Indonesia memasuki tahun politiknya kembali. Tahun 2014
menjadi spesial bagi bangsa ini karena di tahun ini bangsa Indonesia akan
memilih siapa yang akan memimpin mereka sampai setidaknya lima tahun ke depan. Banyak
nama berkeliaran di media massa maupun media elektronik yang sudah
mengumandangkan niatannya menjadi pemimpin bangsa ini. Namun, ada satu
persoalan yang harus dipahami bangsa ini, yakni kelayakan dari mereka-mereka
yang berniat untuk mempimpin bangsa ini.
Hingga sampai saat ini, kita sudah pernah memiliki
presiden hingga enam presiden. Keenam presiden tersebut memiliki masa jabatan
yang berbeda-beda satu dengan yang lain—meski secara di atas kertas masa bakti
presiden dibatasi lima tahun dan dua periode saja. Bangsa ini mengenal Ir.
Soekarno sebagai presiden pertama Indonesia dan dapat dikatakan sebagai salah
satu founding father Indonesia. Lalu,
kita juga mengenal Jendral Besar TNI Purn. H. Muhammad Soeharto yang juga
disebut sebagai Bapak Pembangunan. Presiden ketiga ialah Prof. DR. Ing. H.
Bacharuddin Jusuf Habibie dan dikenal juga sebagai seorang teknokrat Indonesia
kelas dunia serta presiden dengan masa bakti paling singkat. Tak lupa dengan
Kiai Haji Abdurrahman Wahid—presiden keempat—yang cukup dikenal dengan komentar
spontan dan saya memberinya nama Bapak Pluralis Indonesia—karena ia memberikan
ruang bagi para etnis tionghoa untuk mengapresiasikan diri mereka sebagai
bagian dari keberagaman etnis di Indonesia. Presiden kelima Indonesia, Dyah
Permata Megawati Setyawati Soekarnoputri yang merupakan wakil persiden dan
presiden perempuan pertama Indonesia. Dan, terakhir ialah Jendral TNI Purn. Dr.
H. Susilo Bambang Yudhoyono yang merupakan presiden Indonesia hingga tulisan
ini masih dibuat.
Keenam presiden Indonesia tersebut memiliki masa, polemik
dan dinamikanya sendiri saat mereka memimpin. Saya tidak akan mempersoalkan
hal-hal yang terjadi pada masa mereka ataupun dinamika bangsa saat mereka
memimpin. Membahas persoalan bangsa pada saat mereka memimpin itu hanya akan membangkitkan
romansa-romansa masa lalu dan hanya menjebak kita dalam sebuah ruang kenangan
semu. Memang benar apa yang dikatakan oleh Soekarno, “Jangan Sampai Melupakan
Sejarah (Jas Merah)”. Namun, perlu juga bangsa ini menatap masa depan dengan
mata terbuka dan tidak terjebak dalam romansa-romansa masa lalu.
Untuk tahun ini, saya berharap sekali bangsa ini memiliki
seorang pemimpin yang berkarakter problem
solving. Pasalnya, bangsa ini sudah dikerumuni banyak masalah dan tidak
sepenuhnya tuntas. Bahkan, banyak masalah yang tidak tahu rimbanya dan
tahu-tahu muncul kembali pada suatu momen tertentu ketika negara ini sedang
dirundung masalah lainnya. Saya ambil contoh mengenai pendidikan. Bangsa ini
memiliki generasi muda berbakat yang tak terhitung jumlahnya. Namun, tidak
semuanya mendapatkan kesempatan yang sama untuk menikmati bangku pendidikan. Pun
bagi mereka yang sudah mengeyam bangku pendidikan, masih harus menghadapi
ujian-ujian formalitas penghancur mimipi, seperti Ujian Nasional (UN) dan
bahkan ada di beberapa sekolah mereka harus dihadapkan pada ujian penempatan
minat pembelajaran atau pembagian kelas berdasarkan tiga pengelompokan studi—IPA,
IPS dan Bahasa. Saya melihat itu sebagai suatu pembunuhan massal bagi generasi
penerus. Karena, anak-anak sudah dibedakan dan dikotak-kotakkan berdasarkan
sistem bukan berdasarkan minat anak itu sendiri.
Ketika generasi bangsa sudah “dimatikan” semacam itu maka
rusaklah bangsanya. Pendidikan hanya dinilai dari angka dan jumlah, bukan dari
kualitas pendidikannya. Anak-anak diajarkan untuk “culas” keadaan. Hal itu
terlihat dari tidak semua anak-anak yang bersekolah mampu memahami pelajaran
yang ia pelajari dan mengambil jalan pintas dengan menyontek hanya untuk mengejar
suatu pengakuan berdasarkan angka dan standar. Terbiasa dengan hal itu,
nantinya anak-anak itu hanya akan memandang bangsa ini dengan suatu pandangan
kuantitas semata.
Penerus bangsa dicetak bak robot, bukan diperlakukan
sebagai seorang manusia. Nilai-nilai hati nurani tidak ditanamkan dalam benak
dan hati anak-anak tersebut. Jangan salahkan jika suatu hari nanti di antara
mereka ada yang terjerat kasus korupsi, karena itu semua salah bangsa ini
bersama. Pemerintah membuat sistem pendidikan yang sedemikian rupa hanya
memandang pada kuantitas semata, para penyedia hiburan menyediakan hiburan semu
dan hanya membodohi penontonnya dengan iming-iming uang, pengusaha-pengusaha
hanya mencari keuntungan dan tidak memberikan kesempatan yang sama bagi semua
bidang keahlian, para guru yang sebagian besar hanya menjalankan “pekerjaannya”
dan bukan bersikap sebagai seorang pendidik, para intelektual yang hanya
membongkar-bongkar keborokan bangsa ini namun bukan mencari sistematika
solusinya, hingga orang tua yang sudah malas mengurus buah hatinya dengan
tangan dan keringatnya sendiri. Masih banyak lainnya yang tidak cukup untuk
saya beberkan di dalam tulisan ini.
Masalah-masalah tersebut baru satu dari sekian banyak
masalah yang mengepung bangsa ini. Namun, bagi saya, pendidikan merupakan
masalah yang paling krusial. Pasalnya, pendidikan berhubungan langsung dengan
sistem penyiapan generasi penerus bangsa. Saat ini, menurut saya, dunia
pendidikan memasuki fase kemunduran dan menjadi sebuah pendidikan praktis serta
instan. Anak-anak disibukkan belajar hingga tidak memiliki waktu untuk sekedar
berimajinasi. Anak-anak disetel dengan rutinitas kaku dan tidak menyenangkan. Pagi
mereka sekolah hingga sore dan terkadang sebagian besar dari mereka yang
bersekolah tidak lantas pulang ke rumah. Sore hari mereka semua dihadapkan
kewajiban untuk mengikuti les yang sudah dirancangkan oleh orang tua mereka. Kapan
mereka bermain dan membangun imajinasi? Tidak ada waktunya. Pun ada itu ialah
malam hari, waktu yang seharusnya mereka gunakan untuk beristirahat.
Terkait masalah pendidikan dengan pemimpin Indonesia
selanjutnya ialah pemimpin Indonesia selanjutnya haruslah seorang yang memiliki
visi berbasis pendidikan dan mampu mencari solusi dari masalah-masalah yang
merundung Indonesia—khususnya masalah pendidikan. Pemimpin Indonesia haruslah
seorang yang mempunyai impian dan nyali untuk mengubah bangsa ini menjadi
bangsa yang lebih mempunyai harga diri dan menjadi bangsa yang visioner. Bangsa
ini sudah tidak perlu seorang pemimpin yang hanya memikirkan masalah bangsa,
namun harus berani untuk menuntaskannya—minimal satu masalah pertahunnya pada
saat ia memimpin Indonesia.
Akhir kata dalam artikel ini, saya kira bangsa ini sudah
jenuh dengan pemimpin bermodalkan uang, pemimpin bermodalkan pengetahuan
militer, pemimpin yang bermodalkan popularitas, dan pemimpin yang bermodalkan
basis agama. Sekarang, Indonesia membutuhkan seorang pemimpin muda, berani dan
bernyali, visioner, dan mau turun untuk mengubah sistem pendidikan yang sudah
korup. Ketika sistem pendidikan Indonesia mampu diubah, maka efek domino sistem
penelur bangsa pun akan berubah. Saya sesungguhnya berharap, bila nanti
terpilih pemimpin baru Indonesia ia harus menciptakan pola pendidikan berbasis
budaya yang dimiliki bangsa ini dan pola pendidikan yang menumbuhkan
sikap-sikap kejujuran dan sportifitas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar