan tak ada satu pun anak yang berani melawan
mereka. Wajah mereka kesal, karena aku melawan dari kekuasaan mereka dan
membuat mereka malu di depan kelas. Akhirnya, satu persatu dari mereka memukuliku.
Di tengah mereka dengan asyiknya memukuliku, tiba-tiba salah satu di antara
mereka ada yang menarik dan melemparnya kepada yang lainnya. Hingga akhirnya
pukulan mereka berhenti. Ternyata yang datang ialah Pak Giman.
“Sudah merasa jago kalian?”, geram Pak Giman. “Akan saya laporkan ke kepala
sekolah nanti”.
“Eh, penjaga sekolah macem-macem, kami yang bayar sekolahan jadi penjaga
sekolah itu sama saja kami yang bayar”, tantang salah satu temanku.
“Oo, bocah kemarin sore sudah kurang ajar, maaf saja, rezeki itu bukan
datang dari kamu, tapi dari Tuhan, meskipun saya dipecat, nama baik saya tidak
akan berpengaruh apa-apa, tapi orang tua kalian akan malu seumur hidup”, jawab
Pak Giman dengan lantang.
Mendengar jawaban Pak Giman yang berani membuat teman-teman yang
mengeroyokku geram tapi mereka tak berani dan meninggalkan kami berdua.
“Kamu tidak apa-apa le?”, tanya
Pak Giman padaku.
“Tidak apa-apa pak”, jawabku dengan mencoba berdiri “Terima kasih pak”. Aku
berdiri dan berjalan keluar.
“Le, tunggu sebentar”, panggil
Pak Giman. “Biar bapak antar kamu pulang, takutnya para begundal itu akan
menyegatmu di depan sana”.
Mendengar tawaran Pak Giman membuatku sedikit bimbang untuk pulang ke
rumah. Pertimbangannya ada benarnya dalam benakku. “Baik pak, maaf kalau saya
merepotkan”, jawabku menerima tawaran Pak Giman.
“Oia le, aku belum sempat
mengenal namamu, siapa namamu le?”,
tanya PaK Giman dengan Ramah.
“Umm, namaku Arya pak”, jawabku dengan suara lelah karena sedang menahan
sakit sisa dari pemukulan teman-temanku itu.
Lalu kami berdua berjalan keluar dan Pak Giman menyertaiku hingga aku naik
ke dalam angkutan umum. Di dalam mobil angkutan umum, entah mengapa aku merasa
ada kehangatan yang berasal dari perhatian Pak Giman padaku.
***
Esok harinya, di kelas aku sudah tidak merasa nyaman, karena teman-temanku
yang kemarin mengerjaiku memandangku dengan tatapan dendam. Selama jam
pelajaran aku berkeringat dingin dan ketakutan. Aku pun panik, karena jam
pelajaran akan usai dan berganti jam istirahat. Suara bell yang menggelegar
membuatku pucat pasih dan sudah mulai terdengar sorak-sorai kecil dari kelompok
anak bengal itu.
Sebelum guru keluar kelas, tiba-tiba Pak Giman datang dan meminta izin
untuk masuk ke kelas pada guruku. Aku tak tahu apa yang mereka berdua bicarakan
di depan kelas. “Arya, kamu ikut Pak Giman keluar ya, orang tuamu datang di
bawah dan mencarimu. Katanya ada urusan penting”, ujar guruku.
Mendengar perkataan guruku itu, aku bingung. “Baik bu”, jawabku keheranan.
Aku pun tak ingin menyia-nyiakan kesempatan untuk keluar kelas karena ingin
menghindari teman-temanku yang ingin kembali menyiksaku. Lalu aku mengikuti Pak
Giman keluar kelas dan menuju warung di luar sekolah.
“Maaf Pak Giman, kenapa kita ke sini? Dan apakah orang tuaku ada di warung
ini?”, tanyaku keheranan.
Pak Giman tersenyum. “Maaf ya le,
bapak bohong, bapak sengaja membawa kamu ke warung ini untuk mengamankanmu dari
pengeroyokmu yang kemarin, sebab tadi pagi bapak tidak sengaja mendengar mereka
berkumpul dan merencanakan untuk menjahilimu lagi”, jelas Pak Giman.
Jawaban Pak Giman tersebut membuatku merasa bahwa kini aku tidak sendiri di
sekolah. “Umm, terima kasih pak, sudah dua kali bapak menolong saya”, ujarku.
“Oh, tak usah sungkan le, ini
minum es blewah, di warung ini es ini rasanya enak loh”, ujar Pak Giman sembari
menyodorkan segelas es blewah padaku. Kami pun bercengkrama dan menjadi
sahabat. Sejak saat itu, aku tidak pernah takut lagi di sekolah. Aku pun berani
melawan jika ada yang mencercaku, karena aku yakin di belakangku ada yang
mendukungku. Aku dan dan Pak Giman sering bertukar cerita. Ia sering sekali
menceritakan kampungnya, cerita wayang yang dikisahkan turun temurun dari orang
tuanya, hingga menceritakan ketiga buah hatinya di kampung. Anaknya yang
pertama baru masuk sekolah menengah pertama, anak keduanya baru masuk sekolah
dasar, dan anak bungsunya masih berumur dua tahun. Ia juga sering bercerita
tentang mimpi-mimpinya, terutama mimpinya untuk membahagiakan keluarganya dan
menyekolahkan anaknya hingga jenjang yang paling tinggi.
***
Persahabatanku dengan Pak Giman menjadi warna tersendiri dalam kehidupan
semasa SMA ku. Kami saling bercerita, baik tentang keluarga maupun tentang hal
yang sedang dialami. Perbincangan kami selalu berujung dengan pertanyaan Pak
Giman kepadaku. Pertanyaan yang selalu ia tanyakan padaku, yakni “Apa mimpimu le?”. Dan, setiap ia menanyakan itu, aku
pun tak dapat menjawabnya. Pak Giman seakan memahami aku yang tidak mau
menanyakannya dan tidak memaksaku untuk menjawabnya.
Hingga akhirnya aku menginjak semester terakhir di kelas 3, Pak Giman pun
sudah semakin terlihat kerut di wajahnya. Ya, waktu itu berputar cepat.
Terkadang aku masih merasa baru mengenal Pak Giman di hari kemarin dan kini aku
sudah tiga tahun berada di sekolah ini. Sudah semenjak kenaikan dari kelas 1 ke
kelas 2, kelompok berandal yang sering menggangguku tak pernah mengusikku lagi.
Semua berkat Pak Giman yang selalu ada di sampingku dan mendorongku untuk
berani jika aku benar.
Suatu hari, setelah jam sekolah selesai, aku mampir ke rumah petak Pak
Giman di belakang sekolah. Rumah kontrakan kecil tempatku menghabiskan sebagian
waktuku ketika aku jengah dengan sekolah ataupun sekedar beristirahat kecil dan
belajar untuk ujian. Seperti biasa, Pak Giman selalu membuatkan aku teh manis
hangat dan sepiring kecil gorengan untuk menemaniku di rumahnya itu. Di hari
itu, Pak Giman kembali menanyakan pertanyaan yang sama kepadaku. “Le, kamu punya mimpi tidak?”, tanya Pak
Giman sembari menaruh segelas teh manis hangat dan gorengan di lantai tempat
kami duduk bersila.
“Aku tak tahu pak, mungkin dulu pernah”, jawabku datar.
Pak Giman tersenyum dan berkata, “Akhirnya kamu menjawab juga le. Mengapa kau bilang begitu?”.
“Tak tahu pak, jika saja aku bisa bertanya pada bintang-bintang mengapa aku
berjalan di jalan kesunyian, mungkin mereka akan memberikan jawabannya. Aku dulu
pernah memiliki mimpi, namun hancur ketika ayahku meninggal dalam sebuah
kecelakaan. Karena, aku ingin menjadi petugas medis atau dokter, tapi ketika
ayahku sekarat tak ada dokter yang sanggup menyelamatkannya”, jawabku dengan
diakhiri dengan helaan nafas halus. “Beragam alasannya, ada yang bilang ayahku
harus didaftarkan dulu ke rumah sakitlah, menunggu kamar kosonglah, macam-macam
dan berbeda-beda tiap petugas medis yang ditanya ibuku. Hingga akhirnya ayah
meninggal di IGD dan aku...”.
“Seharusnya kamu teruskan mimpimu”, potong Pak Giman.
“Mengapa? Aku kesal dengan orang yang tidak bisa menyelamatkan ayahku dan
aku tidak mau berprofesi seperti mereka”, jawabku dengan nada bicara sedikit
meninggi.
Pak Giman menepuk pundakku, “Mereka seperti itu karena menjadi seorang
penyelamat jiwa bukanlah impian mereka”.
Mendengar perkataan Pak Giman aku terdiam. Sebuah perkataan sederhana yang
mampu meredam amarah singkatku pada kenangan masa lalu.
“Ketika kamu menjadi sesuatu berdasarkan mimpimu, maka kau akan
menjalaninya dengan tulus. Tak peduli rintangan dan hal-hal menghambat di
depanmu. Mimpi yang sempurna ialah mimpi yang kau niatkan dalam hati, kau
rancang dalam imaji, dan kau tuju dengan ketulusan dan kesungguhan hati”, ujar
Pak Giman dengan menatap mataku. “Kalau menjadi dokter itu mimpimu, kejarlah
hingga kamu mendapatkannya, le”.
Aku tertegun atas perkataan Pak Giman. Ia hampir tidak pernah memaksaku
untuk menjawab pertanyaannya tentang mimpi, tapi sore ini ia seakan-akan ingin
mengembalikan aku kepada mimpi besarku yang telah lama ku kubur. Aku hanya bisa
terdiam, dan tidak bisa menjawab atau pun menyahuti perkataan Pak Giman.
“Ya wis, direnungkan lagi apa
mimpimu le”, tenang Pak Giman setelah
melihat wajahku yang menjadi serius dan sedikit murung. “Tapi, jangan lama-lama
kau renungkan, ingat, kamu sebentar lagi akan lulus sekolah dan harus
menetapkan langkah kakimu kedepannya”.
Akhirnya kami berbincang santai hingga malam menjelang. Meski hanya dengan
teh manis hangat dan gorengan, bagiku, jamuan Pak Giman adalah jamuan yang
mewah dan mengisi kenangan masa SMA.
***
Kenangan sore itu terus membekas dalam ingatanku. Sudah empat tahun lamanya
semenjak terakhir aku bertemu Pak Giman. Aku mengikuti perkataannya dulu, aku
kembali pada mimpiku. Setelah lulus sekolah, aku mengambil ujian masuk kuliah
untuk jurusan kedokteran di salah satu perguruan tinggi negeri. Berusaha sebaik
mungkin, dan benar adanya perkataan Pak Giman, aku memang menjalani
perkuliahanku dengan tulus.
Dan kini aku berdiri di sebuah auditorium kampus untuk diwisuda. Bersama teman-temanku,
aku berdiri di barisan mahasiswa berprestasi. Di saat pidato rektorku, entah
mengapa aku merasa ada yang sedang memperhatikanku dari kejauhan. Hingga akhirnya
acara wisudaku selesai, aku pun menghampiri ibuku dan membereskan barang-barang
ke dalam mobil. Saat aku tengah membereskan barang-barangku, aku melihat Pak
Giman di pinggir parkiran gedung auditorium. Ia tersenyum ke arahku, dan sesaat
kemudian ia menghilang terhalangi oleh orang yang berlalu-lalang. Aku mencoba
memastikan penglihatanku. Aku berjalan cepat menuju tempat aku melihat Pak
Giman. Namun, ia memang sudah menghilang tanpa jejak. Kemudian ibu memanggilku
dan aku menghampirinya dengan rasa heranku terhadap kejadian barusan. Apakah itu
imajinasi? Atau halusinasi? Akhirnya aku pulang bersama ibuku.
Setelah semua urusanku di kampus selesai, aku segera membuat surat lamaran
pekerjaan ke sebuah rumah sakit. Tidak memakan waktu lama, aku pun dipanggil
dan diterima di rumah sakit tersebut. Semua berjalan seperti adanya, aku
memeriksa pasien, dan merawatnya hingga sehat kembali. Semua ku lakukan dengan
segenap tenagaku. Hingga suatu hari, aku sedang duduk menunggu pasien, datang
pasien yang ku tunggu duduk di depan mejaku. Aku terkejut melihat wajah pasien
itu, ia begitu mirip dengan Pak Giman, hanya saja ia jauh lebih muda bahkan
lebih muda dariku.
“Ya, ada yang bisa saya bantu?”, tanyaku dengan suara sedikit ragu.
“Anu dok, saya mau melakukan pemeriksaan badan saya untuk mengikuti seleksi
akademi kepolisian”, ujarnya sedikit terbata. “Tapi saya tidak punya uang sama
sekali dok. Saya dengar, untuk dapat lulus seleksi masuk akademi kepolisian,
saya harus membayar dokter yang memeriksa kesehatan saya”.
Aku tersenyum, dengan merapikan data-data pasien itu aku berkata “Tidak
apa-apa, tidak usah bayar juga tidak apa-apa. Tapi kamu janji sama saya, jangan
melihat saya sama dengan dokter-dokter seperti itu ya”.
Pasien itu kemudian mengangkat kepalanya dan memercikkan ekspresi senang. Melihat
ekspresinya, ada kelegaan dalam hatiku. Lalu, aku membaca data diri dari pasien
tersebut mencari nama dari pasien mudaku itu. “Namamu Subagyo ya, salam kenal,
saya Dokter Arya”, sapaku hangat. “Oke, kita mulai, coba buka mulutnya, aahh”. Aku
memeriksanya hingga tak terasa sudah satu jam berlalu.
“Hasilnya akan selesai diurus suster nanti sekitar tigapuluh menit lagi”,
ujarku.
“Terima kasih dok, akhirnya saya bisa mewujudkan mimpi sempurnaku”, ujar Bagyo.
Mendengar kata-katanya barusan, aku tersentak. “Mimpi sempurna? Ya, memang
itu harus kau kejar”, ujarku menyemangati Bagyo.
“Kata bapak saya dok, Ketika kamu menjadi sesuatu berdasarkan mimpimu, maka
kau akan menjalaninya dengan tulus. Tak peduli rintangan dan hal-hal menghambat
di depanmu. Mimpi yang sempurna ialah mimpi yang kau niatkan dalam hati, kau
rancang dalam imaji, dan kau tuju dengan ketulusan dan kesungguhan hati. Dan,
saya selalu mengingatnya hingga kini”, kisah Bagyo dengan semangatnya.
Aku pun semakin tersentak. Apakah mungkin ia anak dari Pak Giman? Aku pun
memberanikan diri untuk bertanya padanya, “Maaf, kalo boleh saya tahu, siapa
nama bapak mas?”.
“Oh, bapak saya namanya Sugiman. Orang biasa memanggilnya Pak Giman”,
terang Bagyo dengan polos.
“Pak Giman? Kamu anak Pak Giman?”, tanyaku dengan kaget.
Keheranan, Bagyo pun menjawab, “Iya dok, memangnya ada apa ya?”.
“Dia orang yang berjasa buat saya. Bisa pertemukan saya dengan beliau?”,
ujarku.
“Umm..”, ragu Bagyo, “Bapak sudah meninggal dok, tahun kemarin ia meninggal
karena sakit”.
Aku pun kaget dan tidak menyangka. Bagaimana bisa ia meninggal tahun
kemarin dan aku melihatnya ketika aku wisuda. Lalu, kami berbincang mengenai
Pak Giman. Hingga aku meminta Bagyo mengantarkanku ke makan Pak Giman.
Sepanjang perjalanan menuju pemakaman, Bagyo dan aku bertukar cerita
tentang Pak Giman. Ia mengajarkan anaknya sama seperti mengajarkan aku, yakni
percaya akan mimpi dan teru mengejarnya. Aku pun masih tidak percaya bahwa Pak
Giman sudah meninggal, karena aku begitu nyata melihatnya hadir dan tersenyum
padaku saat wisudaku. Akhirnya mobilku sampai di sebuah tempat pemakaman. Aku dipandu
oleh Bagyo menuju makam Pak Giman.
Setelah beberapa menit, aku sampai di sebuah makam sederhana. Tiada dihiasi
oleh keramik, hanya papan kayu saja. Di papan kayu itu tertulis, nama Sugiman
Bin Cahyadi. Benar, ini memang benar makam Pak Giman. Aku pun tak kuasa menahan
airmataku, sudah lama aku tidak menangis semenjak bertemu dengan Pak Giman. Kini,
ketika aku berhasil mewujudkan mimpiku, Pak Giman telah tiada. Lalu, aku
melihat Bagyo, melihat wajah polosnya, aku pun berniat untuk membantu anak itu
menggapai mimpinya, seperti Pak Giman yang membantuku menemukan mimpi
sempurnaku.
“Aku berjanji Pak Giman, akan aku bantu Bagyo dan adik-adiknya menemukan
mimpinya, seperti bapak yang membantuku menemukan mimpi sempurnaku. Hanya ini
yang bisa ku perbuat untuk membalas budi baikmu. Dan, hidupku akan berarti jika
dapat menjadi bagian dari mimpi yang sempurna bagi Bagyo serta adik-adiknya. Aku
berjanji padamu. Selamat jalan Pak Giman, damai tentramlah di dalam kisah mimpi
yang sempurnaku”, ucapku dalam hati. Aku dan Bagyo kemudian bergegas meninggalkan
pemakaman.
Terinspirasi dari lagu peterpan yang berjudul "mimpi yang sempurna".
Langganan:
Postingan (Atom)