Rabu, 19 Februari 2014

Imajinasi Berujung Inspirasi



Bicara tentang komik pastinya orang awam akan mengasosiasikannya pada bacaan untuk anak-anak. Apalagi, sebagian besar komik-komik—khususnya komik Jepang atau manga—itu kemudian diangkat ke dalam versi kartun animasi. Sebut saja seri Naruto, Bleach, One Piece, Dragonball, Doraemon dan lain sebagainya.

Komik-komik tersebut bila kita sadari memiliki tema-tema yang setidaknya memberikan pembelajaran bagi semua kalangan—tidak hanya anak-anak. Saya ambil contoh komik Captain Tsubasa karya Takahashi Yoichi. Komik yang lebih terkenal versi animasinya di Indonesia itu diciptakan oleh Takahashi pada tahun 1981. Pada masa itu, kekuatan sepak bola Jepang belum seperti sekarang yang mana pemainnya sudah merambah hampir di seluruh benua di dunia. Namun, lihat saat ini, dunia sudah mengakui Jepang di dunia sepakbola. Di Inggris, sebut saja ada Shinji Kagawa, di Italy ada Keisuke Honda, dan jangan lupakan pemain-pemain veteran seperti Hidetoshi Nakata yang dulu memperkuat Parma dan Fiorentina atau Shunsuke Nakamura yang pernah memperkuat Reggina, Celtic, dan Espanyol. Komik Captain Tsubasa sudah menginspirasi anak-anak Jepang untuk bermimpi besar dan memotivasi federasi sepakbola Jepang untuk memajukan sepakbola mereka.

Captain Tsubasa yang begitu menginspirasi masyarakat Jepang di dunia sepakbola itu mengisahkan seorang anak bernama Tsubasa Ozora yang memiliki impian menjadi seorang pemain sepakbola dunia. Ia memulai karir sepakbolanya di sebuah klub SD bernama Nankatsu FC. Prinsip bersepakbola Tusabasa sangat idelogis—meski dikemas dengan sederhana—yakni bola adalah teman. Dari prinsipnya itu, Tsubasa memelihara mimpinya. Berbagai kompetisi dimenanginya. Ia pun pernah kalah, namun tidak pernah patah semangat untuk mengejar mimpinya. Hingga, juara dunia bersama Jerman, Tsubasa dapatkan dengan teman-temannya. Impian terbesarnya bermain di kancah dunia pun terwujud. Dari Jepang, Tsubasa pergi ke Brazil dan meniti karir profesionalnya dan akhirnya ia dibeli klub Barcelona.

Menurut saya, Takahashi Yoichi sungguh brilian membuat kisah inspiratif Tsubasa. Ia tidak hanya mencoba menyuguhkan cerita yang menarik buat anak-anak, namun juga inspiratif buat semua kalangan. Buah sumbangsi sederhana Yoichi tersebut akhirnya menyulut semangat masyarakat Jepang yang memiliki impian seperti halnya Tsubasa kecil. Secara tak langsung, Yoichi mengatakan “Impian dapat terwujud bila meyakini dan kerja keras untuk impian tersebut” melalui komik Captain Tsubasa.

Bila di sektor olahraga ada Captain Tsubasa, di sektor teknologi ada Doraemon. Komik Doraemon muncul pertama kali pada tahun 1969 dari tangan dingin Fujiko Fujio. Doraemon merupakan komik yang mengisahkan seorang anak bernama Nobita yang memiliki sahabat robot kucing dari abad 22 bernama Doraemon. Pada masa Fujiko membuat Doraemon, adanya robot hanya mimpi. Namun, melalui karya Fujiko Fujio tersebut banyak anak-anak di Jepang memiliki impian membuat robot seperti Doraemon. Bila melihat masa kini, sudah muncul ASIMO—robot yang diproduksi oleh pabrikan otomotif Honda. Selain ASIMO muncul pula beragam robot lainnya buah tangan ilmuwan-ilmuwan Jepang yang mungkin dulunya menonton Doraemon. Meski masih dalam pengembangan, namun Jepang tidak harus ada di abad ke 22 untuk mempunyai sebuah robot. Mimpi yang diilustrasikan oleh Fujiko Fujio pada tahun 1969, setidaknya, sudah sedikit terwujud.

Doraemon memanglah inspirasi banyak orang—baik dari Jepang maupun di pelosok dunia. Namun, Jepang juga mempunyai robot lainnya, yakni Astro Boy. Komik Astro Boy atau di Jepang dikenal dengan Tetsuwan Atom diciptakan oleh Osamu Tezuka pada tahun 1952. Cerita dalam komik Astro Boy mengisahkan tentang seorang ilmuwan bernama Doctor Tenma membuat sebuah robot yang menyerupai manusia bernama Atom. Ia menciptakan Atom untuk menggantikan anaknya, Tobio, yang telah meninggal. Berbeda dengan Doraemon, Atom merupakan robot android atau robot yang menyerupai manusia. Selain itu, Atom juga dilengkapi persenjataan canggih seperti sinar laser, roket untuk terbang hingga luar angkasa, dan kemampuan lainnya yang memungkinkannya melindungi manusia. Untuk kisaran tahun 1952-an, mungkin kisah Astro Boy ini merupakan kisah yang mustahil diwujudkan. Namun, imajinasi yang ditanamkan oleh Osamu berbuah hasil pada masa kini, yakni munculnya robot yang akan disiapkan oleh Jepang untuk menjelajah angkasa bernama Kirobo.

Pencipta Kirobo, Tomotaka Takahashi, mengatakan bahwa ia menciptakan Kirobo karena terinspirasi oleh Astro Boy (http://www.merdeka.com/teknologi/robot-astro-boy-buatan-jepang-akan-dikirim-ke-luar-angkasa.html). Mungkin saja, ketika Tomotaka masih kecil ia membaca atau menonton animasi dari Astro Boy karya Osamu dan ia bermimpi dapat membuat robot seperti halnya Atom. Hal itu membuktikan bahwa imajinasi yang dikreasikan oleh Osamu sudah mempengaruhi anak-anak di Jepang masa itu, setidaknya Tomotaka, untuk bermimpi membuat robot. Itu merupakan buah dari imajinasi yang kemudian menjadi inspirasi.

Beberapa contoh dalam tulisan ini bukan bermaksud membesar-besarkan negara Jepang. Namun, saya mencoba memberikan pandangan bahwa sebuah imajinasi jangan diremehkan. Bangsa kita, Indonesia, kadang suka menyepelekan orang-orang yang memiliki imajinasi “ajaib”. Anak-anak dipaksakan meninggalkan imajinasi mereka dengan suguhan hiburan yang melulu menontonkan tindak-tanduk tak layak, seperti konflik, pembodohan dari joged berujung uang, dan lain sebagainya. Sungguh, menurut saya, anak-anak Indonesia masa kini hanya menjadi zombi-zombi dari industri kreatif yang ada di negeri ini.

Tambah mirisnya, anak-anak sekarang lebih diprogram untuk mengejar nilai bukan memahami pelajaran. Ujian Nasional yang diselenggarakan oleh pemerintah menjadi sistem yang memenjarakan imajinasi anak-anak masa kini. Mereka dibuat lupa dari dunia imajinasi dan hanya mengejar nilai dengan belajar yang dipaksakan. Anak-anak berlomba-lomba mengejar nilai hingga orang tua mereka mendaftarkan mereka pada bimbingan belajar. Memang baik untuk seorang anak menjadi pintar. Akan tetapi, akan lebih baik jika anak dididik untuk menjadi kreatif. Sistem pendidikan yang hanya mengacu pada tatanan nilai hanya menjadikan anak-anak hanya melihat segala sesuatu berdasarkan angka bukan esensi semata.

Indonesia harusnya memelihara imajinasi anak-anak ke taraf yang lebih tinggi. Biarkan seorang anak mengimajinasikan dirinya menjadi apapun itu. Karena, visi paling jelas ialah visi seorang anak kecil, bukan orang dewasa yang visinya sudah terkontaminasi. Menjaga visi anak-anak dengan mengembangkan imajinasinya sama halnya dengan memajukan bangsa ini sepuluh langkah ke depan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar