Rabu, 05 Desember 2012

Deru Sendu

Ingin aku mencoba
Menjadi air yang mengalir
Namun selalu berakhir jadi limbah

Ingin aku mencoba
Menjadi udara yang berhembus
Namun selalu berkelok bagai asap polusi

Ingin aku mencoba
Menjadi pupuk yang tertanam
Namun selalu mengendap jadi racun kimiawi

Belumlah aku menemukan
Jadi apakah aku ini
Menjadi nafas bagi kehidupan
Atau menjadi arit yang mengambil kehidupan

Diskusi Pada Debu 1

Terkadang terpikir olehku
Bagaimana bisa bumi berputar pada porosnya?
Tanpa aku merasakan pergerakannya
Dan hanya bumi, tumbuhan, serta binatang yang mampu merasakannya

Apakah aku ada di bumi?
Atau sekedar rekayasa?
Tak pernah terpikir lelah olehku
Hanya sekelebatan dan pergi bersama angin

Begitu pula dengan hasrat
Betapa aku tak pernah tahu apa itu hasrat
Bentuk rupanya, datang dan perginya
Datang tidak ada tanda, pergi pun sekenanya

Hanya dedaunan runtuh yang selalu menyadarkan aku
Bahwa aku nyata, dapat menggenggamnya
Meski akhirnya aku menghancurkan daun runtuh itu
Dalam genggaman setengah lembut kekuatannya

Berpalang pada tanya dan bersanggah pada seru
Aku menikmati dan melarikan diri
Dari makna keberadaanku
Di atas bumi yang berputar pada porosnya

Konsep Perempuan Ideal Dalam Lirik Lagu “Mahadewi” Karya Grup Musik Padi



Musik sudah menjadi bagian yang tidak terlepaskan dalam kehidupan manusia. Musik dinikmati dan menjadi sebuah wadah untuk merelaksasikan diri. Di Indonesia, terdapat banyak pemain musik—baik bermain secara individu atau bermain dalam satu grup—yang memberikan cita warna pada khasanah dunia musik Indonesia, salah satunya ialah grup musik Padi.
Padi merupakan grup musik asal Indonesia yang berdiri pada tanggal 8 April 1997. Semula, grup musik tersebut bernama “Soda” yang dibentuk sebagai wadah kreatifitas mahasiswa Universitas Airlangga (Unair), Surabaya. Grup musik tersebut beranggotakan lima personel yaitu Andi Fadly Arifuddin (Fadly, Vokalis), Satriyo Yudhi Wahono (Piyu, Gitar), Ari Tri Sosianto (Ari, Gitar), Rindra Risyanto Noor (Rindra, Bass), dan Surendro Prasetyo (Yoyok, Drum). Nama “Soda” kemudian berganti menjadi Padi dengan filosofi membumi sehingga dapat berketerima di masyarakat Indonesia.
            Dalam kancah dunia industri musik Indonesia, Padi telah menelurkan lima album, yakni Lain Dunia (1999), Sesuatu Yang Tertunda (2001), Save My Soul (2003), Padi: Self Titled (2005), dan Tak Hanya Diam (2007). Kekuatan Padi dalam setiap lagunya ialah pada liriknya. Hal itu berkaitan dengan prinsip mereka mengedepankan lirik sebagai kekuatan musik mereka.[1] Dengan demikian, fokus utama Padi dalam membuat lagunya ialah pada liriknya.
            Kekuatan lirik Padi tersebut dapat terlihat dalam salah satu lagunya yang berjudul “Mahadewi” yang terdapat dalam album Lain Dunia. Dalam lirik lagu tersebut berisi tentang kisahan seorang pria yang sedang jatuh cinta kepada seorang perempuan yang diibaratkan sebagai seorang dewi. Secara tema, lagu tersebut berisikan tentang cinta, namun konteks dalam lagu tersebut lebih dari sekedar cinta. Ada sebuah konsep tentang keidealan seorang perempuan.
            Untuk menganalisis lirik lagu tersebut, saya menggunakan teori Semiotik Struktural. Hal itu saya lakukan karena diksi (kata) dalam lirik merupakan tanda[2] yang bermakna dan makna tersebut tersirat dalam struktur lirik lagu tersebut. Pemaknaan tanda tersebut juga tidak berhenti pada pemaknaan denotasi semata, melainkan juga makna konotasinya.

Konsep Perempuan Ideal dalam Lirik Lagu Mahadewi
            Mahadewi merupakan lagu ciptaan dari Piyu dan Rindra. Lagu tersebut terdapat dalam album Lain Dunia (1999). Dalam lirik lagu tersebut terdapat konsep perempuan ideal. Hal itu dapat terlihat dari diksi yang terdapat dalam judul, yakni Mahadewi. Kata tersebut terdiri dari kata maha dan dewi. Kata maha memiliki makna leksikal ‘amat; yang teramat (KBBI, 2008: 964)’, sedangkan dewi bermakna leksikal ‘dewa perempuan; perempuan yang cantik; jantung hati (KBBI, 2008: 350). Kedua kata tersebut membentuk satu kata mahadewi yang memiliki makna leksikal ‘sebutan bagi seorang putri atau permaisuri (KBBI, 2008: 968)’. Dalam lirik tersebut, kata mahadewi berada pada konotasinya, yakni ‘perempuan terindah’.
            Konsep perempuan ideal dalam lagu Mahadewi terdapat pada penandaan di dalam lirik-liriknya yang saling terkait pada judulnya. Konsep perempuan ideal pertama terdapat dalam bait pertama. Dalam bait tersebut, penanda mengenai konsep perempuan ideal ada pada baris kedua dan ketiga. Berikut penggalan bait tersebut:

Bertahta bintang-bintang angkasa
Namun satu bintang yang berpijar

Dalam penggalan tersebut, terdapat personifikasian[3] perempuan. Personifikasian tersebut terdapat pada kata bintang. Secara leksikal, bintang memiliki makna ‘benda langit yang terdiri dari gas menyala seperti matahari, terutama tampak pada malam hari (KBBI, 2008: 203)’. Makna konotasi yang muncul dari kata tersebut ialah ‘perempuan cantik’. Hal itu dikarenakan kata bintang mengacu kepada makna kata mahadewi pada judul, bahwa perempuan yang seperti seorang dewi adalah perempuan yang cantik.
Konsep kecantikan perempuan tersebut bukan pada tataran fisik semata. Hal itu disebabkan keterkaitan kata bintang dengan susunan kata pada baris ketiga, yakni namun satu bintang yang berpijar. Keterkaitan itu membentuk makna konotasi ‘perempuan cantik adalah perempuan yang memiliki kelebihan’. Penanda yang memunculkan konteks makna itu ialah kata pijar ‘memerah kekuning-kuningan menyala karena terbakar (KBBI, 2008: 1180)’. Bintang yang menyala akan berbeda dengan bintang yang tidak menyala, karena bintang menyala memiliki kelebihan sehingga menyala.
Konsepsi tersebut juga terdapat dalam salah satu tokoh wayang yang berasal dari kisah Mahabarata, yakni Dewi Sumbadra/Subadra. Dalam Mahabarata, Dewi Sumbadra diibaratkan sebagai perempuan yang memiliki kelebihan dari perempuan lainnya. Hal itu dapat terlihat dalam Ensiklopedi Wayang (Widyawati R, 2009: 791):

 Rara Ireng ialah putri Prabu Basudewa, raja negara Madura. Ia adalah titisan Dewi Sri, yakni Dewa perempuan imbangan Hyang Wisnu. Sesudah dewasa, Rara Ireng bernama Dewi Wara Sumbadra[...]
            [...]Tersebut di dalam cerita, Rara Ireng tak begitu cantik, tetapi kalau berkumpul dengan putri-putri yang tersohor cantiknya, Rara Ireng melebihi kecantikan mereka semua.

Dari penjelasan tersebut, Dewi Sumbadra atau Rara Ireng dapat bersinar dari perempuan lainnya yang lebih cantik darinya. Ada hal yang membuat Dewi Sumbadra memiliki kelebihan dari sifatnya yang setia dan pengertian.[4] Konsepsi tersebut menandakan bahwa Dewi Sumbadra lebih bersinar dari perempuan lainnya karena memiliki kelebihan. Dengan demikian, konsep perempuan ideal pada bait pertama mengacu kepada konsep Dewi Sumbadra.
            Konsep perempuan ideal kedua dalam lagu Mahadewi nampak pada bait kedua. Berikut penggalan lirik yang berisikan konsepsi tersebut:

Ada tutur kata terucap,
Ada damai yang kurasakan

Dalam dua baris tersebut konsepsi sikap seorang perempuan. Hal itu nampak pada kata tutur ‘ucapan; kata; perkataan (KBBI, 2008: 1765)’ dan kata damai ‘tak ada perang; aman; tentram; tenang; keadaan tidak bermusuhan (KBBI, 2008: 309)’. Kedua kata tersebut mengacu kepada sikap kesopanan dan keramahan. Munculnya konsep itu didasari analogi dalam tuturan atau cara bicara yang sopan dan ramah dapat memberikan rasa nyaman (damai/tentram) pada orang lain.
            Dalam bait kedua tersebut juga terdapat konsep lainnya. Berikut penggalan liriknya:

Bila sinarnya sentuh wajahku,
Kepedihanku pun... terhapuskan

Konsepsi perempuan ideal dalam baris ketiga dan keempat bait kedua tersebut menyangkut tentang pola hubungannya dengan lawan jenisnya. Dalam penggalan di atas terdapat penanda-penanda yang mengarah kepada konsepsi tersebut. Penanda pertama ialah kata sinar yang merupakan kata dasar dari kata sinarnya. Kata sinar bermakna ‘pancaran terang (cahaya) (KBBI, 2008: 1456)’. Kata tersebut kemudian memiliki makna konotasi karena memiliki keterkaitan konsep dengan kata pijar pada bait pertama baris ketiga. Makna konotasi kata sinar ialah ‘kelebihan atau keunggulan’. Penanda kedua ialah kata kepedihanku yang memiliki kata dasar pedih ‘rasa sakit seperti luka dicuci dengan sublimat (zat pembunuh kuman) (KBBI, 2008: 1138)’. Dan, penanda ketiga ialah kata terhapuskan yang berasal dari kata hapus ‘hilang; musnah; diampuni (KBBI, 2008: 523)’.
            Ketiga penanda tersebut membentuk sebuah makna baru, yakni ‘sebuah keunggulan yang dapat menghapuskan rasa pedih’. Dengan demikian, seorang perempuan harus memiliki keunggulan yang dapat menghapuskan rasa pedih dan sedih dari orang lain—terutama untuk pasangannya. Keunggulan tersebut dapat tercermin dalam sikap dewasa dalam mendengarkan orang lain dan mampu menjadi teman berbagi dalam suka maupun duka. Dengan kata lain, seorang perempuan ideal harus mempunyai pola pikir dewasa dan dapat menjadi teman berbagi.
            Konsep perempuan ideal keempat dapat terlihat pada bait keempat. Berikut penggalan lirik pada bait ketiga yang memiliki konsep perempuan ideal:

Alam raya pun semua tersenyum

Penanda yang memberikan pandangan tentang konsep perempuan dalam penggalan di atas terdapat pada kata alam, raya, tersenyum, merunduk, dan memuja. Kata alam ‘dunia; kerajaan (daerah, negeri); semua yang ada di langit dan di bumi; segala sesuatu yang termasuk dalam satu lingkungan dan dianggap sebagai satu keutuhan; segala daya yang menyebabkan terjadinya dan seakan-akan mengatur segala sesuatu yang ada di dunia ini (KBBI, 2008: 34)’ dan kata raya ‘besar (KBBI, 2008: 1272)’ membentuk sebuah makna konotasi, yaitu ‘orang-orang di sekitar’. Makna itu muncul disebabkan personifikasi dari kedua kata tersebut yang dimunculkan oleh keterkaitannya dengan kata tersenyum ‘memberikan senyum; tertawa dengan tidak bersuara (KBBI, 2008: 1419)’.
            Konsep yang muncul pada penggalan lirik itu ialah konsep perempuan yang mampu membuat orang-orang di sekitarnya tersenyum. Untuk mampu membuat orang tersenyum, maka seseorang harus berbuat yang menyenangkan dan selalu melakukan kebaikan. Selain itu, untuk dapat membuat orang lain tersenyum, orang harus mampu membaca keadaan dan mampu menempatkan diri. Hal itu sama seperti konsep yang diangkat dalam peribahasa Jawa yaitu empan papan. Dalam Pitutur Adilihur: Ajaran Moral dan Filosofi Hidup Orang Jawa, penjelasan empan papan ialah sebagai berikut (Tartono, 2009: 149):

Empan artinya pas; tepat benar. Papan berarti tempat lokasi atau area. Empan papan, tempat yang pas benar, adalah ungkapan yang dimaksudkan sebagai nasehat agar orang mau menempatkan diri dengan benar. Tatkala berada di suatu daerah, atau berhadapan dengan suatu adat atau tradisi tertentu, atau tatkala menghadapi suatu persoalan, sungguh memperhitungkan kondisi dan situasi dengan cermat. Jangan asal omong, jangan asal bertindak. Hendaknya itu dilakukan sesuai dengan tuntutan dan tuntunan setempat.

Konsep empan papan tersebut tidak lepas dari latar budaya pencipta lirik lagu ini—Piyu dan Rindra—yang merupakan orang Jawa. Jadi, dengan kata lain seorang perempuan ideal harus mampu menyenangkan dan mampu untuk menempatkan diri dengan benar.
            Penanda konsep perempuan ideal selanjutnya ada pada bait keempat dan kelima. Dalam kedua bait tersebut terdapat susunan kata yang sama. Berikut penggalan susunan kata yang terdapat pada bait keempat dan kelima:

Mahadewi resapkan nilainya,

Dalam penggalan tersebut memiliki pemahaman bahwa seorang Mahadewi harus mampu meresapkan nilai-nilainya. Kata nilai beberapa makna leksikal ‘harga (dalam arti taksiran harga); harga uang; angka kepandaian; banyak sedikitnya isi; sifat-sifat (hal-hal) yang penting atau berguna bagi manusia (KBBI, 2008: 1074)’. Namun, dalam lirik tersebut, makna yang dimaksud ialah ‘sifat-sifat (hal-hal) yang penting atau berguna bagi manusia’. Sifat penting yang dimaksud berkaitan dengan pola pikir dan ideologi.
            Dapat dikatakan bahwa seorang perempuan yang ideal harus memiliki ideologi yang kuat sehingga ia mampu bertahan dalam arena kontestasi di masyarakat. Perempuan harus mampu menggunakan kemampuannya untuk mampu bertahan dan bersaing demi mendapatkan posisi yang lebih baik. Selain itu, perempuan juga harus melesapkan ideologi-ideologinya dalam masyarakat, sehingga pemikirannya mampu sejalan dengan dinamika sosial masyarakatnya.

Kesimpulan
            Lirik lagu Padi yang berjudul Mahadewi merupakan lagu yang bertemakan cinta seorang pria dan perempuan. Namun, lirik tersebut juga terdapat hal yang lebih dalam lagi. Lagu tersebut memiliki konsepsi-konsepsi mengenai perempuan ideal. Konsep-konsep tersebut muncul dalam pemaknaan diksi dan majas yang muncul dalam bait-bait liriknya.
            Dalam lirik lagu tersebut terdapat lima konsep perempuan ideal. Pertama, perempuan diharapkan memiliki kelebihan yang membedakan dirinya dengan perempuan lainnya. Konsep tersebut berkesinambungan dengan konsep perempuan dalam salah satu tokoh wayang Jawa, yaitu Dewi Sumbadra. Kedua, perempuan diharapkan mampu bersikap sopan dan ramah sehingga dapat membuat orang lain nyaman di dekatnya. Ketiga, perempuan diharapkan mampu bersikap dewasa dan menjadi tempat berbagi sehingga dapat menjadi teman yang baik bagi seseorang. Keempat, perempuan diharapkan mampu menempatkan diri sehingga keberadaannya dapat menyenangkan orang lain. Dan, kelima, perempuan diharapkan memiliki pola pikir dan ideologi yang mampu melesapkan ideologi-ideologinya sehingga mampu membuat sebuat kedinamikaan dalam masyarakatnya.
            Konsep-konsep tersebut tidak terlepas dari latar budaya dari penciptanya—Piyu dan Rindra. Keduanya ialah berasal dari etnis Jawa, sehingga konsep-konsep perempuan Jawa ada dalam lirik lagu tersebut. Dapat dikatakan bahwa konsep perempuan ideal tersebut—sedikit banyaknya—terpengaruh oleh konsepsi perempuan ideal Jawa.
Daftar Pustaka

Barthes, Roland. 1972. Mythologies. New York: The Noonday Press.
Hoed, Benny H. 2011. Semiotik & Dinamika Sosial Budaya. Depok: Komunitas Bambu.
Keraf, Gorys. 2008. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia.
Smith, Philips. 2001. Cultural Theory: An Introduction. Oxford: Blackwell Publisher.
Tartono, St. S. 2009. Pitutur Adiluhur: Ajaran Moral dan Filosofi Hidup Orang Jawa. Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama.
Tim Penyusun. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Bahasa.
Widyawati R, Wiwien. 2009. Ensiklopedi Wayang. Yogyakarta: Pura Pustaka.

Website
http://info-biografi.blogspot.com/2010/04/biografi-band-padi.html diakses pada tanggal 1 Juni 2012, jam 9.21 WIB.


[1] http://info-biografi.blogspot.com/2010/04/biografi-band-padi.html diakses pada tanggal 1 Juni 2012, jam 9.21 WIB.
[2] Tanda merupakan semua hal yang hadir dalam kehidupan manusia yang harus diberi makna. Benny H Hoed. Semiotika & Dinamika Sosial Budaya. (Depok: Komunitas Bambu, 2011). Hlm. 3.
[3] Personifikasi adalah semacam gaya bahasa kiasan yang menggambarkan benda-benda mati atau barang-barang yang tidak bernyawa seolah-olah memiliki sifat-sifat kemanusiaan. Gorys Keraf. Diksi dan Gaya Bahasa. (Jakarta: Gramedia, 2008). Hlm. 140.
[4] Tim Penulis. Ensiklopedi Wayang Indonesia R-S. (Jakarta: Senawangi, 1999). Hlm. 1261.

Minggu, 02 Desember 2012

Sendu 1

Bermukim pada kedukaan
Bukan sebuah kenangan antara hidup dan mati
Berjalan di atas titian kepekaan
Bukan sebuah paksaan memahami

Senja dan subuh
Di antara perantara waktu dunia
Leleh dan luluh
Bersenda gurau dalam kelangkaan kemanusiaan

Pohon layu dan bibit tumbuh
Waktu berjalan, waktu berlalu
Sunyi dan ramai pun bersebrangan
Hanya selalu bersandingan sambil lalu
Bernadi di atas tubuh
Dunia bermandikan sahaja kedukaan semu

Sampai nanti, sampai tubuh ini luluh
Hanya kepada angin dan awan
Cerah hari akan ku bagikan