Kamis, 26 Juni 2014

Silaturahim, Capres, dan Pemilu

Tahun ini,  2014, merupakan tahun politik.  Telah kita lalui pileg di bulan april dengan segala intrik dan peristiwanya. Tinggal menghitung hari,bangsa Indonesia akan memasuki pemilihan presiden (pilpres). Namun, perjalanan pemilihan umum (pemilu) tahun ini sungguh berpotensi meretakkan kesatuan bangsa Indonesia. Keretakan yang terjadi karena fanatisme berlebihan para pendukung partai ataupun capres.

Pada pileg kemarin, terlihat bagaimana masyarakat terbagi bukan berdasarkan keberagaman suku bangsanya, melainkan kepada partainya. Pada pileg kemarin pula terjadi kerusuhan yang lebih dahsyat dari kerusuhan di Poso ataupun kerusuhan saat sidang John Kei.  Kerusuhan yang terjadi pada pileg ialah kerusuhan mental. Ya, kerusuhan yang tidak terjadi secara bentrok fisik, namun bentrok kepentingan kelompok partai yang diusung.

Orang saling menyerang dengan biadabnya hanya demi membela partai yang belum tentu mampu mengapresiasi kinerja simpatisannya. Saling menjatuhkan, saling merasa benar. Padahal, kebenaran partai hanya kebenaran subjektif. Selain itu, media pun semakin terlihat belangnya. Tengok saja dua media televisi nasional, Metro TV dan TV One, yang dengan membabi buta membela partai pemilik dua media tersebut, Partai Nasdem (Surya Paloh) dan Partai Golkar (Abu Rizal Bakrie).

Media tak dapat dipercaya, masyarakat saling serang, dan kedengkian pun berkembang pesat. Sungguh suatu kerusuhan luar biasa. Padahal, pemilu diadakan untuk menentukkan pemimpin Indonesia ke depan, bukan sekedar ranah tawuran antar kepentingan.

Saya pribadi, tidak suka dengan atmosfir pemilu tahun ini. Pemilu tahun ini merupakan pemilu kedua yang saya ikuti. Meski demikian, setidaknya saya mengalami masa pemerintahan dari masa akhir orba hingga sekarang. Namun, baru kali ini saya merasakan pemilu yang begitu busuk sepanjang saya hidup. Kasar, intoleran, dan perang hujatan antar simpatisan partai. Perbuatan-perbuatan itu dilakukan dengan kesadaran penuh untuk memenangkan partai politik yang diusung. Sungguh memalukan.

Bila melihat keadaan saat ini, saya pribadi melihat bahwa bangsa ini lebih cocok bila sistem pemerintahannya kerajaan. Pasalnya, setiap tokoh politik tidak dilihat berdasarkan kinerja dan kredibilitasnya, melainkan popularitasnya saja. Setelah populer kemudian dipuja-puja sedemikian rupa selayaknya raja atau ratu. Padahal, belum tentu populeritas diimbangi dengan kualitas. Hal sederhana yang selalu alpa dalam otak masyarakat kita.

Bangsa ini belum sanggup berdemokrasi cerdas. Masih mudah dimobilisasi, masih mudah mengagung-agungkan orang lain, dan terlalu mudah tertipu. Tertipu dengan tampilan fisik, tertipu dengan harta, dan tertipu dengan bujuk rayuan.

Perlu disadari, bangsa ini tak akan besar selama prilaku berpolitik para politikus dan simpatisannya masih seperti ini.  Bangsa kita akan selalu terkerdilkan oleh kelakuan segelintir orang. Bila bicara realitas, kemiskinan di Indonesia bukan kemiskinan harta, melainkan kemiskinan mental. Kemiskinan yang perlu penanganan tepat. Bukan sekedar revolusi mental, yang terkesan masif, atau langkah kedisplinan saja. Namun, perlu penanaman kesadaran sebagai bangsa Indonesia, bukan bangsa yang terbagi atas agama, parpol, dan etnis semata. Indonesia bisa hebat bila tidak melulu mengedepankan kepentingan kelompok semata. Indonesia bisa hebat bila seluruh rakyat Indonesia sadar bahwa Indonesia bukan sekedar kata dan negara, melainkan darah, daging, dan keringat tiap warga negaranya. Jangan mau dipecah karena partai politik, jangan mau dipecah karena perbedaan agama, dan jangan mau dipecah karena imingan harta. Indonesia satu, Indonesia bangkit, dan Indonesia hebat.

Rabu, 19 Februari 2014

Imajinasi Berujung Inspirasi



Bicara tentang komik pastinya orang awam akan mengasosiasikannya pada bacaan untuk anak-anak. Apalagi, sebagian besar komik-komik—khususnya komik Jepang atau manga—itu kemudian diangkat ke dalam versi kartun animasi. Sebut saja seri Naruto, Bleach, One Piece, Dragonball, Doraemon dan lain sebagainya.

Komik-komik tersebut bila kita sadari memiliki tema-tema yang setidaknya memberikan pembelajaran bagi semua kalangan—tidak hanya anak-anak. Saya ambil contoh komik Captain Tsubasa karya Takahashi Yoichi. Komik yang lebih terkenal versi animasinya di Indonesia itu diciptakan oleh Takahashi pada tahun 1981. Pada masa itu, kekuatan sepak bola Jepang belum seperti sekarang yang mana pemainnya sudah merambah hampir di seluruh benua di dunia. Namun, lihat saat ini, dunia sudah mengakui Jepang di dunia sepakbola. Di Inggris, sebut saja ada Shinji Kagawa, di Italy ada Keisuke Honda, dan jangan lupakan pemain-pemain veteran seperti Hidetoshi Nakata yang dulu memperkuat Parma dan Fiorentina atau Shunsuke Nakamura yang pernah memperkuat Reggina, Celtic, dan Espanyol. Komik Captain Tsubasa sudah menginspirasi anak-anak Jepang untuk bermimpi besar dan memotivasi federasi sepakbola Jepang untuk memajukan sepakbola mereka.

Captain Tsubasa yang begitu menginspirasi masyarakat Jepang di dunia sepakbola itu mengisahkan seorang anak bernama Tsubasa Ozora yang memiliki impian menjadi seorang pemain sepakbola dunia. Ia memulai karir sepakbolanya di sebuah klub SD bernama Nankatsu FC. Prinsip bersepakbola Tusabasa sangat idelogis—meski dikemas dengan sederhana—yakni bola adalah teman. Dari prinsipnya itu, Tsubasa memelihara mimpinya. Berbagai kompetisi dimenanginya. Ia pun pernah kalah, namun tidak pernah patah semangat untuk mengejar mimpinya. Hingga, juara dunia bersama Jerman, Tsubasa dapatkan dengan teman-temannya. Impian terbesarnya bermain di kancah dunia pun terwujud. Dari Jepang, Tsubasa pergi ke Brazil dan meniti karir profesionalnya dan akhirnya ia dibeli klub Barcelona.

Menurut saya, Takahashi Yoichi sungguh brilian membuat kisah inspiratif Tsubasa. Ia tidak hanya mencoba menyuguhkan cerita yang menarik buat anak-anak, namun juga inspiratif buat semua kalangan. Buah sumbangsi sederhana Yoichi tersebut akhirnya menyulut semangat masyarakat Jepang yang memiliki impian seperti halnya Tsubasa kecil. Secara tak langsung, Yoichi mengatakan “Impian dapat terwujud bila meyakini dan kerja keras untuk impian tersebut” melalui komik Captain Tsubasa.

Bila di sektor olahraga ada Captain Tsubasa, di sektor teknologi ada Doraemon. Komik Doraemon muncul pertama kali pada tahun 1969 dari tangan dingin Fujiko Fujio. Doraemon merupakan komik yang mengisahkan seorang anak bernama Nobita yang memiliki sahabat robot kucing dari abad 22 bernama Doraemon. Pada masa Fujiko membuat Doraemon, adanya robot hanya mimpi. Namun, melalui karya Fujiko Fujio tersebut banyak anak-anak di Jepang memiliki impian membuat robot seperti Doraemon. Bila melihat masa kini, sudah muncul ASIMO—robot yang diproduksi oleh pabrikan otomotif Honda. Selain ASIMO muncul pula beragam robot lainnya buah tangan ilmuwan-ilmuwan Jepang yang mungkin dulunya menonton Doraemon. Meski masih dalam pengembangan, namun Jepang tidak harus ada di abad ke 22 untuk mempunyai sebuah robot. Mimpi yang diilustrasikan oleh Fujiko Fujio pada tahun 1969, setidaknya, sudah sedikit terwujud.

Doraemon memanglah inspirasi banyak orang—baik dari Jepang maupun di pelosok dunia. Namun, Jepang juga mempunyai robot lainnya, yakni Astro Boy. Komik Astro Boy atau di Jepang dikenal dengan Tetsuwan Atom diciptakan oleh Osamu Tezuka pada tahun 1952. Cerita dalam komik Astro Boy mengisahkan tentang seorang ilmuwan bernama Doctor Tenma membuat sebuah robot yang menyerupai manusia bernama Atom. Ia menciptakan Atom untuk menggantikan anaknya, Tobio, yang telah meninggal. Berbeda dengan Doraemon, Atom merupakan robot android atau robot yang menyerupai manusia. Selain itu, Atom juga dilengkapi persenjataan canggih seperti sinar laser, roket untuk terbang hingga luar angkasa, dan kemampuan lainnya yang memungkinkannya melindungi manusia. Untuk kisaran tahun 1952-an, mungkin kisah Astro Boy ini merupakan kisah yang mustahil diwujudkan. Namun, imajinasi yang ditanamkan oleh Osamu berbuah hasil pada masa kini, yakni munculnya robot yang akan disiapkan oleh Jepang untuk menjelajah angkasa bernama Kirobo.

Pencipta Kirobo, Tomotaka Takahashi, mengatakan bahwa ia menciptakan Kirobo karena terinspirasi oleh Astro Boy (http://www.merdeka.com/teknologi/robot-astro-boy-buatan-jepang-akan-dikirim-ke-luar-angkasa.html). Mungkin saja, ketika Tomotaka masih kecil ia membaca atau menonton animasi dari Astro Boy karya Osamu dan ia bermimpi dapat membuat robot seperti halnya Atom. Hal itu membuktikan bahwa imajinasi yang dikreasikan oleh Osamu sudah mempengaruhi anak-anak di Jepang masa itu, setidaknya Tomotaka, untuk bermimpi membuat robot. Itu merupakan buah dari imajinasi yang kemudian menjadi inspirasi.

Beberapa contoh dalam tulisan ini bukan bermaksud membesar-besarkan negara Jepang. Namun, saya mencoba memberikan pandangan bahwa sebuah imajinasi jangan diremehkan. Bangsa kita, Indonesia, kadang suka menyepelekan orang-orang yang memiliki imajinasi “ajaib”. Anak-anak dipaksakan meninggalkan imajinasi mereka dengan suguhan hiburan yang melulu menontonkan tindak-tanduk tak layak, seperti konflik, pembodohan dari joged berujung uang, dan lain sebagainya. Sungguh, menurut saya, anak-anak Indonesia masa kini hanya menjadi zombi-zombi dari industri kreatif yang ada di negeri ini.

Tambah mirisnya, anak-anak sekarang lebih diprogram untuk mengejar nilai bukan memahami pelajaran. Ujian Nasional yang diselenggarakan oleh pemerintah menjadi sistem yang memenjarakan imajinasi anak-anak masa kini. Mereka dibuat lupa dari dunia imajinasi dan hanya mengejar nilai dengan belajar yang dipaksakan. Anak-anak berlomba-lomba mengejar nilai hingga orang tua mereka mendaftarkan mereka pada bimbingan belajar. Memang baik untuk seorang anak menjadi pintar. Akan tetapi, akan lebih baik jika anak dididik untuk menjadi kreatif. Sistem pendidikan yang hanya mengacu pada tatanan nilai hanya menjadikan anak-anak hanya melihat segala sesuatu berdasarkan angka bukan esensi semata.

Indonesia harusnya memelihara imajinasi anak-anak ke taraf yang lebih tinggi. Biarkan seorang anak mengimajinasikan dirinya menjadi apapun itu. Karena, visi paling jelas ialah visi seorang anak kecil, bukan orang dewasa yang visinya sudah terkontaminasi. Menjaga visi anak-anak dengan mengembangkan imajinasinya sama halnya dengan memajukan bangsa ini sepuluh langkah ke depan.

Rabu, 05 Februari 2014

Pendidikan Masalah Serius Bangsa Ini



Indonesia memasuki tahun politiknya kembali. Tahun 2014 menjadi spesial bagi bangsa ini karena di tahun ini bangsa Indonesia akan memilih siapa yang akan memimpin mereka sampai setidaknya lima tahun ke depan. Banyak nama berkeliaran di media massa maupun media elektronik yang sudah mengumandangkan niatannya menjadi pemimpin bangsa ini. Namun, ada satu persoalan yang harus dipahami bangsa ini, yakni kelayakan dari mereka-mereka yang berniat untuk mempimpin bangsa ini.

Hingga sampai saat ini, kita sudah pernah memiliki presiden hingga enam presiden. Keenam presiden tersebut memiliki masa jabatan yang berbeda-beda satu dengan yang lain—meski secara di atas kertas masa bakti presiden dibatasi lima tahun dan dua periode saja. Bangsa ini mengenal Ir. Soekarno sebagai presiden pertama Indonesia dan dapat dikatakan sebagai salah satu founding father Indonesia. Lalu, kita juga mengenal Jendral Besar TNI Purn. H. Muhammad Soeharto yang juga disebut sebagai Bapak Pembangunan. Presiden ketiga ialah Prof. DR. Ing. H. Bacharuddin Jusuf Habibie dan dikenal juga sebagai seorang teknokrat Indonesia kelas dunia serta presiden dengan masa bakti paling singkat. Tak lupa dengan Kiai Haji Abdurrahman Wahid—presiden keempat—yang cukup dikenal dengan komentar spontan dan saya memberinya nama Bapak Pluralis Indonesia—karena ia memberikan ruang bagi para etnis tionghoa untuk mengapresiasikan diri mereka sebagai bagian dari keberagaman etnis di Indonesia. Presiden kelima Indonesia, Dyah Permata Megawati Setyawati Soekarnoputri yang merupakan wakil persiden dan presiden perempuan pertama Indonesia. Dan, terakhir ialah Jendral TNI Purn. Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono yang merupakan presiden Indonesia hingga tulisan ini masih dibuat.

Keenam presiden Indonesia tersebut memiliki masa, polemik dan dinamikanya sendiri saat mereka memimpin. Saya tidak akan mempersoalkan hal-hal yang terjadi pada masa mereka ataupun dinamika bangsa saat mereka memimpin. Membahas persoalan bangsa pada saat mereka memimpin itu hanya akan membangkitkan romansa-romansa masa lalu dan hanya menjebak kita dalam sebuah ruang kenangan semu. Memang benar apa yang dikatakan oleh Soekarno, “Jangan Sampai Melupakan Sejarah (Jas Merah)”. Namun, perlu juga bangsa ini menatap masa depan dengan mata terbuka dan tidak terjebak dalam romansa-romansa masa lalu.

Untuk tahun ini, saya berharap sekali bangsa ini memiliki seorang pemimpin yang berkarakter problem solving. Pasalnya, bangsa ini sudah dikerumuni banyak masalah dan tidak sepenuhnya tuntas. Bahkan, banyak masalah yang tidak tahu rimbanya dan tahu-tahu muncul kembali pada suatu momen tertentu ketika negara ini sedang dirundung masalah lainnya. Saya ambil contoh mengenai pendidikan. Bangsa ini memiliki generasi muda berbakat yang tak terhitung jumlahnya. Namun, tidak semuanya mendapatkan kesempatan yang sama untuk menikmati bangku pendidikan. Pun bagi mereka yang sudah mengeyam bangku pendidikan, masih harus menghadapi ujian-ujian formalitas penghancur mimipi, seperti Ujian Nasional (UN) dan bahkan ada di beberapa sekolah mereka harus dihadapkan pada ujian penempatan minat pembelajaran atau pembagian kelas berdasarkan tiga pengelompokan studi—IPA, IPS dan Bahasa. Saya melihat itu sebagai suatu pembunuhan massal bagi generasi penerus. Karena, anak-anak sudah dibedakan dan dikotak-kotakkan berdasarkan sistem bukan berdasarkan minat anak itu sendiri.

Ketika generasi bangsa sudah “dimatikan” semacam itu maka rusaklah bangsanya. Pendidikan hanya dinilai dari angka dan jumlah, bukan dari kualitas pendidikannya. Anak-anak diajarkan untuk “culas” keadaan. Hal itu terlihat dari tidak semua anak-anak yang bersekolah mampu memahami pelajaran yang ia pelajari dan mengambil jalan pintas dengan menyontek hanya untuk mengejar suatu pengakuan berdasarkan angka dan standar. Terbiasa dengan hal itu, nantinya anak-anak itu hanya akan memandang bangsa ini dengan suatu pandangan kuantitas semata.

Penerus bangsa dicetak bak robot, bukan diperlakukan sebagai seorang manusia. Nilai-nilai hati nurani tidak ditanamkan dalam benak dan hati anak-anak tersebut. Jangan salahkan jika suatu hari nanti di antara mereka ada yang terjerat kasus korupsi, karena itu semua salah bangsa ini bersama. Pemerintah membuat sistem pendidikan yang sedemikian rupa hanya memandang pada kuantitas semata, para penyedia hiburan menyediakan hiburan semu dan hanya membodohi penontonnya dengan iming-iming uang, pengusaha-pengusaha hanya mencari keuntungan dan tidak memberikan kesempatan yang sama bagi semua bidang keahlian, para guru yang sebagian besar hanya menjalankan “pekerjaannya” dan bukan bersikap sebagai seorang pendidik, para intelektual yang hanya membongkar-bongkar keborokan bangsa ini namun bukan mencari sistematika solusinya, hingga orang tua yang sudah malas mengurus buah hatinya dengan tangan dan keringatnya sendiri. Masih banyak lainnya yang tidak cukup untuk saya beberkan di dalam tulisan ini.

Masalah-masalah tersebut baru satu dari sekian banyak masalah yang mengepung bangsa ini. Namun, bagi saya, pendidikan merupakan masalah yang paling krusial. Pasalnya, pendidikan berhubungan langsung dengan sistem penyiapan generasi penerus bangsa. Saat ini, menurut saya, dunia pendidikan memasuki fase kemunduran dan menjadi sebuah pendidikan praktis serta instan. Anak-anak disibukkan belajar hingga tidak memiliki waktu untuk sekedar berimajinasi. Anak-anak disetel dengan rutinitas kaku dan tidak menyenangkan. Pagi mereka sekolah hingga sore dan terkadang sebagian besar dari mereka yang bersekolah tidak lantas pulang ke rumah. Sore hari mereka semua dihadapkan kewajiban untuk mengikuti les yang sudah dirancangkan oleh orang tua mereka. Kapan mereka bermain dan membangun imajinasi? Tidak ada waktunya. Pun ada itu ialah malam hari, waktu yang seharusnya mereka gunakan untuk beristirahat.

Terkait masalah pendidikan dengan pemimpin Indonesia selanjutnya ialah pemimpin Indonesia selanjutnya haruslah seorang yang memiliki visi berbasis pendidikan dan mampu mencari solusi dari masalah-masalah yang merundung Indonesia—khususnya masalah pendidikan. Pemimpin Indonesia haruslah seorang yang mempunyai impian dan nyali untuk mengubah bangsa ini menjadi bangsa yang lebih mempunyai harga diri dan menjadi bangsa yang visioner. Bangsa ini sudah tidak perlu seorang pemimpin yang hanya memikirkan masalah bangsa, namun harus berani untuk menuntaskannya—minimal satu masalah pertahunnya pada saat ia memimpin Indonesia.

Akhir kata dalam artikel ini, saya kira bangsa ini sudah jenuh dengan pemimpin bermodalkan uang, pemimpin bermodalkan pengetahuan militer, pemimpin yang bermodalkan popularitas, dan pemimpin yang bermodalkan basis agama. Sekarang, Indonesia membutuhkan seorang pemimpin muda, berani dan bernyali, visioner, dan mau turun untuk mengubah sistem pendidikan yang sudah korup. Ketika sistem pendidikan Indonesia mampu diubah, maka efek domino sistem penelur bangsa pun akan berubah. Saya sesungguhnya berharap, bila nanti terpilih pemimpin baru Indonesia ia harus menciptakan pola pendidikan berbasis budaya yang dimiliki bangsa ini dan pola pendidikan yang menumbuhkan sikap-sikap kejujuran dan sportifitas.

Rabu, 01 Januari 2014

Pintar Merasa, Bukan Merasa Pintar

Terkadang, manusia lebih bisa merasa pintar daripada pintar merasa. Hal itu sering saya temukan dalam beragam masalah yang ada di sekitar saya. Berpendapat, tapi tidak memahami betul apa yang sekiranya harus diutarakan. Mengkritisi, tapi tidak tahu dasar kritiknya akan sesuatu hal. Sungguh, hal itu sama saja mempermalukan diri sendiri.

Sebenarnya, sah-sah saja untuk berpendapat akan sesuatu hal. Namun, berlindung pada orang lain atau figur tertentu atas pendapatnya yang melempar bola panas sama saja pengecut. Bila tidak puas dengan suatu sistem, ya hadapi sistem itu dan beri satu perubahan yang nyata. Bila tidak suka pada seseorang, hadapi jangan bergumam di belakang dan mencari simpatik opini publik. Kalau tidak berani, ya jangan melemparkan bola api.

Kalau memang ingin mengubah suatu sistem yang dirasa sudah tidak berkenan, cari tahu dulu sejarahnya baru buat suatu mekanisme yang sesuai untuk melakukan perubahan. Jangan sekedar mengeritik, melempar kesalahan lalu bersembunyi. Karena, dengan mempelajari sejarah sistem yang berlaku akan memberikan satu pemahaman mengapa sistem itu berlaku cukup lama. Jangan karena memang tidak suka atas konten-konten tertentu langsung berpendapat, mengeritik, membiaskan sistem tersebut dengan hal-hal yang buruk di mata publik. Melakukan pembenaran yang picik.

Ir. Soekarno pernah berkata, "Jangan Sampai Melupakan Sejarah". Maksud dari perkataan itu bukan sekedar mengingat semata, terjerembak dalam romansa-romansa masa lalu, namun juga untuk dipelajari kesalahan-kesalahan dan kekeliruan atas suatu hal. Sejenak menoleh ke belakang dan memproses maknanya kemudian lakukan gerakan untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan itu. Lihat prosesnya dahulu jangan langsung menyalahkan dan mengatakan hal itu semua keliru. Pelajari dulu, pahami dulu, dan cermati dulu. Hal itu perlu agar ketika melakukan perubahan tidak keliru.

Pada dasarnya segala sesuatu dibuat ada maksud dan tujuannya. Perlu dimaknai dulu sebuah sistem dibuat maksud dan tujuannya. Mungkin saja, melencengnya penerapan sistem tersebut bukan dikarenakan memang sistemnya sudah bobrok melainkan oknum yang melaksanakannya sudah tidak memahami sistem tersebut dan menyalahartikan dengan penalarannya sendiri. Perlu digarisbawahi hal tersebut. Suatu sistem yang baik akan menjadi buruk karena oknum tertentu menyelewengkannya. 

Terkadang juga, ketika kita sedang ada di dalam sistem kita tidak berani untuk berbuat dan cenderung masa bodoh dengan melencengnya sistem tersebut. Tapi, juga jangan jadi pahlawan kesiangan yang dengan gegap gempita berupaya merombak kekeliruan itu dengan biadab. Seharusnya, bila sudah berada di luar sistem tersebut, kita lebih bisa memaknainya secara objektif dan jangan berpegang pada subjektifitas semu. Dan, semestinya, perubahan atas sistem tersebut jangan ketika kita di luar sistem, melainkan ada di dalam sistemnya.

Berupaya mengorkesi sistem di luar sistem dengan pandangan subjektifitas adalah kebodohan. Pasalnya, koreksinya hanya akan berbuah ketidaksesuaian dan ketidakadilan bagi pelaku sistemnya. Bagi pelaku sistemnya tidak akan mampu berpikir logis dan berimbang karena sudah terdapat suatu opini publik. Hal itu sama saja membunuh upaya berkembangnya karakter dari si pelaku sistem. Tindakan macam itu ialah tindakan pengecut dan merusak dinamika dalam sistem tersebut.

Jangan sampai kita mengutuk oknum perusak sistem hingga menjadi bobrok dan melenceng, lalu malah kita yang menjadi sosok yang kita benci. Kebencian hanya melahirkan kebencian. Suatu siklus lingkaran setan, tiada berujung. Seharusnya, menghadapi kebencian dengan kelapangan, agar kebencian itu pun dapat memudar dengan sendirinya. Selama menghadapi suatu kebencian dengan kebencian hanya akan mengafirmasi diri kita menjadi sosok yang kita benci.