Rabu, 05 Februari 2014

Pendidikan Masalah Serius Bangsa Ini



Indonesia memasuki tahun politiknya kembali. Tahun 2014 menjadi spesial bagi bangsa ini karena di tahun ini bangsa Indonesia akan memilih siapa yang akan memimpin mereka sampai setidaknya lima tahun ke depan. Banyak nama berkeliaran di media massa maupun media elektronik yang sudah mengumandangkan niatannya menjadi pemimpin bangsa ini. Namun, ada satu persoalan yang harus dipahami bangsa ini, yakni kelayakan dari mereka-mereka yang berniat untuk mempimpin bangsa ini.

Hingga sampai saat ini, kita sudah pernah memiliki presiden hingga enam presiden. Keenam presiden tersebut memiliki masa jabatan yang berbeda-beda satu dengan yang lain—meski secara di atas kertas masa bakti presiden dibatasi lima tahun dan dua periode saja. Bangsa ini mengenal Ir. Soekarno sebagai presiden pertama Indonesia dan dapat dikatakan sebagai salah satu founding father Indonesia. Lalu, kita juga mengenal Jendral Besar TNI Purn. H. Muhammad Soeharto yang juga disebut sebagai Bapak Pembangunan. Presiden ketiga ialah Prof. DR. Ing. H. Bacharuddin Jusuf Habibie dan dikenal juga sebagai seorang teknokrat Indonesia kelas dunia serta presiden dengan masa bakti paling singkat. Tak lupa dengan Kiai Haji Abdurrahman Wahid—presiden keempat—yang cukup dikenal dengan komentar spontan dan saya memberinya nama Bapak Pluralis Indonesia—karena ia memberikan ruang bagi para etnis tionghoa untuk mengapresiasikan diri mereka sebagai bagian dari keberagaman etnis di Indonesia. Presiden kelima Indonesia, Dyah Permata Megawati Setyawati Soekarnoputri yang merupakan wakil persiden dan presiden perempuan pertama Indonesia. Dan, terakhir ialah Jendral TNI Purn. Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono yang merupakan presiden Indonesia hingga tulisan ini masih dibuat.

Keenam presiden Indonesia tersebut memiliki masa, polemik dan dinamikanya sendiri saat mereka memimpin. Saya tidak akan mempersoalkan hal-hal yang terjadi pada masa mereka ataupun dinamika bangsa saat mereka memimpin. Membahas persoalan bangsa pada saat mereka memimpin itu hanya akan membangkitkan romansa-romansa masa lalu dan hanya menjebak kita dalam sebuah ruang kenangan semu. Memang benar apa yang dikatakan oleh Soekarno, “Jangan Sampai Melupakan Sejarah (Jas Merah)”. Namun, perlu juga bangsa ini menatap masa depan dengan mata terbuka dan tidak terjebak dalam romansa-romansa masa lalu.

Untuk tahun ini, saya berharap sekali bangsa ini memiliki seorang pemimpin yang berkarakter problem solving. Pasalnya, bangsa ini sudah dikerumuni banyak masalah dan tidak sepenuhnya tuntas. Bahkan, banyak masalah yang tidak tahu rimbanya dan tahu-tahu muncul kembali pada suatu momen tertentu ketika negara ini sedang dirundung masalah lainnya. Saya ambil contoh mengenai pendidikan. Bangsa ini memiliki generasi muda berbakat yang tak terhitung jumlahnya. Namun, tidak semuanya mendapatkan kesempatan yang sama untuk menikmati bangku pendidikan. Pun bagi mereka yang sudah mengeyam bangku pendidikan, masih harus menghadapi ujian-ujian formalitas penghancur mimipi, seperti Ujian Nasional (UN) dan bahkan ada di beberapa sekolah mereka harus dihadapkan pada ujian penempatan minat pembelajaran atau pembagian kelas berdasarkan tiga pengelompokan studi—IPA, IPS dan Bahasa. Saya melihat itu sebagai suatu pembunuhan massal bagi generasi penerus. Karena, anak-anak sudah dibedakan dan dikotak-kotakkan berdasarkan sistem bukan berdasarkan minat anak itu sendiri.

Ketika generasi bangsa sudah “dimatikan” semacam itu maka rusaklah bangsanya. Pendidikan hanya dinilai dari angka dan jumlah, bukan dari kualitas pendidikannya. Anak-anak diajarkan untuk “culas” keadaan. Hal itu terlihat dari tidak semua anak-anak yang bersekolah mampu memahami pelajaran yang ia pelajari dan mengambil jalan pintas dengan menyontek hanya untuk mengejar suatu pengakuan berdasarkan angka dan standar. Terbiasa dengan hal itu, nantinya anak-anak itu hanya akan memandang bangsa ini dengan suatu pandangan kuantitas semata.

Penerus bangsa dicetak bak robot, bukan diperlakukan sebagai seorang manusia. Nilai-nilai hati nurani tidak ditanamkan dalam benak dan hati anak-anak tersebut. Jangan salahkan jika suatu hari nanti di antara mereka ada yang terjerat kasus korupsi, karena itu semua salah bangsa ini bersama. Pemerintah membuat sistem pendidikan yang sedemikian rupa hanya memandang pada kuantitas semata, para penyedia hiburan menyediakan hiburan semu dan hanya membodohi penontonnya dengan iming-iming uang, pengusaha-pengusaha hanya mencari keuntungan dan tidak memberikan kesempatan yang sama bagi semua bidang keahlian, para guru yang sebagian besar hanya menjalankan “pekerjaannya” dan bukan bersikap sebagai seorang pendidik, para intelektual yang hanya membongkar-bongkar keborokan bangsa ini namun bukan mencari sistematika solusinya, hingga orang tua yang sudah malas mengurus buah hatinya dengan tangan dan keringatnya sendiri. Masih banyak lainnya yang tidak cukup untuk saya beberkan di dalam tulisan ini.

Masalah-masalah tersebut baru satu dari sekian banyak masalah yang mengepung bangsa ini. Namun, bagi saya, pendidikan merupakan masalah yang paling krusial. Pasalnya, pendidikan berhubungan langsung dengan sistem penyiapan generasi penerus bangsa. Saat ini, menurut saya, dunia pendidikan memasuki fase kemunduran dan menjadi sebuah pendidikan praktis serta instan. Anak-anak disibukkan belajar hingga tidak memiliki waktu untuk sekedar berimajinasi. Anak-anak disetel dengan rutinitas kaku dan tidak menyenangkan. Pagi mereka sekolah hingga sore dan terkadang sebagian besar dari mereka yang bersekolah tidak lantas pulang ke rumah. Sore hari mereka semua dihadapkan kewajiban untuk mengikuti les yang sudah dirancangkan oleh orang tua mereka. Kapan mereka bermain dan membangun imajinasi? Tidak ada waktunya. Pun ada itu ialah malam hari, waktu yang seharusnya mereka gunakan untuk beristirahat.

Terkait masalah pendidikan dengan pemimpin Indonesia selanjutnya ialah pemimpin Indonesia selanjutnya haruslah seorang yang memiliki visi berbasis pendidikan dan mampu mencari solusi dari masalah-masalah yang merundung Indonesia—khususnya masalah pendidikan. Pemimpin Indonesia haruslah seorang yang mempunyai impian dan nyali untuk mengubah bangsa ini menjadi bangsa yang lebih mempunyai harga diri dan menjadi bangsa yang visioner. Bangsa ini sudah tidak perlu seorang pemimpin yang hanya memikirkan masalah bangsa, namun harus berani untuk menuntaskannya—minimal satu masalah pertahunnya pada saat ia memimpin Indonesia.

Akhir kata dalam artikel ini, saya kira bangsa ini sudah jenuh dengan pemimpin bermodalkan uang, pemimpin bermodalkan pengetahuan militer, pemimpin yang bermodalkan popularitas, dan pemimpin yang bermodalkan basis agama. Sekarang, Indonesia membutuhkan seorang pemimpin muda, berani dan bernyali, visioner, dan mau turun untuk mengubah sistem pendidikan yang sudah korup. Ketika sistem pendidikan Indonesia mampu diubah, maka efek domino sistem penelur bangsa pun akan berubah. Saya sesungguhnya berharap, bila nanti terpilih pemimpin baru Indonesia ia harus menciptakan pola pendidikan berbasis budaya yang dimiliki bangsa ini dan pola pendidikan yang menumbuhkan sikap-sikap kejujuran dan sportifitas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar