Sabtu, 26 Januari 2013

Perpecahan Harus Berakhir

Sepakbola merupakan olahraga yang dapat menyatukan dunia. Sepakbola dapat menyatukan segala perbedaan yang ada di sekitar kita. Namun, ada kalanya sepakbola dijadikan alat untuk memunculkan perbedaan ke permukaan. Di Indonesia, sepakbola merupakan olahraga sejuta umat. Baik pria, perempuan, anak-anak, orang tua maupun muda, pejabat, tukang sapu, dan lain sebagainya sangat menyukai sepakbola.

Begitu banyak acara televisi yang menampilkan pertandingan-pertandingan liga dunia. Namun, saat ini, televisi lokal tidak ada yang mempertontonkan liga Indonesia yang sebenar-benarnya. Sepakbola Indonesia terpecah karena kepentingan segelintir kelompok dan bila hal ini terus berlanjut, maka jangan heran bila Indonesia akan selalu menjadi penonton dan mungkin prestasi tertinggi di sepakbola ialah menjadi minor sponsorship klub-klub dunia.

Apakah hal itu yang diinginkan bangsa Indonesia untuk sepakbolanya? Apakah kita cukup bangga dengan segala keterpurukan ini? Apakah arogansi kelompok lebih penting daripada kepentingan bangsa Indonesia? Temukan jawabannya sendiri. Bila saya boleh menjawab, saya tidak akan pernah bangga dengan keadaan sepakbola Indonesia saat ini. Sepakbola Indonesia, saya yakin, bisa lebih maju dari ini. Lihatlah Jepang dan Korea, baik Korea Selatan maupun Korea Utara, yang berhasil berlaga di pentas dunia sekelas Piala Dunia. Pemain mereka pun berhasil menembus berbagai liga di dunia. Pernahkan kita berpikir? Bahwa Indonesia bisa jaug lebih baik daripada Jepang maupun Korea Selatan dan Korea Utara.

Sepakbola Indonesia harus ditempatkan pada fungsinya yang sebenarnya, yakni sebagai pemersatu bangsa. Terlihat pada tim Garuda yang dibesut oleh Alfred Riedl beberapa tahun lalu di laga AFF Suzuki Cup. Meski Indonesia hanya berada pada posisi Runner-up, namun dalam pertandingan itulah semua elemen yang ada di Indonesia bersorak sorai satu komando "Indonesia". Tidak ada seorang pejabat, tidak ada seorang pemulung, tidak ada etnis Jawa, tidak ada etnis Papua, yang ada hanya satu, bangsa Indonesia. Kebersatuan Indonesia saat itu adalah satu keutuhan yang tidak dimiliki oleh bangsa lainnya di dunia. Pertandingan itu menunjukkan pada dunia wajah Indonesia sebenarnya, kebersatuan dalam keberagaman, bhinneka tunggal ika.

Kini, liga terpecah dua. Liga di bawah Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) dan liga di bawah Komite Penyelamatan Sepakbola Indonesia (KPSI). Kedua liga tersebut merupakan perseteruan segelintir kelompok yang tidak menguntungkan bangsa Indonesia sebagai satu kesatuan. Sudah saatnya sepakbola kembali ke tangan rakyat Indonesia. Seluruh pencinta sepakbola harus bersatu dan melawan perpecahan yang ada. Selama masih ada perpecahan ini, selamanya sepakbola Indonesia akan tetap terpuruk.

Jakarta Dan Solusi

Banjir yang baru melanda Jakarta beberapa waktu lalu sedikit banyak menjadi ujian pertama bagi Gubernur dan Wakil Gubernur Jakarta, Joko Widodo dan Basuki Tjahja Purnama. Sudah menjadi rahasia umum, bila banjir adalah 'penyakit kambuhan' yang sering diderita oleh Jakarta. Bebas banjir adalah salah satu impian dari warga Jakarta. Upaya pencegahan bukan tidak dilakukan oleh Pemerintah Daerah DKI Jakarta, namun terkadang mental warga Jakarta yang tidak disiplin dan menganggap remeh peraturan membuat Jakarta akan selalu diserang banjir. Percuma saja bila Pemda DKI Jakarta bekerja keras menangani banjir bila warganya selalu melanggar peraturan yang ada.

Selain itu, masalah lainnya di Ibukota negara Republik Indonesia tersebut ialah kemacetan lalu lintas. Bila banjir selalu menghantui warga Jakarta kala musim hujan, maka kemacetan lalu lintas dapat diibaratkan tumor yang meradang pada tubuh Jakarta. Hampir sulit ditemukan lalu lintas yang lenggang, terutama pada jam-jam tertentu seperti pagi hari dan sore hari. Pada pagi hari begitu banyak warga Jakarta dan luar Jakarta yang berjejalan masuk ke sentral-sentral kegiatan kota Jakarta untuk bekerja. Belum lagi ditambah banyaknya kendaraan roda dua yang digunakan oleh anak sekolahan untuk bersekolah, baik membawa kendaraan sendiri maupun diantarkan oleh orang tua. Begitu banyaknya kendaraan yang merangsek masuk ke Jakarta akhirnya menyebabkan Jakarta sesak dan sulit bergerak di pagi hari. Hal serupa terulang pada sore hari yang merupakan waktu pulang perkantoran. Jakarta sudah sesak nafas dengan kemacetan lalu lintas.

Kedua masalah itu merupakan penyakit yang meradang di Jakarta. Meskipun demikian, penyakit terselubung pun banyak yang terjadi di Jakarta, seperti premanisme, kemalasan para Pegawai Negara Sipil (PNS), pungli pelayanan masyarakat, pendidikan dan lain sebagainya. Pada akhirnya, semua masalah tersebut haruslah di tuntaskan dengan seksama dan tepat sasaran. Akan tetapi, dari semua masalah Jakarta memanglah kedua masalah di atas, banjir dan kemacetan, adalah masalah yang sangat berpotensi melumpuhkan pergerakan berbagai sektor di Jakarta. Pasalnya, keduanya berhubungan dengan alur transportasi dan alur pergerakan aktifitas masyarakat Jakarta.

Untuk mengatasi kedua masalah tersebut sebenarnya perlu juga sumbangsih warga Jakarta agar dapat mandiri dan tidak melulu bergantung pada pemerintah. Dalam masalah banjir, warga bisa memulai dari hal kecil yakni membuang sampah pada tempatnya. Hal klise yang selalu didengungkan oleh pemerintah dari masa ke masa. Banjir bisa terjadi karena aliran sungai tidak dapat jalan dengan lancar disebabkan oleh sampah-sampah yang menyumbat. Warga juga tidak bisa mengandalkan para tukang sampah dan pemulung untuk membereskan hal itu. Harus wargalah yang bergerak dengan hal-hal kecil saja, seperti mulai untuk tidak membuang sampah ke sumber air.

Hal yang bisa dilakukan lainnya ialah untuk tidak membangun rumah di bantaran sungai. Karena, hal itu akan mengikis pinggir sungai dan menyebabkan saluran air menuju sungai atau kali akan menjadi tersumbat. Selain itu, saluran pembuangan dari rumah juga akan mengarah ke aliran air sehingga membuat aliran air sungai atau kali akan tercemar oleh limbah sehari-hari. Hal itu akan membuat kualitas air bersih di kota Jakarta berkurang. Bila kekurangan sumber air bersih maka jangan heran kalau Jakarta akan selalu didatangi penyakit-penyakit baru yang akan menghantui warganya.

Lalu, warga Jakarta juga harus memelihara daerah resapan air di pekarangan rumah atau di sekitar rumah. Hal itu penting karena mengingat Jakarta sudah jarang memiliki daerah resapan air yang berskala besar maka untuk penanggulangannya ialah adanya daerah resapan air skala kecil namun berjumlah banyak. Resapan air penting untuk meresap air hujan ke tanah sehingga volume air di sungai atau kali dan aliran air lainnya tidak penuh atau mencapai batas maksimum. Selain itu, bila pun terjadi banjir, mungkin akan lebih cepat surut dan bibit penyakit dari genangan air tidak akan bertahan lama. Buatlah, setidaknya, satu atau dua daerah resapan air di lingkungan rumah sehingga akan membuat lingkungan perumahan bisa terbebas dari banjir yang tergenang.

Solusi Kemacetan Lalu Lintas

Kemacetan lalu lintas merupakan momok yang sangat mengganggu warga Jakarta. Pasalnya, karena kemacetan banyak waktu terbuang percuma di jalanan yang seharusnya bisa dimanfaatkan untuk urusan lain, seperti bisnis, pengiriman dokumen penting, pengiriman barang-barang industri dan lain sebagainya. Meski memang, Jakarta bukanlah satu-satunya kota yang padat lalu lintas kendaraannya, akan tetapi sebagai ibukota negara agaknya menjadi suatu hal yang memalukan.
Bila alur laju kendaraan di jalanan memang bisa dikurangi dengan munculnya kendaraan umum untuk rakyat, seperti Busway Transjakarta, Mass Rapid Transportation (MRT), angkutan kota (angkot), dan lain sebagainya. Namun, ada hal lain yang harus diperhatikan, yakni produksi kendaraan pribadi yang bermunculan di jalan raya. Di Jakarta dapat dikatakan cukup banyak kendaraan baru yang bermunculan di jalan raya. Baik dari tipe terbaru maupun tipe lama. Pertambahan itu disebabkan oleh terlalu mudahnya rakyat mendapatkan kendaraan pribadi. Pertambahan tersebut tidak berbanding dengan kapasitas jalan raya di Jakarta sehingga sering terjadi macet pada daerah tertentu dan jam tertentu.

Salah satu penyebab terjadinya perlonjakkan bertambahnya jumlah kendaraan pribadi ialah banyaknya dealer yang bekerjasama dengan perusahaan kredit. Pemberian kemudahan berkredit atas kendaraan menyebabkan masyarakat mementingkan hasrat kebutuhan akan kendaraan pribadinya dengan terlalu mudah, sehingga pertumbuhan jumlah kendaraan di jalan raya meningkat melebihi kapasitas jalan raya. Selain itu, kemudahan pemberian kredit juga membentuk sebuah sisipan karakter konsumtif pada masyarakat Jakarta. Karakter konsumtif tersebut akhirnya menekan logika untuk mempertahankan Jakarta yang kondusif. Orang yang kaya akan berupaya menunjukkan kelasnya dengan membeli kendaraan yang berharga milyaran rupiah. Di sisi lain, orang menengah ke bawah ingin menonjolkan arogansi diri mereka, untuk tidak diremehkan, dengan berupaya keras memiliki kendaraan pribadi. Pembeda antara si miskin dan si kaya bukan karena pemerintah yang membuatnya seperti itu, dengan membuat peraturan semacam three in one ataupun rencana ganjil genap, melainkan rakyat Jakarta sendiri yang ingin menonjolkan diri di jalan raya.

Memang, bila pemerintah akhirnya membatasi kredit maka pemda DKI Jakarta mungkin akan kehilangan pendapatannya dari pajak perusahaan kredit di Jakarta. Namun, apakah pendapatan daerah lebih penting dari kestabilan masyarakat Jakarta? Jakarta sudah tidak kondusif, terlihat bagaimana kemacetan yang sudah menggila. Dengan menghentikan sementara sistem pengkreditan kendaraan pribadi hingga menemukan sistem pengkreditan yang minim kerugian atas peredaran lalu lintas Jakarta, mungkin akan sedikit memperlonggar lalu lintas Jakarta.

Setelah itu, langkah selanjutnya ialah membereskan sistem kepemilikian kendaraan. Maksudnya ialah bukan berarti yang memiliki uang lebih berpotensi memiliki kendaraan pribadi, namun sistem kepemilikian diperketat dengan prasyarat adanya surat izin mengemudi (SIM). Dengan memiliki SIM maka barulah seorang warga Jakarta dapat memiliki kendaraan pribadi. Kenyataan yang terjadi di Jakarta bahwa banyak warga Jakarta yang belum memiliki SIM dapat berlalu-lalang di jalan raya Jakarta. Dengan menerapkan aturan tersebut, prediksi saya, sedikit banyaknya akan mengurangi jumlah kendaraan di jalan raya dan pelanggaran-pelanggaran lalu lintas.

Bila SIM menjadi syarat untuk pengajuan kepemilikian kendaraan pribadi maka akan membuat perindividu warga Jakarta akan berpikir ulang untuk memiliki kendaraan. Cara tersebut akan efektif jika Pemda DKI Jakarta bekerjasama dengan satuan polisi lalu lintas untuk menerapkannya dan warga Jakarta untuk mematuhi serta menjalankannya. Selain SIM, perlu juga ditambahkan surat-surat atau dokumen yang menyatakan bahwa perindividu memiliki penghasilan. Dengan demikian, individu yang ingin memiliki kendaraan pribadi akan sangat terlindungi, baik secara hukum maupun keselamatannya.

Untuk mewujudkan itu semua perlu kedisplinan yang kuat. Baik dari tingkat warga Jakarta, satuan kepolisian di DKI Jakarta, PNS DKI Jakarta, hingga Gubernur dan Petinggi Negara yang berkantor di Jakrta. Pemerintah harus menjadi contoh utama bagi warganya. Bila melihat para pejabat menjalankannya maka dengan sendirinya warga pun akan berangsur-angsur menjalankannya. Karena warga akan mengikuti pemimpin yang memang pantas diikuti.

Rabu, 23 Januari 2013

Lima Dasar Mempertahankan Hubungan

Hubungan cinta sepasang anak manusia dapat berjalan lama ataupun sebentar. Banyak hal yang diutarakan untuk bersatu dan banyak hal pula yang dijadikan alasan untuk berpisah. Hal-hal yang diutarakan dalam menyatunya cinta sepasang anak manusia ialah kesamaan--baik kesamaan hobi, film, makanan, dan lain sebagainya. Lalu, saat mereka merasa kesamaan itu sudah mulai pudar dan membuat mereka berpisah dengan alasan perbedaan. Agaknya sedikit klise bila selalu beralasan karena banyak perbedaan, karena manusia diciptakan dengan perbedaan.

Perbedaan bukanlah sebuah alasan dalam retaknya sebuah hubungan. Mungkin lebih tepatnya ialah tidak adanya upaya untuk mencoba saling memahami satu dengan yang lainnya. Sebenarnya, perbedaan adalah sebuah lem yang menjadi perekat cinta antar manusia. Perbedaan dapat mengisi kelemahan masing-masing individu dalam hubungan. Perbedaan pula yang dapat menyempurnakan potensi-potensi positif di kedua individu yang saling mencintai.

Dikatakan demikian karena bila dilihat esensi sebuah hubungan ialah kebersatuan yang membuahkan suatu kehidupan dan bukanlah kematian. Kehidupan yang dimaksud ialah dari hubungan tersebut masing-masing manusia yang membinanya haruslah dapat menjalani kehidupan dengan membuahkan inovasi-inovasi berupa karya untuk bertahan hidup.Contoh yang mungkin dapat dipahami jelas konsep yang dimaksud di atas ialah dalam kisah cinta Habibie dan Ainun yang telah diangkat ke layar lebar. Keduanya merupakan sosok yang bertolak belakang. Habibie seorang insinyur dan Ainun adalah sarjana kedokteran. Habibie seorang yang berpikir taktis dan perfeksionis dan Ainun berpikir cekatan dan simpel. Keduanya berbeda, tapi dari perbedaan itu mereka membuahkan nama mereka sebagai salah satu anak bangsa yang haruslah dibanggakan dengan segenap hati bangsa ini.

Untuk dapat mempertahankan semangat perjuangan cinta ada beberapa hal yang dapat diperhatikan. Hal-hal tersebut merupakan hal sederhana namun berdampak besar bagi diri sendiri maupun pasangan. Pertama, hindari sebuah penyelesaian masalah yang berlarut-larut. Dalam melihat suatu masalah, masing-masing individu dalam sebuah hubungan pastilah memiliki pemikiran dan cara-cara pemecahan yang berbeda-beda. Terkadang, dalam penyampaian pendapat dalam suatu masalah dapat memacu egoisme pasangan dan akhirnya terjadi pertengkaran. Untuk menghindari hal tersebut, maka dalam membahas suatu masalah janganlah berlarut-larut, selesaikan dengan cepat dengan mencari solusinya bukan membicarakan masalahnya saja. Cari solusi yang dapat dijalani berdua dan dapat dijadikan sebuah pondasi komitmen jangka panjang.
 
Kedua, usahakan komunikasi efektif. Komunikasi yang efektif ialah komunikasi yang berimbang, tidak terlalu sering juga tidak terlalu lama tak berkomunikasi. Dengan berkomunikasi berimbang memberikan kesempatan masing-masing untuk mengeksplorasi diri dan mengumpulkan pengalaman yang nantinya dapat dibagikan kepada pasangan. Bagi yang sudah berumahtangga, komunikasi efektif dilakukan dengan cara tidak melulu menceritakan atau berbagi hal-hal negatif, seperti membicarakan atau menjelekkan orang lain, bercerita hal yang sama berulang kali, dan lain sebagainya. Berikan selalu nuansa baru dalam berkomunikasi, misalnya, berbagi cerita positif, berupaya memberikan cerita tentang pengalaman-pengalaman baru sehingga apa yang dibicarakan tidk monoton, dan saling memberikan pandangan positif terhadap keluhan pasangan sehingga pasangan tidak berlarut tenggelam dalam pikiran negatif terhadap seseorang ataupun sesuatu hal.
 
Ketiga, pertahankan rasa percaya pada pasangan. Dengan mempertahankan rasa percaya pada pasangan maka akan meningkatkan efek positif terhadap terpaan gosip. Bila kita sudah mempercayai pasangan kita maka kita juga harus berbuat sesuatu agar pasangan kita juga dapat mempertahankan rasa kepercayaannya terhadap diri kita. Poinnya adalah bila kita ingin dipercayai maka buatlah diri kita dipercayai. Bila melakukan hal-hal yang sekiranya dapat membuat keretakan hubungan sebaiknya ingat akan pasangan kita.
 
Keempat, mendukung pasangan dengan ikhlas. Sikap mendukung dibutuhkan untuk membantu perkembangan dari pasangan kita. Percaya atau tidak, seseorang yang didukung sepenuhnya oleh pasangan akan memiliki kesempatan perkembangan karir lebih cepat. Konsep mendukung yang dimaksud ialah kita mampu memberikan dukungan bila pasangan kita sedang mengalami kebuntuan atau sedang merasa jatuh semangatnya. Selain itu, kita juga harus mengingatkan pasangan bila jalan yang dilaluinya salah sehingga kesalahan yang dilakukannya tidak akan berpengaruh pada karirnya. Intinya adalah kita harus berkata benar bila itu benar dan salah bila itu salah kepada pasangan kita.
 
Kelima, menjaga hubungan baik dengan orang-orang di sekitar pasangan kita. Bila kita siap akan suatu komitmen, itu berarti tidak hanya dengan pasangan kita sebagai satu individu semata. Kita harus sanggup untuk menerima teman-temannya dan keluarganya. Karena, sebelum pasangan kita mengenal kita, dia lebih mengenal dahulu teman-temannya dan keluarganya. Disarankan untuk tidak terlalu mengekang pasangan kita bila ia sedang ingin berkegiatan dengan teman-teman atau keluarganya. Jangan pernah berupaya menjauhkan pasangan kita dari teman-teman dan keluarganya, karena hal itu hanya akan membuat pasangan kita terlalu bergantung pada diri kita dan tidak akan mampu mandiri. Selain itu, dengan meningkatkan kedekatan diri kita dengan orang-orang terdekat pasangan kita maka akan mempermudah diri kita untuk mengenal seluk-beluk karakter pasangan kita.

Demikian sedikit pemikiran saya mengenai menjaga hubungan cinta. Haruslah diingat bahwa menjaga suatu hubungan itu lebih sulit daripada mendapatkannya. Dan, kita tidak akan pernah menganggap sesuatu itu penting sebelum kita kehilangannya dan usahakan jangan sampai hidup kita seperti itu. Hargai pasanganmu, maka kau menghargai keberadaan dirimu sendiri sebagai manusia yang bermatabat.

Bahasa Ibu: Tameng Dari Penjajahan Ideologi dan Budaya



Bahasa merupakan sebuah produk budaya yang memiliki berbagai macam fungsi. Sebagai media komunikasi hingga menciptakan karya seni sastra. Selain itu, bahasa juga merupakan jati diri bangsa yang membedakan suatu bangsa dengan bangsa lainnya. Meskipun terkadang ada suatu bangsa memiliki bahasa yang mirip dengan bangsa lainnya. Tetap saja, bahasa suatu bangsa memiliki ciri khas yang membedakannya dengan bahasa dari bangsa lainnya.
            Era globalisasi saat ini, ada sebuah kecondongan masuknya era perang ideologi dan penjajahan budaya. Perang yang dimaksud ialah serangan-serangan ideologi—seperti nilai-nilai budaya, etika dan moral, hingga pemikiran-pemikiran—suatu bangsa kepada bangsa lainnya. Terlihat bagaimana mudah masuknya pengaruh budaya Amerika, Jepang, dan Korea di Indonesia yang membuat masyarakat Indonesia lebih mengenal ‘Good Morning daripada ‘Sugeng Enjing’, atau lebih banyak anak-anak yang bernama ‘James’, ‘Michael’, dan ‘George’ ketimbang anak-anak yang bernama ‘Yono’, ‘Jaka’, ataupun ‘Parjo’. Hal tersebut sudah mengindikasikan, pola pikir mayoritas bangsa ini sudah terlalu terkontaminasi oleh bangsa asing.
            Terjadi hal demikian sebenarnya dapat diproteksi dengan pengenalan dan pemahaman pentingnya bahasa ibu, yaitu bahasa asli dari suatu suku bangsa. Di Indonesia, terdapat beragam bahasa ibu berdasarkan beragamnya suku bangsa yang ada di negara ini. Akan tetapi, hanya terdapat tigabelas bahasa ibu yang berada dalam tahap aman.
            Dengan mengenal dan memahami bahasa ibu, maka sama saja dengan menggunakan tameng untuk menghadang serangan-serangan ideologi dari bangsa asing yang akan menggeser nilai-nilai dan kearifan lokal bangsa sendiri. Namun, dewasa ini, para generasi muda mulai meninggalkan bahasa ibu dan lebih menyukai bahasa asing—bahasa Inggris ataupun bahasa asing lainnya. Alasan yang biasa dikemukakan oleh para kawula muda ialah bahasa ibu daerah mereka masing-masing hanya hal konyol dan membuat mereka menjadi bahan tertawaan teman-teman sejawat.
            Pola pikir tersebut merupakan dogma yang berhasil ditanamkan oleh para penjajah pada masa pra kemerdekaan. Pola pikir yang seakan modern namun menyelubungkan kehancuran dari karakteristik bangsa yang beraneka-ragam. Secara tidak langsung, bangsa ini masih terjajah dalam pola pikirnya yang mengacu kepada standarisasi dari kaum penjajah, bukan bangsa sendiri.
            Penjajahan budaya membuat generasi muda bangsa ini melihat segala hal dengan nilai-nilai budaya asing. Seperti contoh berikut, generasi muda yang bersuku Jawa selalu melihat bahasa ­unggah-ungguh Jawa—ngoko, madya, dan krama—menjadi sebuah bahasa yang tidak demokratis. Padahal, unggah-ungguh basa tersebut mengajarkan bagaimana menghargai orang lain dan terutama orang tua. Selain itu, ­unggah-ungguh basa juga mengajarkan untuk memiliki rasa dalam bahasa. Rasa dalam bahasa tidak hanya memberikan pemahaman masalah estetika semata, tetapi juga mengenai nila-nilai kearifan lokal.
            Dengan bahasa ibu, maka generasi muda hendaknya akan dapat memandang dunia dengan menggunakan pola pikir kearifan lokal budayanya. Pasalnya, dengan memandang era globalisasi dengan pola pikir tersebut, maka akan memberikan dinamika baru dalam kebudayaan lokal bangsa ini. Budaya yang terus berdinamika, maka akan terus ada dan tidak akan terancam punah.
            Permasalahan utama yang mengancam keberadaan bahasa ibu bukan bahasa asingnya, melainkan pola pikir asing yang terselip di dalamnya. Disadari atau tidak, bahasa juga menyimpan ideologi bangsa yang menggunakannya. Ada sebuah proses panjang dalam menyepakati dan membuat sebuah bahasa. Oleh karena itu, jati diri, ideologi, dan tata nilai yang pas untuk bangsa ini ada dalam berbagai macam bahasa ibu yang kemudian menjadi dasar dari bahasa nasional, yakni bahasa Indonesia.
            Bahasa ibu haruslah diselamatkan, agar jati diri bangsa yang sudah mulai tergerus tidak hilang dan punah. Upaya menyelamatkan bahasa ibu hanya dengan membiasakan diri dan sekitar yang masih penutur asli untuk mengajarkan bahasa ibu kepada anak-cucu. Karena, hanya dengan dibiasakan dengan kelisanan, maka bahasa ibu akan lebih cepat dicerna dan dipahami. Apalagi, zaman sekarang sudah banyak anak-anak budaya ketiga—sudah tercerabut dari akar budayanya. Untuk itu, bahasa ibu harus tetap digalangkan agar generasi penerus bangsa dapat kembali ke akar budayanya dan tidak terjajah secara budaya serta ideologi.

Kajian Alih Wahana Dalam Persepolis: Masa Kanak-Kanak Tokoh Marjane




Suatu karya sastra atau seni memiliki media atau wahana yang digunakan untuk dapat diapresiasikan. Sebuah novel menggunakan wahana teks, film menggunakan gambar ‘bergerak’, komik menggunakan gambar ‘diam’, dan tari menggunakan gerak tubuh. Penggunaan wahana suatu karya juga dapat berpindah—misalnya dari novel ke film atau komik ke film—dengan judul yang sama atau pengadopsian suatu karya dari suatu wahan ke wahana lainnya. Perpindahan wahana suatu karya tersebut dapat dikatakan sebagai alih wahana.
            Sapardi Djoko Damono dalam bukunya Sastra Bandingan (2009: 121) menyatakan bahwa alih wahana adalah perubahan dari satu kesenian ke jenis kesenian lain. Perubahan tersebut tidak terbatas pada satu atau dua jenis karya. Damono juga menyatakan bahwa karya sastra tidak hanya diterjemahkan dari satu bahasa ke bahasa lainnya, tetapi juga dialihwahanakan atau diubah menjadi kesenian lainnya. Berdasarkan pernyataan tersebut maka dapat dikatakan bahwa suatu karya dapat berubah wahana dari satu wahana ke wahana lainnya, tidak terbatas pada satu arah alih wahana melainkan juga dapat berubah ke berbagai macam bentuk—misalnya, dari karya sastra dapat menjadi film atau komik dan juga dari film menjadi karya sastra atau komik.
            Salah satu karya yang mendapat proses alih wahana ialah Persepolis karya Marjane Satrapi. Persepolis mengisahkan tentang kisah hidup seorang anak perempuan keturunan Iran yang bernama Marjane. Ia dilahirkan di Teheran, Iran. Marjane hidup bersama kedua orang tuanya dan neneknya di sebuah apartemen di Teheran. Kehidupannya mengalami banyak pergolakan, karena ia hidup di masa transisi kekuasaan di Iran. Transisi kekuasaan tersebut akhirnya memaksanya untuk keluar dari Iran dan menuju Eropa. Pergolakan dalam dirinya terus berlangsung di Eropa dan akhirnya ia kembali ke Teheran. Setelah menetap kembali di Teheran, ia malah mengalami sebuah fase adaptasi kembali dan akhirnya ia pergi ke Prancis.

Persepolis: Masa Kanak-Kanak Marjane Dalam Novel Grafis dan Film Animasi
            Karya cerita rekaan Persepolis pertama kali muncul dalam wahana novel grafis pada tahun 2000. Kisah tersebut dalam wahana novel grafis terbagi atas empat buku yang terbit secara berurut dari tahun 2000 hingga 2003. Pada tahun 2007, Persepolis akhirnya dibuatkan versi film animasinya.
            Dalam proses peralihwahanaan karya tersebut—dari novel grafis ke film animasi—terdapat beberapa perubahan. Perubahan tersebut didasari bahwa dalam pengalihwahanaan suatu karya perlu adaptasi dari wahana aslinya ke wahana yang baru. Perpindahan wahana (media) mencakup empat modalitas (Lars Ellestrom 2010: 15), yakni modalitas materi, modalitas panca indera, modalitas ruang temporal, dan modalitas semiotik. Lars Ellestrom dalam tulisannya The Modalities of Media: A Model For Understanding Intermedial Relation (2010) menyatakan bahwa ‘Media and art forms are constantly being described and defined on the basis of one or more of these modalities. The categories of materiality, time and space, the visual and the auditory, and natural and conventional sign, have been reshaped over and over again, but they tend to be mixed up in fundamental ways... [Media dan bentuk seni yang terus-menerus digambarkan dan didefinisikan berdasarkan satu atau lebih dari modalitas. Kategori-kategori dari materialitas, waktu dan ruang, visual dan auditori, dan tanda alam dan konvensional, telah dibentuk kembali lagi dan lagi, tetapi mereka cenderung terlibat dalam cara yang mendasar...]. Dari pernyataan tersebut dapat dipahami bahwa dalam perubahan wahana ada unsur-unsur yang menjadi alasan perubahan-perubahan pada wahana karya yang baru. Hal tersebut terkait dengan materialitas, fisik, dan segi tanda.
            Dalam Persepolis, perubahan terjadi pada alur cerita. Pada versi novel grafisnya, pengkisahan dimulai pada penggambaran suasana sosial di Teheran pada Marjane berumur sepuluh tahun, sedangkan pada film animasinya, kisah dimulai pada saat Marjane dewasa dan berada di bandar udara Perancis. Pada versi novel grafisnya, latar belakang tokoh Marjane dijelaskan secara detil. Ia berasal dari keluarga Iran modern yang kedua orang tuanya merupakan aktifis revolusi Iran. Penandaan bahwa orang tua Marjane adalah bagian dari aktifis revolusi terlihat dari penggambaran dalam cerita yang mengisahkan keduanya sedang berjuang untuk revolusi, baik dari segi ideologi maupun gerakan-gerakannya, seperti menjadi demonstran, jurnalis foto, dan lain sebagainya.
Selain itu, juga dijelaskan kondisi politik pada masa tokoh Marjane lahir di Iran. Kondisi politik yang mendesak pemerintahan saat itu untuk mundur dan beralih peradaban menjadi demokrasi—yang tadinya berupa kerajaan. Penjelasan kondisi politik tersebut terdapat pada bagian diskusi Marjane kecil dengan ayahnya. Pada diskusi tersebut, ayahnya menceritakan asal-muasal kondisi politik yang ada di Iran secara detil kepada Marjane. Mulai dari awal hingga pada kondisi yang dirasakan pada saat ayahnya dan Marjane sedang berdiskusi. Lalu, juga penjelasan mengenai nasib kakek dari Marjane yang akhirnya dipenjara karena pandangan politiknya. Kondisi kakeknya divisualisasi dan tokoh kakek pun hadir dalam versi novel grafis tersebut.
Penjelasan detil juga tampak pada pergolakan Marjane kecil. Digambarkan bagaimana Marjane yang merasa bahwa dirinya adalah seorang Nabi dan mengatakannya kepada gurunya di sekolah. Selain itu, imaji Marjane kecil tentang tokoh-tokoh revolusi dunia dan pandangan Marjane kecil tentang pergolakan politik juga diceritakan dalam novel grafisnya. Simbol-simbol yang digunakan salah satunya ialah digambarkannya diskusi antara Rene Descrates dan Karl Marx dalam sebuah bagian dalam novel grafis tersebut. Dengan kata lain, penggambaran politik Iran pada masa Marjane kecil sangat detil dan dibuat secara kronologis.
            Sedangkan dalam film animasinya, penjelasan latar belakang kedua orang tuanya—yang merupakan aktifis revolusi—visualisasikan dalam hubungan kedua orang tuanya terhadap tokoh-tokoh revolusi atau aktifis Iran. Fase penceritaan asal-muasal kondisi politik Iran digambarkan dalam ilustrasi pendongengan ayah ke anak. Selain itu, pandangan-pandangan politik Marjane kecil juga tidak dijelaskan secara detil. Beberapa tokoh pun ada yang dihilangkan secara visualisasi, salah satunya ialah tokoh kakek Marjane dan Rene Descartes.
            Nuansa pemikiran-pemikiran revolusi Iran pun tidak terlalu dijelaskan secara detil. Hanya beberapa bagian yang berasal dari penjelasan beberapa tokoh. Pergolakan batin dari Marjane kecil juga diperhalus dengan tidak terlalu dimasukan bagian-bagian penjelasan alur pergerakan revolusi. Selain itu, penceritaannya kurang kronologis dari versi novel grafisnya.
            Perubahan-perubahan yang terjadi dalam film animasinya disebabkan material dalam film tidak dapat menyamai material dalam novel grafis. Dalam novel grafisnya, pembabagan materi penceritaan tersusun dengan jelas karena tidak ada batasan waktu dan ruang, sedangkan dalam film terbatas pada durasi film keseluruhan—pengkisahan Marjane remaja dan dewasa. Selain itu, penjelasan detil dalam novel grafisnya diperlukan untuk memunculkan emosi-emosi yang hanya tervisualisasikan dalam bentuk gambar dan tulisan, sedangkan dalam film, efek emosi dan dramatikalnya dapat dibantu oleh penambahan musik latar.
            Penjelasan detil dalam novel grafisnya juga berkaitan dengan pemaknaan tanda yang lebih memiliki kemungkinan ambiguitas makna, sedangkan dalam film, ambiguitas makna dapat ditutupi oleh audio (suara dan intonasi dialog).[1] Hal tersebut berkaitan dengan bahasa tulis dalam novel grafis memiliki otonomi dan tidak sekedar derivat dari bahasa lisan.[2] Jadi, dalam novel grafisnya diperlukan penjelasan detil agar tidak terjadi pemaknaan ganda—meskipun ada gambar, namun gambar juga dapat memiliki makna ganda jika tidak disertai gerakan nyata yang menjadi pengarah makna.

Kesimpulan
            Persepolis dalam wahana novel grafis dan film animasinya memiliki perbedaan yang didasari oleh beberapa faktor. Faktor pertama ialah modalitas materi yang berbeda. Jika dalam novel grafis tidak dibatasi oleh durasi, maka dalam film dibatasi oleh durasi film. Faktor kedua ialah modalitas panca indra (visual dan audio visual). Dalam novel grafis, penggambaran cerita dalam novel grafis harus disertai oleh penjelasan yang detil untuk membangkitkan emosi dan dramatikal cerita—karena hanya berupa tulisan dan gambar ‘diam’—sedangkan dalam film, efek tersebut dapat dimunculkan melalu musik latar, intonasi dialog, dan gambar ‘bergerak’ yang menunjukan pemaknaan adegan. Faktor ketiga dan keempat ialah modalitas ruang temporal dan semiotik. Kedua faktor tersebut berkaitan dengan pemaknaan cerita. Jika dalam novel grafis ada dapat muncul ambiguitas makna cerita—jika tidak dijelaskan detil—maka dalam film ambiguitas makna tersebut tertutupi oleh audio (suara, intonasi dialog, dan musik latar).



Daftar Referensi
Damono, Sapardi Djoko. 2009. Sastra Bandingan. Jakarta: Editum.
Ellestrom, Lars (ed). 2010. Media Borders, Multymodality, and Intermediality. Hampshire: Pallgrave Macmillan.
Hoed, Benny H. 2011. Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Depok: Komunitas Bambu.
http://en.wikipedia.org/wiki/Marjane_Satrapi dilihat pada tanggal 8 April 2012 jam 23.30 WIB.


[1] Melalui media audio (suara, intonasi dialog, dan musik latar) maka dapat memberikan sebuah penegas makna dari penafsiran suatu cerita.
[2] Pandangan mengenai tulisan memilki otonomi merupakan pandangan Jaques Derrida. Ia berpendapat bahwa tulisan merupakan bahasa yang memenuhi dirinya sendiri tanpa tergantung pada bahasa lisan. Benny H Hoed. Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. (Depok: Komunitas Bambu, 2011). Hlm. 75.