Ingin aku mencoba
Menjadi air yang mengalir
Namun selalu berakhir jadi limbah
Ingin aku mencoba
Menjadi udara yang berhembus
Namun selalu berkelok bagai asap polusi
Ingin aku mencoba
Menjadi pupuk yang tertanam
Namun selalu mengendap jadi racun kimiawi
Belumlah aku menemukan
Jadi apakah aku ini
Menjadi nafas bagi kehidupan
Atau menjadi arit yang mengambil kehidupan
Rabu, 05 Desember 2012
Diskusi Pada Debu 1
Terkadang terpikir olehku
Bagaimana bisa bumi berputar pada porosnya?
Tanpa aku merasakan pergerakannya
Dan hanya bumi, tumbuhan, serta binatang yang mampu merasakannya
Apakah aku ada di bumi?
Atau sekedar rekayasa?
Tak pernah terpikir lelah olehku
Hanya sekelebatan dan pergi bersama angin
Begitu pula dengan hasrat
Betapa aku tak pernah tahu apa itu hasrat
Bentuk rupanya, datang dan perginya
Datang tidak ada tanda, pergi pun sekenanya
Hanya dedaunan runtuh yang selalu menyadarkan aku
Bahwa aku nyata, dapat menggenggamnya
Meski akhirnya aku menghancurkan daun runtuh itu
Dalam genggaman setengah lembut kekuatannya
Berpalang pada tanya dan bersanggah pada seru
Aku menikmati dan melarikan diri
Dari makna keberadaanku
Di atas bumi yang berputar pada porosnya
Bagaimana bisa bumi berputar pada porosnya?
Tanpa aku merasakan pergerakannya
Dan hanya bumi, tumbuhan, serta binatang yang mampu merasakannya
Apakah aku ada di bumi?
Atau sekedar rekayasa?
Tak pernah terpikir lelah olehku
Hanya sekelebatan dan pergi bersama angin
Begitu pula dengan hasrat
Betapa aku tak pernah tahu apa itu hasrat
Bentuk rupanya, datang dan perginya
Datang tidak ada tanda, pergi pun sekenanya
Hanya dedaunan runtuh yang selalu menyadarkan aku
Bahwa aku nyata, dapat menggenggamnya
Meski akhirnya aku menghancurkan daun runtuh itu
Dalam genggaman setengah lembut kekuatannya
Berpalang pada tanya dan bersanggah pada seru
Aku menikmati dan melarikan diri
Dari makna keberadaanku
Di atas bumi yang berputar pada porosnya
Konsep Perempuan Ideal Dalam Lirik Lagu “Mahadewi” Karya Grup Musik Padi
Musik
sudah menjadi bagian yang tidak terlepaskan dalam kehidupan manusia. Musik
dinikmati dan menjadi sebuah wadah untuk merelaksasikan diri. Di Indonesia,
terdapat banyak pemain musik—baik bermain secara individu atau bermain dalam
satu grup—yang memberikan cita warna pada khasanah dunia musik Indonesia, salah
satunya ialah grup musik Padi.
Padi
merupakan grup musik asal Indonesia yang berdiri pada tanggal 8 April 1997.
Semula, grup musik tersebut bernama “Soda” yang dibentuk sebagai wadah
kreatifitas mahasiswa Universitas Airlangga (Unair), Surabaya. Grup musik
tersebut beranggotakan lima personel yaitu Andi Fadly Arifuddin
(Fadly, Vokalis), Satriyo Yudhi Wahono (Piyu, Gitar), Ari Tri Sosianto (Ari,
Gitar), Rindra Risyanto Noor (Rindra, Bass), dan Surendro Prasetyo (Yoyok,
Drum). Nama “Soda” kemudian berganti
menjadi Padi dengan filosofi membumi sehingga dapat berketerima di masyarakat
Indonesia.
Dalam kancah dunia industri musik Indonesia,
Padi telah menelurkan lima album, yakni Lain
Dunia (1999), Sesuatu Yang Tertunda (2001), Save My Soul (2003), Padi: Self
Titled (2005), dan Tak Hanya Diam
(2007). Kekuatan Padi dalam setiap lagunya ialah pada liriknya. Hal itu
berkaitan dengan prinsip mereka mengedepankan lirik sebagai kekuatan musik
mereka.[1]
Dengan demikian, fokus utama Padi dalam membuat lagunya ialah pada liriknya.
Kekuatan lirik Padi tersebut dapat
terlihat dalam salah satu lagunya yang berjudul “Mahadewi” yang terdapat dalam
album Lain Dunia. Dalam lirik lagu
tersebut berisi tentang kisahan seorang pria yang sedang jatuh cinta kepada
seorang perempuan yang diibaratkan sebagai seorang dewi. Secara tema, lagu
tersebut berisikan tentang cinta, namun konteks dalam lagu tersebut lebih dari
sekedar cinta. Ada sebuah konsep tentang keidealan seorang perempuan.
Untuk menganalisis lirik lagu
tersebut, saya menggunakan teori Semiotik Struktural. Hal itu saya lakukan karena diksi (kata) dalam lirik merupakan tanda[2]
yang bermakna dan makna tersebut tersirat dalam struktur lirik lagu tersebut. Pemaknaan tanda tersebut juga tidak
berhenti pada pemaknaan denotasi semata, melainkan juga makna konotasinya.
Konsep Perempuan Ideal dalam Lirik Lagu Mahadewi
Mahadewi merupakan lagu ciptaan dari Piyu dan Rindra.
Lagu tersebut terdapat dalam album Lain
Dunia (1999). Dalam lirik lagu tersebut terdapat konsep perempuan ideal.
Hal itu dapat terlihat dari diksi yang terdapat dalam judul, yakni Mahadewi.
Kata tersebut terdiri dari kata maha dan
dewi. Kata maha memiliki makna leksikal ‘amat; yang teramat (KBBI, 2008:
964)’, sedangkan dewi bermakna
leksikal ‘dewa perempuan; perempuan yang cantik; jantung hati (KBBI, 2008:
350). Kedua kata tersebut membentuk satu kata mahadewi yang memiliki makna leksikal ‘sebutan bagi seorang putri
atau permaisuri (KBBI, 2008: 968)’. Dalam lirik tersebut, kata mahadewi berada pada konotasinya, yakni
‘perempuan terindah’.
Konsep perempuan ideal dalam lagu Mahadewi terdapat pada penandaan di
dalam lirik-liriknya yang saling terkait pada judulnya. Konsep perempuan ideal
pertama terdapat dalam bait pertama. Dalam bait tersebut, penanda mengenai
konsep perempuan ideal ada pada baris kedua dan ketiga. Berikut penggalan bait
tersebut:
Bertahta bintang-bintang
angkasa
Namun satu bintang yang
berpijar
Dalam penggalan
tersebut, terdapat personifikasian[3]
perempuan. Personifikasian tersebut terdapat pada kata bintang. Secara leksikal, bintang
memiliki makna ‘benda langit yang terdiri dari gas menyala seperti
matahari, terutama tampak pada malam hari (KBBI, 2008: 203)’. Makna konotasi
yang muncul dari kata tersebut ialah ‘perempuan cantik’. Hal itu dikarenakan
kata bintang mengacu kepada makna
kata mahadewi pada judul, bahwa
perempuan yang seperti seorang dewi adalah perempuan yang cantik.
Konsep
kecantikan perempuan tersebut bukan pada tataran fisik semata. Hal itu
disebabkan keterkaitan kata bintang dengan
susunan kata pada baris ketiga, yakni namun
satu bintang yang berpijar. Keterkaitan itu membentuk makna konotasi
‘perempuan cantik adalah perempuan yang memiliki kelebihan’. Penanda yang
memunculkan konteks makna itu ialah kata pijar
‘memerah kekuning-kuningan menyala karena terbakar (KBBI, 2008: 1180)’. Bintang
yang menyala akan berbeda dengan bintang yang tidak menyala, karena bintang
menyala memiliki kelebihan sehingga menyala.
Konsepsi
tersebut juga terdapat dalam salah satu tokoh wayang yang berasal dari kisah
Mahabarata, yakni Dewi Sumbadra/Subadra. Dalam Mahabarata, Dewi Sumbadra
diibaratkan sebagai perempuan yang memiliki kelebihan dari perempuan lainnya.
Hal itu dapat terlihat dalam Ensiklopedi
Wayang (Widyawati R, 2009: 791):
Rara
Ireng ialah putri Prabu Basudewa, raja negara Madura. Ia adalah titisan Dewi
Sri, yakni Dewa perempuan imbangan Hyang Wisnu. Sesudah dewasa, Rara Ireng
bernama Dewi Wara Sumbadra[...]
[...]Tersebut di dalam cerita, Rara
Ireng tak begitu cantik, tetapi kalau berkumpul dengan putri-putri yang
tersohor cantiknya, Rara Ireng melebihi kecantikan mereka semua.
Dari
penjelasan tersebut, Dewi Sumbadra atau Rara Ireng dapat bersinar dari
perempuan lainnya yang lebih cantik darinya. Ada hal yang membuat Dewi Sumbadra
memiliki kelebihan dari sifatnya yang setia dan pengertian.[4]
Konsepsi tersebut menandakan bahwa Dewi Sumbadra lebih bersinar dari perempuan
lainnya karena memiliki kelebihan. Dengan demikian, konsep perempuan ideal pada
bait pertama mengacu kepada konsep Dewi Sumbadra.
Konsep perempuan ideal kedua dalam
lagu Mahadewi nampak pada bait kedua.
Berikut penggalan lirik yang berisikan konsepsi tersebut:
Ada tutur kata
terucap,
Ada damai yang
kurasakan
Dalam dua
baris tersebut konsepsi sikap seorang perempuan. Hal itu nampak pada kata tutur ‘ucapan; kata; perkataan (KBBI,
2008: 1765)’ dan kata damai ‘tak ada
perang; aman; tentram; tenang; keadaan tidak bermusuhan (KBBI, 2008: 309)’.
Kedua kata tersebut mengacu kepada sikap kesopanan dan keramahan. Munculnya
konsep itu didasari analogi dalam tuturan atau cara bicara yang sopan dan ramah
dapat memberikan rasa nyaman (damai/tentram) pada orang lain.
Dalam bait kedua tersebut juga
terdapat konsep lainnya. Berikut penggalan liriknya:
Bila sinarnya
sentuh wajahku,
Kepedihanku pun... terhapuskan
Konsepsi
perempuan ideal dalam baris ketiga dan keempat bait kedua tersebut menyangkut
tentang pola hubungannya dengan lawan jenisnya. Dalam penggalan di atas
terdapat penanda-penanda yang mengarah kepada konsepsi tersebut. Penanda
pertama ialah kata sinar yang
merupakan kata dasar dari kata sinarnya. Kata
sinar bermakna ‘pancaran terang
(cahaya) (KBBI, 2008: 1456)’. Kata tersebut kemudian memiliki makna konotasi
karena memiliki keterkaitan konsep dengan kata pijar pada bait pertama baris ketiga. Makna konotasi kata sinar ialah ‘kelebihan atau keunggulan’.
Penanda kedua ialah kata kepedihanku yang
memiliki kata dasar pedih ‘rasa sakit
seperti luka dicuci dengan sublimat (zat pembunuh kuman) (KBBI, 2008: 1138)’.
Dan, penanda ketiga ialah kata terhapuskan
yang berasal dari kata hapus ‘hilang;
musnah; diampuni (KBBI, 2008: 523)’.
Ketiga penanda tersebut membentuk
sebuah makna baru, yakni ‘sebuah keunggulan yang dapat menghapuskan rasa
pedih’. Dengan demikian, seorang perempuan harus memiliki keunggulan yang dapat
menghapuskan rasa pedih dan sedih dari orang lain—terutama untuk pasangannya.
Keunggulan tersebut dapat tercermin dalam sikap dewasa dalam mendengarkan orang
lain dan mampu menjadi teman berbagi dalam suka maupun duka. Dengan kata lain,
seorang perempuan ideal harus mempunyai pola pikir dewasa dan dapat menjadi
teman berbagi.
Konsep perempuan ideal keempat dapat
terlihat pada bait keempat. Berikut penggalan lirik pada bait ketiga yang
memiliki konsep perempuan ideal:
Alam raya pun semua tersenyum
Penanda yang
memberikan pandangan tentang konsep perempuan dalam penggalan di atas terdapat
pada kata alam, raya, tersenyum,
merunduk, dan memuja. Kata alam ‘dunia; kerajaan (daerah, negeri);
semua yang ada di langit dan di bumi; segala sesuatu yang termasuk dalam satu
lingkungan dan dianggap sebagai satu keutuhan; segala daya yang menyebabkan
terjadinya dan seakan-akan mengatur segala sesuatu yang ada di dunia ini (KBBI,
2008: 34)’ dan kata raya ‘besar
(KBBI, 2008: 1272)’ membentuk sebuah makna konotasi, yaitu ‘orang-orang di
sekitar’. Makna itu muncul disebabkan personifikasi dari kedua kata tersebut
yang dimunculkan oleh keterkaitannya dengan kata tersenyum ‘memberikan senyum; tertawa dengan tidak bersuara (KBBI,
2008: 1419)’.
Konsep yang muncul pada penggalan
lirik itu ialah konsep perempuan yang mampu membuat orang-orang di sekitarnya
tersenyum. Untuk mampu membuat orang tersenyum, maka seseorang harus berbuat
yang menyenangkan dan selalu melakukan kebaikan. Selain itu, untuk dapat
membuat orang lain tersenyum, orang harus mampu membaca keadaan dan mampu
menempatkan diri. Hal itu sama seperti konsep yang diangkat dalam peribahasa
Jawa yaitu empan papan. Dalam Pitutur Adilihur: Ajaran Moral dan Filosofi
Hidup Orang Jawa, penjelasan empan
papan ialah sebagai berikut (Tartono, 2009: 149):
Empan artinya pas; tepat benar. Papan berarti tempat lokasi atau area. Empan papan, tempat yang pas benar, adalah ungkapan yang
dimaksudkan sebagai nasehat agar orang mau menempatkan diri dengan benar.
Tatkala berada di suatu daerah, atau berhadapan dengan suatu adat atau tradisi
tertentu, atau tatkala menghadapi suatu persoalan, sungguh memperhitungkan
kondisi dan situasi dengan cermat. Jangan asal omong, jangan asal bertindak.
Hendaknya itu dilakukan sesuai dengan tuntutan dan tuntunan setempat.
Konsep empan papan tersebut tidak lepas dari
latar budaya pencipta lirik lagu ini—Piyu dan Rindra—yang merupakan orang Jawa.
Jadi, dengan kata lain seorang perempuan ideal harus mampu menyenangkan dan
mampu untuk menempatkan diri dengan benar.
Penanda konsep perempuan ideal
selanjutnya ada pada bait keempat dan kelima. Dalam kedua bait tersebut terdapat
susunan kata yang sama. Berikut penggalan susunan kata yang terdapat pada bait
keempat dan kelima:
Mahadewi
resapkan nilainya,
Dalam
penggalan tersebut memiliki pemahaman bahwa seorang Mahadewi harus mampu
meresapkan nilai-nilainya. Kata nilai beberapa
makna leksikal ‘harga (dalam arti taksiran harga); harga uang; angka
kepandaian; banyak sedikitnya isi; sifat-sifat (hal-hal) yang penting atau
berguna bagi manusia (KBBI, 2008: 1074)’. Namun, dalam lirik tersebut, makna
yang dimaksud ialah ‘sifat-sifat (hal-hal) yang penting atau berguna bagi
manusia’. Sifat penting yang dimaksud berkaitan dengan pola pikir dan ideologi.
Dapat dikatakan bahwa seorang
perempuan yang ideal harus memiliki ideologi yang kuat sehingga ia mampu
bertahan dalam arena kontestasi di masyarakat. Perempuan harus mampu
menggunakan kemampuannya untuk mampu bertahan dan bersaing demi mendapatkan
posisi yang lebih baik. Selain itu, perempuan juga harus melesapkan
ideologi-ideologinya dalam masyarakat, sehingga pemikirannya mampu sejalan
dengan dinamika sosial masyarakatnya.
Kesimpulan
Lirik lagu Padi yang berjudul Mahadewi merupakan lagu yang bertemakan cinta seorang pria dan
perempuan. Namun, lirik tersebut juga terdapat hal yang lebih dalam lagi. Lagu
tersebut memiliki konsepsi-konsepsi mengenai perempuan ideal. Konsep-konsep
tersebut muncul dalam pemaknaan diksi dan majas yang muncul dalam bait-bait
liriknya.
Dalam lirik lagu tersebut terdapat
lima konsep perempuan ideal. Pertama, perempuan diharapkan memiliki kelebihan
yang membedakan dirinya dengan perempuan lainnya. Konsep tersebut
berkesinambungan dengan konsep perempuan dalam salah satu tokoh wayang Jawa,
yaitu Dewi Sumbadra. Kedua, perempuan diharapkan mampu bersikap sopan dan ramah
sehingga dapat membuat orang lain nyaman di dekatnya. Ketiga, perempuan
diharapkan mampu bersikap dewasa dan menjadi tempat berbagi sehingga dapat
menjadi teman yang baik bagi seseorang. Keempat, perempuan diharapkan mampu
menempatkan diri sehingga keberadaannya dapat menyenangkan orang lain. Dan, kelima,
perempuan diharapkan memiliki pola pikir dan ideologi yang mampu melesapkan
ideologi-ideologinya sehingga mampu membuat sebuat kedinamikaan dalam
masyarakatnya.
Konsep-konsep tersebut tidak
terlepas dari latar budaya dari penciptanya—Piyu dan Rindra. Keduanya ialah
berasal dari etnis Jawa, sehingga konsep-konsep perempuan Jawa ada dalam lirik
lagu tersebut. Dapat dikatakan bahwa konsep perempuan ideal tersebut—sedikit
banyaknya—terpengaruh oleh konsepsi perempuan ideal Jawa.
Daftar Pustaka
Barthes,
Roland. 1972.
Mythologies. New York: The Noonday
Press.
Hoed, Benny H. 2011. Semiotik & Dinamika Sosial Budaya. Depok:
Komunitas Bambu.
Keraf, Gorys. 2008. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia.
Smith,
Philips. 2001. Cultural Theory: An
Introduction. Oxford: Blackwell Publisher.
Tartono, St. S. 2009. Pitutur Adiluhur: Ajaran Moral dan Filosofi
Hidup Orang Jawa. Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama.
Tim Penyusun.
2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:
Balai Bahasa.
Widyawati R,
Wiwien. 2009. Ensiklopedi Wayang.
Yogyakarta: Pura Pustaka.
Website
http://info-biografi.blogspot.com/2010/04/biografi-band-padi.html
diakses pada tanggal 1 Juni 2012, jam 9.21 WIB.
[1] http://info-biografi.blogspot.com/2010/04/biografi-band-padi.html
diakses pada tanggal 1 Juni 2012, jam 9.21 WIB.
[2] Tanda merupakan semua hal yang
hadir dalam kehidupan manusia yang harus diberi makna. Benny H Hoed. Semiotika & Dinamika Sosial Budaya. (Depok:
Komunitas Bambu, 2011). Hlm. 3.
[3] Personifikasi
adalah semacam gaya bahasa kiasan yang menggambarkan benda-benda mati atau
barang-barang yang tidak bernyawa seolah-olah memiliki sifat-sifat kemanusiaan.
Gorys Keraf. Diksi dan Gaya Bahasa. (Jakarta:
Gramedia, 2008). Hlm. 140.
Minggu, 02 Desember 2012
Sendu 1
Bermukim pada kedukaan
Bukan sebuah kenangan antara hidup dan mati
Berjalan di atas titian kepekaan
Bukan sebuah paksaan memahami
Senja dan subuh
Di antara perantara waktu dunia
Leleh dan luluh
Bersenda gurau dalam kelangkaan kemanusiaan
Pohon layu dan bibit tumbuh
Waktu berjalan, waktu berlalu
Sunyi dan ramai pun bersebrangan
Hanya selalu bersandingan sambil lalu
Bernadi di atas tubuh
Dunia bermandikan sahaja kedukaan semu
Sampai nanti, sampai tubuh ini luluh
Hanya kepada angin dan awan
Cerah hari akan ku bagikan
Bukan sebuah kenangan antara hidup dan mati
Berjalan di atas titian kepekaan
Bukan sebuah paksaan memahami
Senja dan subuh
Di antara perantara waktu dunia
Leleh dan luluh
Bersenda gurau dalam kelangkaan kemanusiaan
Pohon layu dan bibit tumbuh
Waktu berjalan, waktu berlalu
Sunyi dan ramai pun bersebrangan
Hanya selalu bersandingan sambil lalu
Bernadi di atas tubuh
Dunia bermandikan sahaja kedukaan semu
Sampai nanti, sampai tubuh ini luluh
Hanya kepada angin dan awan
Cerah hari akan ku bagikan
Rabu, 21 November 2012
Balada Rindu Bumi
Senda gurau malam pada sang rumput
Menandakan harmoni yang selaras keindahannya
Nostalgia mentari pada sang langit
Menandakan cumbu rayu dunia pada kenikmatannya
Bahu-membahu petir dan hujan
Memberikan sebuah jejak kehidupan
Kehadiran mereka, hanya sesaat
Di kala awan sedang bersenang-duka
Perlu diingatkan angin, bahwa bumi sudah tak kuasa rindu
Pada celoteh bintang yang kian meniris
Sudikah asteroid-asteroid itu menyampaikan rindu bumi pada bintang?
Harusnya, mereka sudi, karena bumi tak bisa sampaikannya sendiri
Menandakan harmoni yang selaras keindahannya
Nostalgia mentari pada sang langit
Menandakan cumbu rayu dunia pada kenikmatannya
Bahu-membahu petir dan hujan
Memberikan sebuah jejak kehidupan
Kehadiran mereka, hanya sesaat
Di kala awan sedang bersenang-duka
Perlu diingatkan angin, bahwa bumi sudah tak kuasa rindu
Pada celoteh bintang yang kian meniris
Sudikah asteroid-asteroid itu menyampaikan rindu bumi pada bintang?
Harusnya, mereka sudi, karena bumi tak bisa sampaikannya sendiri
Minggu, 12 Agustus 2012
Jejak Kehidupan (2)
Biarkan senja menjadi narator kenangan kita bersama
Biarkan ia membacakan bait-bait keberadaan kita
Agar dunia mengerti, betapa jalur kehidupan kita
Bertemu dalam sebuah rangkulan hangat, sebuah bukti kita keluarga
Candamu, menjadi awan teduh bagiku
Candaku, menjadi angin sejuk bagimu
Kebahagiaan hakiki, kebahagiaan bersama
Sedihmu, menjadi sesak di hatiku
Sedihku, menjadi peretak di hatimu
Kesedihan hakiki, kesedihan berpeluk kasih
Bilamana hari itu datang
Biarkan senja mengisahkan kisah kita
Pada generasi mendatang
Agar kebersamaan ini menjadi abadi dalam kebersamaan mereka
Tiada awan kelabu mampu palingkan ikatan ini
Tiada badai berdecit mampu putuskan genggaman tangan ini
Karena aku dan engkau, berpeluh bersama dalam kesenangan dan kedukaan
Saling memaknai maksud keberadaan diri dalam keberbedaan
Biarkan ia membacakan bait-bait keberadaan kita
Agar dunia mengerti, betapa jalur kehidupan kita
Bertemu dalam sebuah rangkulan hangat, sebuah bukti kita keluarga
Candamu, menjadi awan teduh bagiku
Candaku, menjadi angin sejuk bagimu
Kebahagiaan hakiki, kebahagiaan bersama
Sedihmu, menjadi sesak di hatiku
Sedihku, menjadi peretak di hatimu
Kesedihan hakiki, kesedihan berpeluk kasih
Bilamana hari itu datang
Biarkan senja mengisahkan kisah kita
Pada generasi mendatang
Agar kebersamaan ini menjadi abadi dalam kebersamaan mereka
Tiada awan kelabu mampu palingkan ikatan ini
Tiada badai berdecit mampu putuskan genggaman tangan ini
Karena aku dan engkau, berpeluh bersama dalam kesenangan dan kedukaan
Saling memaknai maksud keberadaan diri dalam keberbedaan
Jejak Kehidupan (1)
Suara-suara yang bergumul dalam benak
Saling berpeluh dalam jenuh sejenak
Palung kehidupan yang berorasi
Di tiap jengkal selaksa nafas hakiki
Perlahan hutan pun berdendang
Mengumandangkan seru-seru kehidupan
Benak yang dianugerahi perlu bersenang
Agar penat jenuh berlalu dengan kelegaan
Kumandang hutan bermakna jejak di atas bumi
Berdecak kagum pada goresan tarian pena
Dari jemari manusia mengukir kisah terkasihi
Di dalam aliran kenangan hati
Serukanlah, walau hanya sedetik
Kumandang itu, agar se-antero jagad memaknainya
Menjadi sebuah kisahan termegah dan terbaik
Menjadi jelmaan kisah hidup yang terus terpandangi di antara jejak lainnya
Serukanlah, walau hanya dengan sejengkal suara
Kumandangkan itu, agar dirimu tak menyesal nantinya
Bilamana nafasmu sudah beradu di peraduan nyawa
Bilamana belum sempatlah dirimu mengabadikan bukti dirimu ada di dunia
Saling berpeluh dalam jenuh sejenak
Palung kehidupan yang berorasi
Di tiap jengkal selaksa nafas hakiki
Perlahan hutan pun berdendang
Mengumandangkan seru-seru kehidupan
Benak yang dianugerahi perlu bersenang
Agar penat jenuh berlalu dengan kelegaan
Kumandang hutan bermakna jejak di atas bumi
Berdecak kagum pada goresan tarian pena
Dari jemari manusia mengukir kisah terkasihi
Di dalam aliran kenangan hati
Serukanlah, walau hanya sedetik
Kumandang itu, agar se-antero jagad memaknainya
Menjadi sebuah kisahan termegah dan terbaik
Menjadi jelmaan kisah hidup yang terus terpandangi di antara jejak lainnya
Serukanlah, walau hanya dengan sejengkal suara
Kumandangkan itu, agar dirimu tak menyesal nantinya
Bilamana nafasmu sudah beradu di peraduan nyawa
Bilamana belum sempatlah dirimu mengabadikan bukti dirimu ada di dunia
Rabu, 08 Agustus 2012
Mimpi Yang Sempurna
Manusia hidup bersama mimpinya. Manusia hidup dengan menghidupi mimpinya.
Mimpi menjadi bahan bakar menuju sebuah kebanggaan seorang manusia. Malam
menjadi bunga sketsa merancang mimpi dan pagi menjadi arena pertarungan untuk
mewujudkan mimpi. Tak pelak, deru nafas yang berjenjang ini selalu aku
mempercayai mimpi.
Rasa percayaku akan mimpi bermula dari dongeng seorang kakek penjaga
sekolahku, Pak Sugiman namanya. Asal Kebumen, beranak tiga, dan ia membesarkan
anak-anaknya sendiri karena istrinya meninggal setelah kelahiran anak
ketiganya. Persahabatanku dengan Pak Giman, panggilan akrab Pak Sugiman,
berawal kala aku menginjak kelas 1 SMA. Saat itu, aku tengah duduk berpangku di
sudut tangga sekolah, menahan isak tangis karena sekelompok teman-teman sekelas—yang
merupakan anak bengal di kelas—memperolok diriku karena aku berbadan gemuk
gempal. Selalu setiap hari, aku selalu menjadi bahan tertawaan. Selalu dibilang
lamban, menyusahkan, dan tidak akan pernah sukses dalam hidup.
Sendiri dengan isak tangis yang sunyi dan air mata menetes perlahan, aku
terduduk diam hingga sore menjelang. Aku enggan pulang, aku merasa malu untuk
berjalan pulang, karena aku gemuk. Sungguh, aku merasa sudah tidak tahan dengan
hidupku dan ingin rasanya mengakhiri hidupku. Saat sepiku berpeluh air mata,
sesosok bayangan menutupi cahaya lampu tangga. Aku menoleh ke belakang,
ternyata Pak Giman berdiri di belakangku. Ia berdiri tegap dengan kaus oblong
dan celana lusuhnya. Dengan sapu lidi di tangan kanannya dan tong sampah besar
di tangan kirinya, ia menatapku dengan hangat.
“Sedang apa le?”, tanya Pak
Giman. “Kok belum pulang?”
“Ah, Pak Giman, tidak apa-apa”, jawabku dengan menyeka air mata yang
membekas.
“Ana apa ta le? Kok menangis”
Mendengar pertanyaan itu aku terdiam. Lalu, dengan sedikit berpaling muka
aku menjawab, “Tidak ada apa-apa kok pak”.
“Ya Wis le, kalau ada hal yang
mengganjal hati, jangan ragu cerita sama bapak. Bapak ini walau sudah tua,
setidaknya masih bisa menjadi pendengar yang baik. Ya”, ujarnya dengan senyum
lebar. “Kamu pulanglah, sudah sore besok pasti harus berangkat pagi kan?”.
“Iya pak”, lalu aku meninggalkan Pak Giman dengan tanpa berpamitan meski
lewat pandangan mata.
***
Suatu hari, aku sudah tidak tahan akan perlakuan teman-temanku yang selalu
memperolokku. Aku melawannya, dan mendorong temanku sebelum keluar kelas untuk
pulang. Karena perlawananku itu, mereka melawan dan menyeretku menuju kamar
mandi sekolah.
Aku dikerumuni lima orang. Mereka merupakan anak-anak bengal yang ada di
kelasku. Mereka berkuasa di kelas dan tak ada satu pun anak yang berani melawan
mereka. Wajah mereka kesal, karena aku melawan dari kekuasaan mereka dan
membuat mereka malu di depan kelas. Akhirnya, satu persatu dari mereka memukuliku.
Di tengah mereka dengan asyiknya memukuliku, tiba-tiba salah satu di antara
mereka ada yang menarik dan melemparnya kepada yang lainnya. Hingga akhirnya
pukulan mereka berhenti. Ternyata yang datang ialah Pak Giman.
“Sudah merasa jago kalian?”, geram Pak Giman. “Akan saya laporkan ke kepala
sekolah nanti”.
“Eh, penjaga sekolah macem-macem, kami yang bayar sekolahan jadi penjaga
sekolah itu sama saja kami yang bayar”, tantang salah satu temanku.
“Oo, bocah kemarin sore sudah kurang ajar, maaf saja, rezeki itu bukan
datang dari kamu, tapi dari Tuhan, meskipun saya dipecat, nama baik saya tidak
akan berpengaruh apa-apa, tapi orang tua kalian akan malu seumur hidup”, jawab
Pak Giman dengan lantang.
Mendengar jawaban Pak Giman yang berani membuat teman-teman yang
mengeroyokku geram tapi mereka tak berani dan meninggalkan kami berdua.
“Kamu tidak apa-apa le?”, tanya
Pak Giman padaku.
“Tidak apa-apa pak”, jawabku dengan mencoba berdiri “Terima kasih pak”. Aku
berdiri dan berjalan keluar.
“Le, tunggu sebentar”, panggil
Pak Giman. “Biar bapak antar kamu pulang, takutnya para begundal itu akan
menyegatmu di depan sana”.
Mendengar tawaran Pak Giman membuatku sedikit bimbang untuk pulang ke
rumah. Pertimbangannya ada benarnya dalam benakku. “Baik pak, maaf kalau saya
merepotkan”, jawabku menerima tawaran Pak Giman.
“Oia le, aku belum sempat
mengenal namamu, siapa namamu le?”,
tanya PaK Giman dengan Ramah.
“Umm, namaku Arya pak”, jawabku dengan suara lelah karena sedang menahan
sakit sisa dari pemukulan teman-temanku itu.
Lalu kami berdua berjalan keluar dan Pak Giman menyertaiku hingga aku naik
ke dalam angkutan umum. Di dalam mobil angkutan umum, entah mengapa aku merasa
ada kehangatan yang berasal dari perhatian Pak Giman padaku.
***
Esok harinya, di kelas aku sudah tidak merasa nyaman, karena teman-temanku
yang kemarin mengerjaiku memandangku dengan tatapan dendam. Selama jam
pelajaran aku berkeringat dingin dan ketakutan. Aku pun panik, karena jam
pelajaran akan usai dan berganti jam istirahat. Suara bell yang menggelegar
membuatku pucat pasih dan sudah mulai terdengar sorak-sorai kecil dari kelompok
anak bengal itu.
Sebelum guru keluar kelas, tiba-tiba Pak Giman datang dan meminta izin
untuk masuk ke kelas pada guruku. Aku tak tahu apa yang mereka berdua bicarakan
di depan kelas. “Arya, kamu ikut Pak Giman keluar ya, orang tuamu datang di
bawah dan mencarimu. Katanya ada urusan penting”, ujar guruku.
Mendengar perkataan guruku itu, aku bingung. “Baik bu”, jawabku keheranan.
Aku pun tak ingin menyia-nyiakan kesempatan untuk keluar kelas karena ingin
menghindari teman-temanku yang ingin kembali menyiksaku. Lalu aku mengikuti Pak
Giman keluar kelas dan menuju warung di luar sekolah.
“Maaf Pak Giman, kenapa kita ke sini? Dan apakah orang tuaku ada di warung
ini?”, tanyaku keheranan.
Pak Giman tersenyum. “Maaf ya le,
bapak bohong, bapak sengaja membawa kamu ke warung ini untuk mengamankanmu dari
pengeroyokmu yang kemarin, sebab tadi pagi bapak tidak sengaja mendengar mereka
berkumpul dan merencanakan untuk menjahilimu lagi”, jelas Pak Giman.
Jawaban Pak Giman tersebut membuatku merasa bahwa kini aku tidak sendiri di
sekolah. “Umm, terima kasih pak, sudah dua kali bapak menolong saya”, ujarku.
“Oh, tak usah sungkan le, ini
minum es blewah, di warung ini es ini rasanya enak loh”, ujar Pak Giman sembari
menyodorkan segelas es blewah padaku. Kami pun bercengkrama dan menjadi
sahabat. Sejak saat itu, aku tidak pernah takut lagi di sekolah. Aku pun berani
melawan jika ada yang mencercaku, karena aku yakin di belakangku ada yang
mendukungku. Aku dan dan Pak Giman sering bertukar cerita. Ia sering sekali
menceritakan kampungnya, cerita wayang yang dikisahkan turun temurun dari orang
tuanya, hingga menceritakan ketiga buah hatinya di kampung. Anaknya yang
pertama baru masuk sekolah menengah pertama, anak keduanya baru masuk sekolah
dasar, dan anak bungsunya masih berumur dua tahun. Ia juga sering bercerita
tentang mimpi-mimpinya, terutama mimpinya untuk membahagiakan keluarganya dan
menyekolahkan anaknya hingga jenjang yang paling tinggi.
***
Persahabatanku dengan Pak Giman menjadi warna tersendiri dalam kehidupan
semasa SMA ku. Kami saling bercerita, baik tentang keluarga maupun tentang hal
yang sedang dialami. Perbincangan kami selalu berujung dengan pertanyaan Pak
Giman kepadaku. Pertanyaan yang selalu ia tanyakan padaku, yakni “Apa mimpimu le?”. Dan, setiap ia menanyakan itu, aku
pun tak dapat menjawabnya. Pak Giman seakan memahami aku yang tidak mau
menanyakannya dan tidak memaksaku untuk menjawabnya.
Hingga akhirnya aku menginjak semester terakhir di kelas 3, Pak Giman pun
sudah semakin terlihat kerut di wajahnya. Ya, waktu itu berputar cepat.
Terkadang aku masih merasa baru mengenal Pak Giman di hari kemarin dan kini aku
sudah tiga tahun berada di sekolah ini. Sudah semenjak kenaikan dari kelas 1 ke
kelas 2, kelompok berandal yang sering menggangguku tak pernah mengusikku lagi.
Semua berkat Pak Giman yang selalu ada di sampingku dan mendorongku untuk
berani jika aku benar.
Suatu hari, setelah jam sekolah selesai, aku mampir ke rumah petak Pak
Giman di belakang sekolah. Rumah kontrakan kecil tempatku menghabiskan sebagian
waktuku ketika aku jengah dengan sekolah ataupun sekedar beristirahat kecil dan
belajar untuk ujian. Seperti biasa, Pak Giman selalu membuatkan aku teh manis
hangat dan sepiring kecil gorengan untuk menemaniku di rumahnya itu. Di hari
itu, Pak Giman kembali menanyakan pertanyaan yang sama kepadaku. “Le, kamu punya mimpi tidak?”, tanya Pak
Giman sembari menaruh segelas teh manis hangat dan gorengan di lantai tempat
kami duduk bersila.
“Aku tak tahu pak, mungkin dulu pernah”, jawabku datar.
Pak Giman tersenyum dan berkata, “Akhirnya kamu menjawab juga le. Mengapa kau bilang begitu?”.
“Tak tahu pak, jika saja aku bisa bertanya pada bintang-bintang mengapa aku
berjalan di jalan kesunyian, mungkin mereka akan memberikan jawabannya. Aku dulu
pernah memiliki mimpi, namun hancur ketika ayahku meninggal dalam sebuah
kecelakaan. Karena, aku ingin menjadi petugas medis atau dokter, tapi ketika
ayahku sekarat tak ada dokter yang sanggup menyelamatkannya”, jawabku dengan
diakhiri dengan helaan nafas halus. “Beragam alasannya, ada yang bilang ayahku
harus didaftarkan dulu ke rumah sakitlah, menunggu kamar kosonglah, macam-macam
dan berbeda-beda tiap petugas medis yang ditanya ibuku. Hingga akhirnya ayah
meninggal di IGD dan aku...”.
“Seharusnya kamu teruskan mimpimu”, potong Pak Giman.
“Mengapa? Aku kesal dengan orang yang tidak bisa menyelamatkan ayahku dan
aku tidak mau berprofesi seperti mereka”, jawabku dengan nada bicara sedikit
meninggi.
Pak Giman menepuk pundakku, “Mereka seperti itu karena menjadi seorang
penyelamat jiwa bukanlah impian mereka”.
Mendengar perkataan Pak Giman aku terdiam. Sebuah perkataan sederhana yang
mampu meredam amarah singkatku pada kenangan masa lalu.
“Ketika kamu menjadi sesuatu berdasarkan mimpimu, maka kau akan
menjalaninya dengan tulus. Tak peduli rintangan dan hal-hal menghambat di
depanmu. Mimpi yang sempurna ialah mimpi yang kau niatkan dalam hati, kau
rancang dalam imaji, dan kau tuju dengan ketulusan dan kesungguhan hati”, ujar
Pak Giman dengan menatap mataku. “Kalau menjadi dokter itu mimpimu, kejarlah
hingga kamu mendapatkannya, le”.
Aku tertegun atas perkataan Pak Giman. Ia hampir tidak pernah memaksaku
untuk menjawab pertanyaannya tentang mimpi, tapi sore ini ia seakan-akan ingin
mengembalikan aku kepada mimpi besarku yang telah lama ku kubur. Aku hanya bisa
terdiam, dan tidak bisa menjawab atau pun menyahuti perkataan Pak Giman.
“Ya wis, direnungkan lagi apa
mimpimu le”, tenang Pak Giman setelah
melihat wajahku yang menjadi serius dan sedikit murung. “Tapi, jangan lama-lama
kau renungkan, ingat, kamu sebentar lagi akan lulus sekolah dan harus
menetapkan langkah kakimu kedepannya”.
Akhirnya kami berbincang santai hingga malam menjelang. Meski hanya dengan
teh manis hangat dan gorengan, bagiku, jamuan Pak Giman adalah jamuan yang
mewah dan mengisi kenangan masa SMA.
***
Kenangan sore itu terus membekas dalam ingatanku. Sudah empat tahun lamanya
semenjak terakhir aku bertemu Pak Giman. Aku mengikuti perkataannya dulu, aku
kembali pada mimpiku. Setelah lulus sekolah, aku mengambil ujian masuk kuliah
untuk jurusan kedokteran di salah satu perguruan tinggi negeri. Berusaha sebaik
mungkin, dan benar adanya perkataan Pak Giman, aku memang menjalani
perkuliahanku dengan tulus.
Dan kini aku berdiri di sebuah auditorium kampus untuk diwisuda. Bersama teman-temanku,
aku berdiri di barisan mahasiswa berprestasi. Di saat pidato rektorku, entah
mengapa aku merasa ada yang sedang memperhatikanku dari kejauhan. Hingga akhirnya
acara wisudaku selesai, aku pun menghampiri ibuku dan membereskan barang-barang
ke dalam mobil. Saat aku tengah membereskan barang-barangku, aku melihat Pak
Giman di pinggir parkiran gedung auditorium. Ia tersenyum ke arahku, dan sesaat
kemudian ia menghilang terhalangi oleh orang yang berlalu-lalang. Aku mencoba
memastikan penglihatanku. Aku berjalan cepat menuju tempat aku melihat Pak
Giman. Namun, ia memang sudah menghilang tanpa jejak. Kemudian ibu memanggilku
dan aku menghampirinya dengan rasa heranku terhadap kejadian barusan. Apakah itu
imajinasi? Atau halusinasi? Akhirnya aku pulang bersama ibuku.
Setelah semua urusanku di kampus selesai, aku segera membuat surat lamaran
pekerjaan ke sebuah rumah sakit. Tidak memakan waktu lama, aku pun dipanggil
dan diterima di rumah sakit tersebut. Semua berjalan seperti adanya, aku
memeriksa pasien, dan merawatnya hingga sehat kembali. Semua ku lakukan dengan
segenap tenagaku. Hingga suatu hari, aku sedang duduk menunggu pasien, datang
pasien yang ku tunggu duduk di depan mejaku. Aku terkejut melihat wajah pasien
itu, ia begitu mirip dengan Pak Giman, hanya saja ia jauh lebih muda bahkan
lebih muda dariku.
“Ya, ada yang bisa saya bantu?”, tanyaku dengan suara sedikit ragu.
“Anu dok, saya mau melakukan pemeriksaan badan saya untuk mengikuti seleksi
akademi kepolisian”, ujarnya sedikit terbata. “Tapi saya tidak punya uang sama
sekali dok. Saya dengar, untuk dapat lulus seleksi masuk akademi kepolisian,
saya harus membayar dokter yang memeriksa kesehatan saya”.
Aku tersenyum, dengan merapikan data-data pasien itu aku berkata “Tidak
apa-apa, tidak usah bayar juga tidak apa-apa. Tapi kamu janji sama saya, jangan
melihat saya sama dengan dokter-dokter seperti itu ya”.
Pasien itu kemudian mengangkat kepalanya dan memercikkan ekspresi senang. Melihat
ekspresinya, ada kelegaan dalam hatiku. Lalu, aku membaca data diri dari pasien
tersebut mencari nama dari pasien mudaku itu. “Namamu Subagyo ya, salam kenal,
saya Dokter Arya”, sapaku hangat. “Oke, kita mulai, coba buka mulutnya, aahh”. Aku
memeriksanya hingga tak terasa sudah satu jam berlalu.
“Hasilnya akan selesai diurus suster nanti sekitar tigapuluh menit lagi”,
ujarku.
“Terima kasih dok, akhirnya saya bisa mewujudkan mimpi sempurnaku”, ujar Bagyo.
Mendengar kata-katanya barusan, aku tersentak. “Mimpi sempurna? Ya, memang
itu harus kau kejar”, ujarku menyemangati Bagyo.
“Kata bapak saya dok, Ketika kamu menjadi sesuatu berdasarkan mimpimu, maka
kau akan menjalaninya dengan tulus. Tak peduli rintangan dan hal-hal menghambat
di depanmu. Mimpi yang sempurna ialah mimpi yang kau niatkan dalam hati, kau
rancang dalam imaji, dan kau tuju dengan ketulusan dan kesungguhan hati. Dan,
saya selalu mengingatnya hingga kini”, kisah Bagyo dengan semangatnya.
Aku pun semakin tersentak. Apakah mungkin ia anak dari Pak Giman? Aku pun
memberanikan diri untuk bertanya padanya, “Maaf, kalo boleh saya tahu, siapa
nama bapak mas?”.
“Oh, bapak saya namanya Sugiman. Orang biasa memanggilnya Pak Giman”,
terang Bagyo dengan polos.
“Pak Giman? Kamu anak Pak Giman?”, tanyaku dengan kaget.
Keheranan, Bagyo pun menjawab, “Iya dok, memangnya ada apa ya?”.
“Dia orang yang berjasa buat saya. Bisa pertemukan saya dengan beliau?”,
ujarku.
“Umm..”, ragu Bagyo, “Bapak sudah meninggal dok, tahun kemarin ia meninggal
karena sakit”.
Aku pun kaget dan tidak menyangka. Bagaimana bisa ia meninggal tahun
kemarin dan aku melihatnya ketika aku wisuda. Lalu, kami berbincang mengenai
Pak Giman. Hingga aku meminta Bagyo mengantarkanku ke makan Pak Giman.
Sepanjang perjalanan menuju pemakaman, Bagyo dan aku bertukar cerita
tentang Pak Giman. Ia mengajarkan anaknya sama seperti mengajarkan aku, yakni
percaya akan mimpi dan teru mengejarnya. Aku pun masih tidak percaya bahwa Pak
Giman sudah meninggal, karena aku begitu nyata melihatnya hadir dan tersenyum
padaku saat wisudaku. Akhirnya mobilku sampai di sebuah tempat pemakaman. Aku dipandu
oleh Bagyo menuju makam Pak Giman.
Setelah beberapa menit, aku sampai di sebuah makam sederhana. Tiada dihiasi
oleh keramik, hanya papan kayu saja. Di papan kayu itu tertulis, nama Sugiman
Bin Cahyadi. Benar, ini memang benar makam Pak Giman. Aku pun tak kuasa menahan
airmataku, sudah lama aku tidak menangis semenjak bertemu dengan Pak Giman. Kini,
ketika aku berhasil mewujudkan mimpiku, Pak Giman telah tiada. Lalu, aku
melihat Bagyo, melihat wajah polosnya, aku pun berniat untuk membantu anak itu
menggapai mimpinya, seperti Pak Giman yang membantuku menemukan mimpi
sempurnaku.
“Aku berjanji Pak Giman, akan aku bantu Bagyo dan adik-adiknya menemukan
mimpinya, seperti bapak yang membantuku menemukan mimpi sempurnaku. Hanya ini
yang bisa ku perbuat untuk membalas budi baikmu. Dan, hidupku akan berarti jika
dapat menjadi bagian dari mimpi yang sempurna bagi Bagyo serta adik-adiknya. Aku
berjanji padamu. Selamat jalan Pak Giman, damai tentramlah di dalam kisah mimpi
yang sempurnaku”, ucapku dalam hati. Aku dan Bagyo kemudian bergegas meninggalkan
pemakaman.
Terinspirasi dari lagu peterpan yang berjudul "mimpi yang sempurna".
Selasa, 26 Juni 2012
Kesalahan Ada Untuk Dipelajari
Bila memandang daun menari bersama angin
Membuatku berangan, andai kehidupanku seindah tarian daun
dan angin
Sederhana, bermakna, dan melegakan dalam tiap geraknya
Aku iri pada daun dan angin yang menari dengan indahnya
Bila memandang hujan berpacu dengan petir yang
menggelegar
Membuatku berpikir, andai langkahku setegas petir yang
menyertai hujan
Mungkin kesalahan hidup tak akan mekar
Menyulitkan langkahku menapaki jalan panjang yang
terbentangkan
Andai kala bermurah hati
Ingin aku membujuknya
Memberikan satu kesempatan
Kembali ke masa-masa itu, sebelum terjadi kesalahan
Aku ingin menampar diriku pada masa itu, yang telah buta
matanya
Oleh keegoisan diri
Namun itu hanya ada dalam fantasi semata
Bila memang kala menawarkan itu padaku
Aku tak ingin mengambil kesempatan itu
Karena kembali pada kala yang menyenangkan itu
Hanya menjegalku dari pemaknaan hidup berani dan dewasa
Kesalahan ada untuk dipelajari
Kesalahan ada untuk mengindahkan tarian kehidupan manusia
Tak ada salah, sama saja menjalani hidup dalam dunia
fantasi
Di mana setiap lelaki adalah pengeran dan tiap perempuan
adalah putri raja
Langganan:
Komentar (Atom)