Selasa, 24 September 2013

Pulau Pari, Swastanisasi Pulau-Pulau Di Kepulauan Seribu



Indonesia memiliki banyak potensi wisata alam yang dapat dimanfaatkan. Sebut saja kepulauan seribu. Di gugusan pulau yang ada di utara Jakarta itu memiliki beberapa objek wisata dengan keindahan alamnya, salah satunya ialah Pulau Pari. Nama Pari berasal dari bentuk pulau yang menyerupai ikan pari. Pulau ini memiliki penduduk lokal, namun ada kabar yang sedikit miris di telingaku. Kabar bahwa penduduk lokal di pulau Pari tidak memiliki tanahnya sendiri.

Ya, pulau Pari merupakan kepunyaan swasta, begitulah yang ku dengar dari penduduk sekitar sini. Ketika “pemilik” pulau itu suatu saat nanti hendak membangun pulau Pari demi kebutuhannya maka warga lokal pulau Pari harus bersiap angkat kaki. Entah kabar itu benar atau tidak. Hanya saja, saat mendengar hal itu sedikit iba hati saya pada para penduduk pulau itu.

Di pulau Pari, penduduk lokalnya tidak hanya berasal dari satu suku saja. Hal itu saya simpulkan ketika mendengar logat dan dialek yang digunakan oleh para penduduk lokal. Ada yang bersuku sunda dan ada yang bersuku Jawa. Meski demikian, warga pulau itu hanya mengatakan diri mereka orang pulau. Identitas suku mereka seakan dikesampingkan. Kondisi yang sekiranya sesuai dengan jargon K Hadjar Dewantara, Bhinneka Tunggal Ika.

Penduduk di sini pun rata-rata menyewakan rumah tinggal mereka sebagai tempat persinggahan para wisatawan. Saat wisatawan datang menginap, si empunya rumah akan menetap sementara di rumah saudaranya di sisi lainnya pulau Pari. Meski sederhana, rumah yang saya dan teman-teman saya tinggali selama di pulau itu cukup nyaman. Terdapatnya Air Conditioning (AC) di rumah singgah kami salah satu faktornya. Selain itu, di pulau ini terdapat pantai yang bernama Pasir Perawan. Dinamakan demikian, menurut pemandu wisata kami, karena pasir di pantai ini masih segar seperti belum tersentuh. Namun, nyatanya yang ada di lapangan pantai ini sudah cukup terkontaminasi sampah. Ya, sudah pasti sampah yang berasal dari para pelancong-pelancong yang datang ke pantai tersebut.

Selain objek wisata Pantai Pasir Perawan, di Pulau Pari juga terdapat wahana rekreasi lainnya bagi para pelancong. Di antaranya, Banana Boat, Sofa Boat, Cano, Camping Stay, Bersepeda, hingga Snorkling. Dengan wahana-wahana rekreasi tersebut, para wisatawan termanjakan dan menjadi betah selama berlibur di Pulau Pari. Salah satu tujuan tour di Pulau Pari ialah Pulau Tikus. Sebuah kepulauan kecil yang terdapat di gugusan kepulauan Seribu. Pulau tersebut merupakan pulau persinggahan untuk beristirahat bagi para wisatawan yang sudah puas snorkling atau penyelaman dangkal. Hanya saja, kondisi pulau tersebut lebih parah dari Pantai Pasir Perawan. Hal itu dikarenakan banyaknya sampah yang menggunung di sisi pantai pulau tersebut. Sampah-sampah tersebut sangat beragam, mulai dari sisa bungkus makanan hingga botol-botol kaca bekas minuman berenergi. Sungguh kotor pantai tersebut. Bila saja lebih diperhatikan kebersihannya, mungkin Pulau Tikus akan menjadi tempat persinggahan wisatawan sehabis penyelaman yang cukup menyenangkan.

Pantai Pasir Perawan


Kepulauan Swasta

Selama liburan saya di Pulau Pari, banyak hal menarik yang saya terima. Salah satunya ialah informasi bahwa kepulauan seribu kini hampir delapan puluh persennya dimiliki swasta. Informasi itu saya dapat dari salah satu instruktur selam yang kami sewa. Saya tidak menanyakan siapa namanya, hanya saja ia mengajak bicara kami yang tidak menyelam.

Awal Pembicaraan kami ialah mengenai perangkat selam. Ia bercerita bila perlengkapan selam dalam atau diving bisa mencapai tiga juta rupiah seperangkatnya. Ia pun bercerita mengenai spesifikasi baju selam, mulai fungsi hingga ketebalannya. Dari pembicaraan mengenai baju selam, ia pun membicarakan mengenai kehidupan pribadinya. Ia menceritakan tempat berkuliahnya dulu. Ia ternyata lulusan Universitas Negeri Jakarta, begitu pengakuannya. Ia pun bercerita tentang adiknya yang mengambil jurusan Bahasa Inggris di Uhamka. Lalu, sampailah pembicaraan kami ke topik yang menarik, yakni kehidupan warga kepulauan seribu.

Dari pembicaraan dengan instruktur selam tersebut, saya mengetahui bahwa kepulauan seribu hampir delapan puluh persennya milik swasta. Pulau yang benar-benar milik pemerintah kota Jakarta hanya dua puluh persen. Ada beberapa perasaan dan pertanyaan yang saya rasakan, pertama percaya tidak percaya. Dalam benak saya, apakah benar demikian? Kalau begitu, bagaimana nasib warga lokal? Pertanyaan-pertanyaan semacam itu mengganggu pikiran saya. Kedua, bila benar itu semua hampir dimiliki pihak swasta, kenapa pemerintah Jakarta tidak ambil tindakan? Apa memang pemerintah Jakarta tidak mampu mengurusnya? Saya rasa, tidak sepenuhnya milik swasta. Namun, instruktur selam tersebut menyatakan ada beberapa nama terkenal yang memiliki kepulauan seribu. Di antaranya ialah Tomy Winata, keluarga Cendana, Abu Rizal Bakri, dan keluarga Megawati Soekarno Putri.

Kesimpulan yang bisa saya dapat dari pembicaraan dengan instruktur selam tersebut ialah sebagian besar pulau di kepulauan seribu bukan milik warganya, melainkan milik pihak swasta yang sewaktu-waktu bisa mengusir warga lokal dari pulau tersebut, salah satunya Pulau Pari. Adapun, cerita instruktur selam tersebut juga menyentil rasa ingin tahu saya untuk mengetahui lebih lanjut tentang kehidupan warga lokal, khususnya warga Pulau Pari. Namun, waktu yang saya punya tidaklah banyak. Bila suatu saat nanti saya sudah memiliki uang yang cukup, saya akan kembali ke pulau ini untuk mengorek lebih banyak cerita.
 

Senin, 16 September 2013

Orang Tua Untuk Anak-Anak Peradaban I



Kahlil Gibran pernah menuliskan sebuah kalimat yang dahsyat menurut saya dalam buku “Sang Nabi”. Kalimat tersebut ialah “Anakmu bukanlah anakmu, ia anak dari sebuah peradaban”. Kalimat ini sangat menarik bagi saya karena dalam kalimat itu Gibran mengingatkan para orang tua jika anak mereka akan terus berkembang seraya perkembangan suatu peradaban sekitarnya.

Namun, akankah semua orang tua akan siap dengan itu? Harusnya setiap manusia yang sudah siap menjadi orang tua haruslah siap. Karena, disadari atau tidak manusia akan berkembang bersandingan perkembangan zaman di era-nya. Anak akan berkembang sesuai eranya dan era itu akan sulit diikuti orang tuanya nanti. Anak pun akan menjadi bagian dari fondasi berkembangnya suatu peradaban.

Bila dipertanyakan, bagaimanakah menjadi orang tua yang ideal bagi seorang anak? Mungkin sulit untuk menjawabnya dengan sempurna, karena tumbuh berkembangnya anak akan bergantung juga pada lingkungan ia berada. Meskipun demikian, peran orang tua sangat penting sebagai penanam kesadaran moral dan etika dasar pada anak. Apa yang harus diperbuatnya dan apa yang tidak. Orang tua berperan besar dalam penanaman moral dan etika dasar dalam seorang anak.

Saya pun teringat dengan proposisi Jawa “ing ngarsa sing tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani” yang sekiranya menurut saya dapat diterapkan untuk menjadi orang tua ideal bagi seorang anak. Ketika anak masih usia kanak-kanak orang tua hendaknya menjadi teladan mutlak bagi anaknya karena fase itu si anak akan membutuhkan suatu sosok yang akan dijadikan fondasi karakternya. Untuk itu, orang tua hendaknya memiliki kesadaran bahwa anak akan melakukan apapun yang ia lihat. Anak tidak mengerti mana salah dan benar. Orang tua harus memberikan contoh dalam berbagai lini pada anak fase kanak-kanak. Bagaimana bersikap pada orang lain, bagaimana bersosialisasi, apa yang boleh dan tidak untuk dilakukan kepada orang lain dan lain sebagainya.

Beranjak remaja, anak akan memilah-milih sosok yang akan diidolakannya. Baik berasal dari kehidupan sebenarnya maupun dari dunia imajinasinya. Bisa jadi si anak akan mengidolakan pemusik idolanya ataupun mengidolakan tokoh yang ada dalam sebuah cerita fiksi. Untuk itu, orang tua harus mampu mengarahkannya dengan posisi sebagai teman. Orang tua harus mampu untuk mengarahkan kemauan dan kehendak anaknya agar bisa terarah untuk mencontoh sosok idolanya. Hal itu perlu agar anak tidak salah arah dalam mereduplikasi perilaku atau karakter dari tokoh yang diidolakannya. Dalam fase remaja memang sesekali orang tua harus mengubah peran teman menjadi orang tua bila perilaku anak sudah mulai mengkhawatirkan. Namun, tindakan itu merupakan tindakan terakhir bilamana negosiasi dengan si anak tidak berjalan mulus atau mengalami jalan buntu.

Saat sudah dewasa, peran orang tua agaknya harus berubah 180 derajat. Pada fase dewasa, anak akan sulit sekali menuruti orang tua untuk hal-hal yang menurutnya benar. Untuk menghadapi anak pada fase ini, orang tua haruslah menjadi energi pendorong sehingga anak menjadi lebih bertenaga untuk menghadapi masalah-masalah di depannya. Untuk dapat seperti itu, orang tua hendaknya mampu bercengkrama dengan anak dan menjadi penyedia saran serta kebijaksanaan bagi anak. Dengan menyediakan saran dan kebijaksanaan bagi si anak, maka anak akan belajar melihat masalah dari berbagai sudut pandang dan mencari solusi pada suatu masalah dengan seksama.

Menjadi orang tua memanglah tidak mudah. Ia harus memiliki kesabaran, ketelatenan, keuletan, dan determinasi diri sehingga tindak-tanduknya bisa menjadi keteladanan bagi anak. Anak haruslah didampingi oleh orang tuanya hingga kapanpun. Hanya saja, takaran pendampingan orang tua kepada anak berbeda-beda pada fase umurnya. Orang tua yang ideal merupakan orang tua yang mampu mendampingi anaknya dengan fleksibel dan mampu mencari celah untuk dapat berkomunikasi dengan anak.

Selasa, 18 Juni 2013

Momentum Berdikari

Polemik rutin yang sering dihadapi di Indonesia ialah masalah harga BBM (bahan bakar minyak). Kebijakan menaikan harga BBM menjadi satu kebijakan yang non populis. Banyak penentangannya, dengan beragam alasan dan kepentingan. Muncul pertanyaan di dalam benak saya, bila BBM naik memangnya ada apa? Mengapa begitu berpengaruh?

Pertanyaan-pertanyaan yang memang belum sepenuhnya saya pahami mendalam, meski setidaknya saya tahu sedikit mengapa BBM berpengaruh dengan harga sembako. Akhirnya, saya bertanya pada teman saya, kebetulan sarjana ekonomi. Saya bertanya pada teman saya itu, mengapa perubahan harga BBM berpengaruh kepada harga sembako dan beberapa pertanyaan sekitar masalah itu. Teman saya memberikan jawaban singkat nan padat melalui "BBM"-nya. Ia berkata, "Sembako kan butuh biaya transportasi". Sejenak saya merenung dan jawaban singkat teman saya itu memang masuk akal. Tak lama ia menambahkan jawabannya, "Orang-orang yang jualan sembako, yang kerja di toko sembako butuh transportasi untuk dateng kerja. Bensin naik, ongkos berangkat kerja naik, minta naik gaji, diskompensasi ke harga sembako". Penjelasan teman saya itu pun saya cermati seksama. Muncul satu pemahaman bahwa perubahan BBM di Indonesia berdampak sistemik pada perekonomian rakyatnya.

Akan tetapi, ada satu fenomena yang saya catat kemarin dalam benak saya kala menonton penggalan berita sidang paripurna BBM. Ada fenomena "tebar pesona" partai, baik secara terang-terangan mengacungkan jari berjumlah "3" ataupun melalui bahasa-bahasa puitis yang mengatasnamakan rakyat. Dalam sepersekian detik dan menit, mereka sadar kamera, sadar sedang menjadi "selebritis" dadakan, dan sadar betul banyak yang menonton liputan paripurna DPR itu. Sungguh, hanya menggelengkan kepala yang saya lakukan.

Beruntung saya menonton liputan khusus malam itu. Ada satu konklusi yang bisa saya ambil, sebagai seorang pemilik hak suara, yakni saya tidak akan memilih partai "sadar" kamera, tidak akan memilih figur calon pemimpin bangsa berdasarkan partai yang diusungnya, dan yang pasti saya tidak akan memilih partai inkonsisten. Sederhananya, jika tidak ada sosok yang memang saya rasa bisa dan mampu memimpin maka saya tidak akan memilih untuk tidak memilih.

Kembali lagi masalah BBM, menurut saya, pemerintah memang harus menaikan harga BBM. Bukan tidak memandang rakyat tidak mampu ataupun tidak merasakan. Namun, saya berpikir hal itu perlu dilakukan agar Indonesia bisa lebih berdikari. Sebenarnya, banyak yang tidak pernah tersorot media dalam kebiasaan rakyat Indonesia. Bila dibilang miskin, banyak pula rakyat Indonesia yang tidak bisa dan tidak mau mengukur dirinya. Misal, banyaknya yang mengambil kredit kendaraan pribadi sedangkan penghasilan tetap pun belum ada. Dengan mengambil kredit memang membuat rakyat ekonomi menengah ke bawah mampu memiliki kendaraan, namun dengan mengambil kendaraan kredit maka ada pengeluaran rutin perbulan untuk cicilan dan pengeluaran harian untuk BBM. Contoh lainnya ialah "penyesakan" kota sehingga membuat "kampung" kehilangan produktifitasnya. Banyak rakyat di Indonesia yang selalu pergi ke kota dan tidak kembali ke kampungnya. Hal itu membuat kota menjadi semakin padat, lahan produktif pemkot terjejali oleh pendatang sehingga tidak maksimal dalam memanfaatkan lahan serta anggaran, dan membuat kampung kehilangan produktifitas sehingga kampung hanya menjadi "penyetor" sumber daya manusia bukan "penyetor" pendapatan negara. Selain itu, pendatang-pendatang yang kalah juang dalam persaingan di kota tidak segera pulang melainkan menetap dan menambah jumlah pengangguran.

Poin saya, kita perlu sadar diri akan kemampuan diri kita. Peluang untuk menyukseskan diri dapat diciptakan di kampung halaman sendiri. Dengan kampung yang produktif, maka kemungkinan impor Indonesia bisa saja berkurang. Untuk mendukung produktifitas kampung perlulah para ahli turun kampung dan membuat kampung binaan sehingga kampung pun mampu memberikan pendapatan bagi rakyatnya sendiri dan tidak sekedar mengirim sumber daya manusianya ke kota. Selain itu, dengan sadar diri maka ada satu kepastian pemerataan pembangunan di daerah-daerah. Pasalnya, dengan kembalinya orang-orang ke kampung dan membangun kampungnya denga produktifitasnya maka akan infrasturktur pun terbangun. Untuk sampai ke sana, jangan sekedar menyerahkan pada pemerintah daerah. Perlu sikap berdikari dari warga untuk membangun kampungnya sendiri.

Sudah saatnya rakyat Indonesia bangun dari kemanjaannya dan mulai berproduksi. Banyak peluang dan banyak kesempatan yang bisa dibuat. Jangan sekedar menunggu kesempatan ataupun mencari kesempatan, namun buat kesempatan. Sudah saatnya rakyat Indonesia kembali berdikari.

Selasa, 28 Mei 2013

Penggemar Cerdas Tanpa Bullying

Ajang pencarian bakat di manapun dan genre apapun akan menghasilkan seorang bintang yang nantinya akan bersaing di industri entertaintment. Bersinar atau tidaknya si pemenang atau para finalis ajang pencarian bakat tersebut berada di tangan orang tersebut. Hanya saja, bila pemenang dari ajang tersebut tidak berkenan di hati beberapa oknum penggemar maka orang yang memenangkan ajang tersebut akan habis "dilumat". Sungguh tidak manusiawi.

Padahal, di zaman sekarang hampir semua pencarian bakat yang disiarkan di televisi nasional bergantung pada penggemar atau penonton. Jadi, kemenangannya merupakan hasil dari tangan penggemar atau penonton juga. Meski demikian, banyak pula oknum yang kecewa tersebut menyatakan adanya konspirasi di balik voting melalui telepon atau sms tersebut. Selalu saja ada alasan yang dikemukakan untuk mendukung rasa kecewa "jagoannya" kalah.

Segala macam cara dilakukan para penggemar yang "jagoannya" kalah.  Salah satu cara yang paling kejam ialah bullying atau kekerasan tak langsung melalui media sosial. Mencerca, menghina, bahkan terkadang hingga menyinggung salah satu ras atau agama. Sisi bar-bar itu akan selalu keluar pada orang-orang yang hidupnya sebagai penggemar fanatik. Padahal, idola yang mereka usung tidak semua merasa dirugikan dengan keputusan yang diambil oleh penyelenggara ajang pencarian bakat itu. Penggemar-penggemar fanatik di Indonesia sudah pada taraf yang memprihatinkan.

Akhirnya, korbannya ialah orang-orang yang ada dalam ajang pencarian bakat, baik peserta, juri hingga orang-orang di balik layar. Padahal, apa yang mereka lakukan hanya untuk menyuguhkan sebuah pertunjukkan yang menghibur dan dapat membuat orang bisa melemaskan urat saraf dari kesibukan sehari-hari. Namun hal itu tidak bersambut baik, di mata para penggemar fanatik. Sungguh disesalkan.

Perseteruan Semu

Tindakan-tindakan semacam bullying dapat membuat mengubah seseorang, bahkan dapat berpotensi menyebabkan perseteruan antara dua orang atau sekelompok orang. Perputaran perseteruan yang diakibatkan oleh tindakan bullying hanya akan menyebabkan suatu perseteruan semu. Tak ada masalah utamanya, tak ada penyelesaian, dan tak ada pelaku utama. Hanya ada korban dan efek barbarisme massal.

Perseteruan semu antar penggemar fanatik hanya menjadi tontonan publik dan membuat publik semakin kehilangan simpatik pada idola para penggemar fanatik. Tindakan itu hanya akan merugikan sang idola dan membuatnya kehilangan kepercayaan publik. Bagi si penggemar fanatik, mungkin tidak akan terasa efeknya, namun bagi si idola akan dirugikan secara pencitraannya. Seberapapun idola tersebut berprestasi, publik akan selalu melihat kenegatifan penggemar fanatiknya. Akhirnya, idola tersebut benar-benar menjadi satu momok yang ditakuti atau dicibir bukan sebagai sosok yang memang bertalenta.

Entah para penggemar fanatik itu sadar atau tidak, namun, tindakan penggemar fanatik dengan bullying hanya akan berdampak negatif bagi idolanya. Semakin mereka barbar, maka semakin  menurunlah simpatik publik pada sang idola. Niatnya memang baik, menjadi barisan pembela idolanya, namun eksekusinya salah dan cenderung penuh emosi. Untuk membela idola tidak hanya diperlukan niat yang baik namun juga harus disertai tindakan yang tepat.

Bila bicara seada-adanya, maka penggemar fanatik yang "buta" itu hanya satu mekanisme pendorong penjajahan mental melalui ranah hiburan. Ketidaksadaran mereka akan tindakan mereka yang menunjukkan bahwa bangsa Indonesia masih merupakan bangsa inlander atau bangsa terjajah. Menggemari secara membabi-buta itu hanya mengakibatkan satu keruntuhan pondasi mentalitas. Adapun, penggemar seharusnya bisa berbuat selayaknya teman bagi idolanya. Teman yang saya maksud ialah menjadi wadah kritik bila idolanya berbuat salah dan menjadi bahan bakar semangat bila idolanya sedang menjalani atau menghadapi satu cobaan.

Akhir kata, hanya satu yang ingin saya ingatkan, yakni tindakan bullying di media sosial bukanlah tindakan yang tepat dan saya mengecamnya. Ada baiknya bila para penggemar mulai cerdas dan mampu bersikap tepat. Jangan terlalu terbuai pada sebuah fantasi sehingga meninggikan idolanya dan membuatnya seakan-akan melebihi apapun. Cukup menjadi teman bagi idolanya, maka idolanya pun akan selalu berprestasi dan gemilang di jagad industri hiburan tanah air.

Selasa, 26 Maret 2013

Pengembangan Dan Kemandirian Bangsa

Sekedar berbicara tentang keadaan saat ini jika sedikit banyaknya masyarakat kita sudah terkena distorsi pemikiran. Maksudnya, masyarakat kita sedang digiring oleh sekelompok oknum untuk bergerak di luar keinginannya sendiri. Alasan yang digunakan ialah kemiskinan, ketidakmerdekaan diri, dan lain sebagainya. Masalah-masalah semacam itu merupakan masalah yang sering diangkat untuk menggiring rakyat kepada opini segelintir kelompok saja.

Masyarakat seharusnya sadar, bahwa masalah yang diutarakan oleh sekelompok orang tersebut bukanlah sebuah msalah yang mewakili seluruh rakyat Indonesia. Masalah-masalah yang diangkat tersebut lebih cenderung merupakan masalah segelintir kelompok yang berupaya mengeneralisir dan membuat manja bangsa kita. Pertama, masalah kemiskinan merupakan masalah yang tidak dapat tuntas dengan membalikkan telapak tangan. Ada sebuah lubang yang memutus jembatan pengertian mengentaskan kemiskinan dengan memelihara kemiskinan. Hal yang harus diberikan kepada rakyat miskin bukanlah barang jadi yang hanya dapat dinikmati sekali saja, seperti sembako, harta benda, dan lain sebagainya. Hal yang harus diberikan ialah cara untuk menjadi pribadi yang produktif. Harus ada pendidikan untuk membuat bangsa Indonesia sebagai bangsa yang produktif.

Kedua, masalah memerdekakan diri. Untuk memerdekakan diri pada dasarnya mudah dilakukan namun sulit dijalani. Maksudnya, langkah awal untuk memerdekakan diri hanya perlu berani untuk memilih tindakan yang akan diambil, dengan mempertimbangkan baik buruknya. Memilih apa yang ingin dipilih, menjalankan apa yang ingin dijalankan merupakan tindakan yang merdeka bagi diri sendiri. Akan tetapi harus diingat bahwa saat melakukan tindakan yang merdeka hendaknya memahami betul konsekuensi dari tindakan tersebut sehingga tindakan yang dilakukan menjadi bertanggung jawab. Hal itulah, merdeka yang bertanggungjawab, merupakan hal yang sulit dilakukan. Pasalnya, untuk menyadari bahwa suatu tindakan dilakukan dengan tanggung jawab perlu adanya suatu konsistensi. Selain itu, pun harus memahami betul esensi dari merdeka atas diri sendiri. Hal itu perlu dipahami agar kemerdekaan atas diri sendiri tidak merugikan orang lain.

Memandirikan Bangsa

Sikap ketergantungan pada pemerintah merupakan sikap yang sering ditunjukkan oleh bangsa Indonesia. Selalu saja menyalahkan pemerintah atas beragam kebijakan yang dirasa merugikan. Namun, pernahkah kita memikirkan bahwa ketimpangan sosial ekonomi pada masyarakat adalah ulang masyarakat Indonesia sendiri. Bila saja mereka yang memiliki rejeki lebih tidak menonjolkan harta mereka, maka kecemburuan sosial tidak akan menyelimuti paham pemikiran rakyat yang lebih miskin. Dan, bila saja rakyat miskin mau berpikir lebih maju dan tidak bergantung pada pemerintah pusat mungkin ia akan lebih berguna untuk membangun desanya.

Langkah yang harus dilakukan masyarakat miskin, yang terlalu terpusat di Jakarta, adalah kembali ke kampung masing-masing. Banyak hal yang bisa dilakukan agar kampung menjadi lebih produktif. Keberadaan ibukota dan kota-kota besar tidak akan stabil tanpa adanya kampung-kampung yang produktif. Dengan memandirikan masyarakat kampung sehingga mau menggarap lahannya sendiri untuk suatu produktifitas maka perlahan-lahan akan membawa dampak kemandirian pada daerah lain dan perkotaan.

Kemandirian bangsa akan memacu tingkat produktifitas dan membuat negara lebih stabil secara sosial dan ekonominya. Pemerintah pun akan lebih menjadi perantara produk dalam negeri dan bukan sebagai pemasok impor. Segala krisis yang terjadi di Indonesia, seperti krisis bawang, cabe dan bahan pangan lainnya bisa ditanggulangi bila masyarakat Indonesia mau berpikir lebih mandiri mengonsep dan melakukan tindakan produktif. Suatu tindakan produktif jangan sekedar dilakukan dengan sembarangan tanpa ada sebuah rencana jelas. Misalnya, petani mulai berani mengemas produknya dengan kualitas dan packaging yang menarik sehingga pembeli pun tak ragu untuk membeli produk petani lokal.

Selain itu, harus ada pembiasaan pada benak bangsa Indonesia bahwa produk dalam negeri tak selalu buruk kualitasnya. Berani untuk menggunakan produk dalam negeri dan memasarkannya. Bila terdapat produk dalam negeri yang berkualitas buruk, sampaikan laporan kualitas tersebut pada perusahaan yang mengeluarkannya sehingga perusahaan juga dapat menindaklanjuti kekurangan kualitas produknya. Dengan kemandirian menggunakan produk dalam negeri maka akan semakin maju produk dalam negeri, dari segi kualitas dan packaging sehingga dapat bersaing pada pasar Internasional.

Mulai pembiasaan dari ketergantungan akan sesuatu. Berbuat lebih banyak dan berbagi lebih lagi. Kemandirian bangsa merupakan pondasi awal dari kemajuan suatu bangsa. Lihat saja Jepang, Korea Selatan dan India. Dengan komitmen kemandirian bangsa, maka sekarang ketiga negara tersebut cukup diperhitungkan dalam produk otomotif dan entertaintmentnya.

Minggu, 24 Februari 2013

Manusia Di Bumi

Manusia di bumi terlahir sama
Tak ada pembeda, meski berbeda
Semua sama, tak ada miskin atau kaya
Hanya satu pembeda
Cara menghidupi hidup dalam keunikan dunia

Manusia di bumi tercipta atas cinta
Buah cinta sepasang manusia
Dengan karunia Tuhan Maha Penguasa
Cinta yang tulus tiada tara
Murni, bila dijaga dengan nurani terdalam manusia

Manusia di bumi tercerahkan dari pengetahuan dunia
Ilmu dari buah pengalaman manusia
Pengetahuan dari tanda-tanda alam semesta
Diolah dalam konsep di kepala
Diujarkan dengan retorika

Manusia di bumi, keberagaman membentuk kesatuan semesta
Pondasi nafas hakiki kehidupan peradaban dunia
Baik yang kelam maupun bercahaya
Manusia adalah manusia
Dinamis dalam evolusi tak berhenti, berkutat penuhi jelujur konsep di kepala
Menuangkan dalam kanvas, ilmu baru terus lahir bergantian dalam tiap generasi manusia

Manusia di bumi
Makhluk mendekati
Kesempurnaan hakiki
Dengan dinamika kekurangan di satu hari
Dan kelebihan di lain hari
Manusia di bumi
Diciptakan untuk bermimpi
Berkreasi mewujudkan mimpi
Melalui ancangan imaji
Bukan sekedar kesenangan dalam fantasi

Manusia di bumi
Kebanggaan pertiwi
Buah hasil kimiawi
Diberkahi hati
Untuk digunakannya nurani
Dalam memandang kegoncangan yang menanti
Di depan nanti
Di masa depan yang dinanti
Manusia adalah makhluk terberkahi

Kamis, 21 Februari 2013

Hidup Seperti Berkendara Motor

Hidup itu memanglah tidak sederhana, tapi juga tidaklah sulit. Banyak yang menganggap bahwa hidup ideal itu adalah hidup dengan segala kerumitan bayang-bayang dari kesuksesan orang lain. Padahal, belum tentu cara seseorang untuk sukses cocok dengan orang lain. Patut dipahami bahwa manusia merupakan makhluk yang unik dan keunikan itulah yang membuatnya berbeda antar satu individu dengan individu lainnya.

Secara sederhana hidup itu ialah lahir, tumbuh, dewasa, tua, renta, dan mati. Dari hidup dan berakhir mati. Di antara sela-sela waktu hidup dan mati itulah, manusia bisa berbuat sesuatu untuk kehidupannya. Banyak hal yang bisa dilakukan dan hal yang dilakukan itu pun bisa mengantarkan diri menjadi sukses. Ada dua hal yang harus diingat bila ingin sukses, yakni konsisten dan presisten. Konsisten dengan jalan yang dipilih dan presisten dalam menjalaninya.

Bila dianalogikan, hidup itu seperti mengendarai sepeda motor. Saat sedang di jalan raya, seorang pengendara sepeda motor akan bermanuver sedemikian rupa untuk sampai pada tujuannya. Ada yang melanggar aturan demi mempersingkat waktu menuju tujuannya. Namun, bila mengendarai sepeda motor dengan cara tersebut memiliki resiko yang besar. Seperti, dapat terjadi kecelakaan, ditangkap oleh polisi, bersinggungan dengan pengendara lain kemudian berakibat baku hantam, dan lain sebagainya. Cara hidup seperti itu memang dapat mengantarkan diri kita lebih cepat pada impian yang diharapkan. Akan tetapi, dengan tidak menjalankan dan memaknai proses menuju kesuksesan, niscaya sukses yang diraih hanya kesuksesan semu. Sebuah kesuksesan yang tidak dapat abadi dan cenderung tidak stabil.

Cara berkendara yang kedua ialah berkendara sesuai peraturan, seperti menaati rambu lalu lintas, menggunakan perangkat keamanan yang benar, memperhatikan keadaan sepeda motor dan lain sebagainya. Dengan cara berkendara sesuai peraturan, setidaknya membuat si pengendara lebih aman ketika menuju tempat tujuannya. Selain itu, dalam bersiap-siap berkendara, untuk mematuhi aturan yang ada seorang pengendara akan menggunkan helm dan perangkat lainnya. Hal itu memang terkesan tidak praktis, namun ada sebuah proses untuk dapat mengendarai kendaraan. Proses itu kemudian, setidaknya, akan melindungi pengendara dari sebuah kecelakaan lalu lintas. Dalam kehidupan, persiapan atas segala sesuatu akan memudahkan seseorang untuk menghadapi kehidupannya sehingga bisa meminimalisir kemungkinan terburuk pada kehidupan yang dijalaninya.

Ketika berkendara, pasti seorang pngendara motor akan menghadapi jalan yang macet. Biasanya,  seorang pengendara motor akan bermanuver mencari celah di antara kendaraan lainnya untuk terus jalan sampai ke tujuannya. Ada yang berkelok-kelok hingga terkadang bersinggungan atau bahkan bertabrakan dengan pengendara lainnya, dan ada pula yang hanya mengikuti jalan di depannya meski harus rela terhimpit dan menunggu mobil bergerak. Kedua hal itu pun sama saja dengan kehidupan, untuk mencapai tujuan hidup maka manusia akan bermanuver sedemikian rupa. Baik dengan manuver yang cerdas maupun manuver yang culas. Terkadang, dalam bermanuver untuk mewujudkan apa yang dituju, ada saja kendalanya, baik kendala secara teknis maupun berurusan dengan orang lain. Atau, ada kalanya hanya mengikuti arus dan tidak melakukan manuver, hanya mengandalkan konsistensi dan presistensi pada apa yang sudah dimulai. Kedua hal tersebut lumrah saja dilakukan, bergantung pada manusianya yang melakukannya. Baik dan buruknya proses haruslah dipahami, setidaknya untuk sebuah pengalaman yang bisa digunakan untuk meminimalisir resiko.

Minggu, 10 Februari 2013

Keberagaman dan Pertahanan Mentalitas

Bicara keberagaman memang memiliki banyak pandangan dan pendapat. Ada yang berpendapat bahwa keberagaman merupakan cikal bakal keretakan kebersamaan, namun ada pula yang berpendapat bahwa keberagaman merupakan pondasi dari suatu kebersamaan yang abadi. Namun, terkadang pula keberagaman dijadikan alasan untuk melawan atau memanipulasi kenyataan. Sikap tersebut sangat tidak bijak, akan tetapi sering sekali digunakan.

Memang pada dasarnya, keberagaman merupakan unsur yang dapat menguatkan suatu kesatuan dan kebersamaan bila diposisikan dengan tepat. Maksudnya, keberagaman berisikan sebuah perbedaan antara satu individu dengan individu lainnya sehingga perbedaan-perbedaan tersebut dapat saling mengisi kekosongan atau kelemahan individu lainnya. Dengan pola pikiran semacam itu maka keberagaman berada pada posisi yang positif, sebagai lem yang menyatukan.

Ketika keberagaman dijadikan alasan untuk saling menyerang maka keberagaman berada pada posisis yang salah. Keberagaman bukanlah pisau yang dapat mengiris kebersamaan dan kesatuan. Penggunaan keberagaman sebagai alat untuk memecah merupakan cara picik karena tidak setiap individu diciptakan sama. Setiap individu diciptakan dengan segala bentuk perbedaan dan keberagaman. Tidak ada satu individu yang sama persis ataupun diupayakan untuk disamakan. Kehidupan bersama individu yang sama persis akan menjemukan dan menenggelamkan potensi unik dari masing-masing individu manusia.

Selain itu, hal yang sering terjadi ialah menjadikan keberagaman dan perbedaan menjadi sebuah persoalan yang terlihat besar. Padahal, hal itu bukan ancaman terbesar dalam kesatuan dan kebersamaan. Ancaman terbesar ialah runtuhnya kesatuan dan kebersamaan. Ibarat lidi, satu batang tidak akan mampu menyapu debu, namun bila lebih dari satu lidi disatukan dan dibuat menjadi sapu lidi maka akan mampu untuk menyapu debu.

Kondisi melihat keberagaman sebagai sebuah perbedaan merupakan sebuah strategi yang dilakukan oleh oknum-oknum tertentu bertujuan untuk mengecilkan bangsa Indonesia. Hal itu dilakukan karena Indonesia merupakan bangsa yang besar dan sangat berpotensi menunjukkan kedigdayaannya bila semua etnis yang ada di dalamnya dapat bersatu-padu. Bila ada oknum yang selalu menyerukan perbedaan dari keberagaman maka oknum tersebut haruslah dilawan. Hal itu perlu dilakukan agar bangsa ini tidak dijajah secara mentalitasnya.

Bila melihat keadaan saat ini, sudah barang tentu mentalitas bangsa Indonesia, khususnya generasi muda, sudah terkontaminasi oleh serangan budaya dari luar. Begitu derasnya serangan manipulatif tersebut sehingga membuat para pemuda melihat budaya ibu, budaya aslinya, sebagai suatu pemanis berdirinya negara yang bernama Indonesia. Hilangnya pemahaman nilai estetis, norma, etika dan etos budaya lokal mulai nampak perlahan. Memang, hal-hal tersebut bila terlalu dibuat dominan maka akan memunculkan keretakan. Akan tetapi, esensi budaya lokal memiliki dasar jati diri bangsa yang dapat saling berkomunikasi dan saling memahami. Karena keengganan untuk melihat budaya lokal sebagai sebuah pemersatu, maka budaya luarlah yang akhirnya mengisi fungsi tersebut dengan akhir ialah menyeragamkan nilai-nilai dalam mentalitas generasi muda dan memprogramnya sebagai generasi yang terjajah.

Perlu mulai dari saat ini, generasi muda dilatih pola pemikirannya, diberikan pembekalan dari pola penjajahan mentalitas. Perlindungan tersebut dapat dimulai dari hal yang paling sederhana, yakni mulai mengajarkan budaya ibu dan dasar budaya lokal pada para generasi muda. Mulai pengenalan dari bagaimana pola logika budaya lokal. Budaya lokal yang ada di Indonesia memiliki keunikan dalam pola regenerasinya. Pertahankan keunikannya namun kembangkan esensi fleksibilitasnya sehingga dapat terjadi sebuah komunikasi budaya antar budaya lokal di Indonesia. Dengan cara itu, perlahan namun pasti generasi muda di Indonesia dapat diselamatkan dari penjajahan mentalitas dari budaya luar.

Sabtu, 09 Februari 2013

Mengendarai Bukan Sekedar Membawa Kendaraan

Bila menengok ke jalan raya di Jakarta, banyaklah pengendara kendaraan bermotor yang melajukan kendaraannya dengan sembrono. Hampir semua yang melajukan kendaraannya, baik kendaraan pribadi maupun umum atau beroda empat maupun beroda dua, saling berpacu layaknya sedang ada di sirkuit balap. Sebenarnya, semua yang berkendara itu mengerti cara mengendarai kendaraan atau cuma sekedar "bisa membawa" kendaraannya.

Harusnya, setiap pengendara kendaraan bermotor tersebut memahami perbedaan antara sekedar "membawa" kendaraannya dengan "mengendarai" kendaraannya. Kedua hal itu sangatlah berbeda dan tidak bisa disamakan.Siapapun yang sudah mengerti mekanisme kendaraan bermotor dan dapat menjalankannya maka ia dapat dikatakan mampu "membawa" kendaraan. Dikatakan demikian karena, bila sekedar menjalankan kendaraan dan tidak menjalankannya dengan tata pikiran, maka akan lebih mengedepankan ego pribadi di jalan raya dan terkadang dapat membuat suatu kecelakaan bermotor.

Sekedar bisa "membawa" membuat seseorang tidak dapat berpikir mengenai keselamatan diri sendiri dan orang lain sesama pengguna fasilitas jalan raya. Tidak bisa teratur, terutama jika lampu lalu lintas tidak ada ataupun sedang rusak. Kendaraan akan lebih mengedepankan egonya dan memacu kendaraan agar diri mereka sendiri dapat sampai ke tujuan. Keadaan seperti itu biasanya sering dilakukan oleh pengendara sepeda motor.

Pengendara sepeda motor banyak yang hanya sekedar bisa "membawa" kendaraannya. Karena bentuk kendaraannya yang ringkas, banyak yang menyepelekan aturan-aturan yang diwajibkan bagi pengendara kendaraan sepeda motor. Hal yang sering terjadi dan dapat membahayakan ialah melawan arus laju kendaraan. Biasanya hal itu dilakukan oleh pengendara motor untuk mempersingkat waktu perjalanannya. Namun, hal itu pada dasarnya dapat merenggut nyawa pengendaranya.

Jenis pelanggaran lainnya yang sudah universal di Indonesia ialah dapat terlihat dari pengendara angkutan umum. Para supir kendaraan umum biasanya sering saling serobot dan tidak mengindahkan pengendara lainnya. Terkedang mereka berhenti mendadak, tanpa lamu sen, ataupun melajukan kendaraannya dengan kencang. Hal itu, menurut saya, sangat mengganggu sehingga saya mengandaikan bila ada sebuah revolusi sistem perhubungan di Indonesia. Sebenarnya, kesalahan itu pun tidak hanya salah supir, namun juga penumpangnya, pasalnya para penumpang juga dengan senang hati menghentikan kendaraan angkutan umum di sembarang tempat. Namun, hampir mayoritas tingkah laku seperti itu ada di seluruh Indonesia dan sangat membahayakan.

Kebiasaan-kebiasaan itu sudah mendekati tradisi berkendara di Indonesia. Pasalnya, hampir di setiap daerah memiliki beberapa kebiasaan yang disebutkan di atas. Pengendara hanya sekedar bisa "membawa" kendaraan dan tidak menghiraukan nyawanya ataupun nyawa orang lain pengguna jalan raya. Seharusnya, para pengendara kendaraan bermotor mengerti bagaimana "mengendarai" kendaraannya, yakni mampu menjalankan kendaraannya dengan memahami betul resiko dan kosekuensinya serta memahami betul etika dalam berkendara.

Ketika sedang mengendarai kendaraan, harus dipahami resikonya, yakni pertama ditabrak atau menabrak. Di jalan raya, seorang pengendara harus siap mental untuk ditabrak atau menabrak. Maksudnya ialah pengendara harus mampu mewaspadai diri dalam berkendara. Harus dapat mendahulukan akal ketimbang ego. Dengan bersikap demikian, maka seorang pengendara setidaknya akan sedikit membantu polisi lalu lintas. Karena, bila kita bisa membaca keadaan jalan raya dan bersikap tepat di jalan raya maka ketika berkendara kita akan mengurangi jumlah pelanggaran dan kecelakaan.

Hal kedua ialah siap mematuhi aturan dan menjalankannya. Hal itu adalah hal yang paling sulit dilakukan oleh seorang pengendara. Karena, terkadang aturan bertentangan dengan maksud tujuan si pengendara. Misalnya, seorang pengendara sepeda motor akan lebih memilih untuk melawan arus laju kendaraan daripada harus memutar jauh untuk sampai ke tmpat tujuannya. Maksud dan tujuan si pengendara ialah untuk sampai lebih cepat ke tempat tujuan. Namun, untuk menjalankan maksud dan tujuannya banyak hal yang ia pertaruhkan, terutama nyawanya. Aturan memutar itu akan dipandang tidak dapat memenuhi maksud dan tujuan si pengendara, karena akan memakan waktu lebih banyak ketimbang melawan arah. Tapi, dengan memutar hanya sedikit hal yang dipertaruhkan, cenderuh mendekati nol persen untuk hal yang dipertaruhkan, kecuali adanya human error di jalan raya.

Ketiga, menggunakan fungsi mekanisme kendaraan dengan semestinya. Seorang pengendara haruslah mengerti fungsi-fungsi mekanisme kendaraannya. Seperti, lampu sen digunakan untuk menandakan si pengendara hendak berbelok ke kanan ataupun ke kiri. Contoh lainnya ialah seorang pengendara harus tahu fungsi klakson kendaraannya bukan sekedar digunakan sebagai penanda kemarahan atau pada kendaraan lainnya. Dengan mengetahui fungsi-fungsi mekanisme kendaraan maka akan membantu pengendara untuk "mengendarai" kendaraannya agar selamat dari kecelakaan dan membantu pengendara lain untuk berkendara lebih waspada.

Ketiga hal tersebut merupakan hal dasar dalam "mengendarai" kendaraan dan bukan sekedar "membawa" kendaraan. Dengan menjalankan ketiga hal itu, setidaknya kita akan lebih berhati-hati. Untuk berkendara dengan aman mungkin harus lebih mengikuti tata aturan safety riding yang seri digaungkan oleh para klub motor bersama dengan kepolisian lalu lintas. Setidaknya, ketiga hal dasar yang ada dalam tulisan ini bisa mengantarkan kepada pemahaman "mengendarai" kendaraan dan bukan sekedar "membawa" kendaraan.