Indonesia memiliki banyak
potensi wisata alam yang dapat dimanfaatkan. Sebut saja kepulauan seribu. Di gugusan
pulau yang ada di utara Jakarta itu memiliki beberapa objek wisata dengan
keindahan alamnya, salah satunya ialah Pulau Pari. Nama Pari berasal dari
bentuk pulau yang menyerupai ikan pari. Pulau ini memiliki penduduk lokal,
namun ada kabar yang sedikit miris di telingaku. Kabar bahwa penduduk lokal di
pulau Pari tidak memiliki tanahnya sendiri.
Ya, pulau Pari merupakan
kepunyaan swasta, begitulah yang ku dengar dari penduduk sekitar sini. Ketika “pemilik”
pulau itu suatu saat nanti hendak membangun pulau Pari demi kebutuhannya maka
warga lokal pulau Pari harus bersiap angkat kaki. Entah kabar itu benar atau
tidak. Hanya saja, saat mendengar hal itu sedikit iba hati saya pada para
penduduk pulau itu.
Di pulau Pari, penduduk
lokalnya tidak hanya berasal dari satu suku saja. Hal itu saya simpulkan ketika
mendengar logat dan dialek yang digunakan oleh para penduduk lokal. Ada yang
bersuku sunda dan ada yang bersuku Jawa. Meski demikian, warga pulau itu hanya
mengatakan diri mereka orang pulau. Identitas suku mereka seakan
dikesampingkan. Kondisi yang sekiranya sesuai dengan jargon K Hadjar Dewantara,
Bhinneka Tunggal Ika.
Penduduk di sini pun rata-rata
menyewakan rumah tinggal mereka sebagai tempat persinggahan para wisatawan. Saat
wisatawan datang menginap, si empunya rumah akan menetap sementara di rumah
saudaranya di sisi lainnya pulau Pari. Meski sederhana, rumah yang saya dan
teman-teman saya tinggali selama di pulau itu cukup nyaman. Terdapatnya Air Conditioning (AC) di rumah singgah
kami salah satu faktornya. Selain itu, di pulau ini terdapat pantai yang
bernama Pasir Perawan. Dinamakan demikian, menurut pemandu wisata kami, karena
pasir di pantai ini masih segar seperti belum tersentuh. Namun, nyatanya yang
ada di lapangan pantai ini sudah cukup terkontaminasi sampah. Ya, sudah pasti
sampah yang berasal dari para pelancong-pelancong yang datang ke pantai
tersebut.
Selain objek wisata Pantai Pasir
Perawan, di Pulau Pari juga terdapat wahana rekreasi lainnya bagi para
pelancong. Di antaranya, Banana Boat,
Sofa Boat, Cano, Camping Stay, Bersepeda, hingga Snorkling. Dengan wahana-wahana rekreasi tersebut, para wisatawan
termanjakan dan menjadi betah selama berlibur di Pulau Pari. Salah satu tujuan tour di Pulau Pari ialah Pulau Tikus. Sebuah
kepulauan kecil yang terdapat di gugusan kepulauan Seribu. Pulau tersebut
merupakan pulau persinggahan untuk beristirahat bagi para wisatawan yang sudah
puas snorkling atau penyelaman
dangkal. Hanya saja, kondisi pulau tersebut lebih parah dari Pantai Pasir
Perawan. Hal itu dikarenakan banyaknya sampah yang menggunung di sisi pantai
pulau tersebut. Sampah-sampah tersebut sangat beragam, mulai dari sisa bungkus
makanan hingga botol-botol kaca bekas minuman berenergi. Sungguh kotor pantai
tersebut. Bila saja lebih diperhatikan kebersihannya, mungkin Pulau Tikus akan
menjadi tempat persinggahan wisatawan sehabis penyelaman yang cukup
menyenangkan.
![]() |
Pantai Pasir Perawan |
Kepulauan Swasta
Selama liburan saya di Pulau
Pari, banyak hal menarik yang saya terima. Salah satunya ialah informasi bahwa
kepulauan seribu kini hampir delapan puluh persennya dimiliki swasta. Informasi
itu saya dapat dari salah satu instruktur selam yang kami sewa. Saya tidak
menanyakan siapa namanya, hanya saja ia mengajak bicara kami yang tidak
menyelam.
Awal Pembicaraan kami ialah
mengenai perangkat selam. Ia bercerita bila perlengkapan selam dalam atau diving bisa mencapai tiga juta rupiah
seperangkatnya. Ia pun bercerita mengenai spesifikasi baju selam, mulai fungsi
hingga ketebalannya. Dari pembicaraan mengenai baju selam, ia pun membicarakan
mengenai kehidupan pribadinya. Ia menceritakan tempat berkuliahnya dulu. Ia ternyata
lulusan Universitas Negeri Jakarta, begitu pengakuannya. Ia pun bercerita
tentang adiknya yang mengambil jurusan Bahasa Inggris di Uhamka. Lalu,
sampailah pembicaraan kami ke topik yang menarik, yakni kehidupan warga
kepulauan seribu.
Dari pembicaraan dengan
instruktur selam tersebut, saya mengetahui bahwa kepulauan seribu hampir
delapan puluh persennya milik swasta. Pulau yang benar-benar milik pemerintah
kota Jakarta hanya dua puluh persen. Ada beberapa perasaan dan pertanyaan yang
saya rasakan, pertama percaya tidak percaya. Dalam benak saya, apakah benar
demikian? Kalau begitu, bagaimana nasib warga lokal? Pertanyaan-pertanyaan
semacam itu mengganggu pikiran saya. Kedua, bila benar itu semua hampir
dimiliki pihak swasta, kenapa pemerintah Jakarta tidak ambil tindakan? Apa memang
pemerintah Jakarta tidak mampu mengurusnya? Saya rasa, tidak sepenuhnya milik
swasta. Namun, instruktur selam tersebut menyatakan ada beberapa nama terkenal
yang memiliki kepulauan seribu. Di antaranya ialah Tomy Winata, keluarga
Cendana, Abu Rizal Bakri, dan keluarga Megawati Soekarno Putri.
Kesimpulan yang bisa saya dapat
dari pembicaraan dengan instruktur selam tersebut ialah sebagian besar pulau di
kepulauan seribu bukan milik warganya, melainkan milik pihak swasta yang
sewaktu-waktu bisa mengusir warga lokal dari pulau tersebut, salah satunya
Pulau Pari. Adapun, cerita instruktur selam tersebut juga menyentil rasa ingin
tahu saya untuk mengetahui lebih lanjut tentang kehidupan warga lokal,
khususnya warga Pulau Pari. Namun, waktu yang saya punya tidaklah banyak. Bila suatu
saat nanti saya sudah memiliki uang yang cukup, saya akan kembali ke pulau ini
untuk mengorek lebih banyak cerita.