Suatu
karya sastra atau seni memiliki media atau wahana yang digunakan untuk dapat
diapresiasikan. Sebuah novel menggunakan wahana teks, film menggunakan gambar
‘bergerak’, komik menggunakan gambar ‘diam’, dan tari menggunakan gerak tubuh.
Penggunaan wahana suatu karya juga dapat berpindah—misalnya dari novel ke film
atau komik ke film—dengan judul yang sama atau pengadopsian suatu karya dari
suatu wahan ke wahana lainnya. Perpindahan wahana suatu karya tersebut dapat
dikatakan sebagai alih wahana.
Sapardi Djoko Damono dalam bukunya Sastra Bandingan (2009: 121) menyatakan
bahwa alih wahana adalah perubahan dari satu kesenian ke jenis kesenian lain.
Perubahan tersebut tidak terbatas pada satu atau dua jenis karya. Damono juga
menyatakan bahwa karya sastra tidak hanya diterjemahkan dari satu bahasa ke
bahasa lainnya, tetapi juga dialihwahanakan atau diubah menjadi kesenian
lainnya. Berdasarkan pernyataan tersebut maka dapat dikatakan bahwa suatu karya
dapat berubah wahana dari satu wahana ke wahana lainnya, tidak terbatas pada
satu arah alih wahana melainkan juga dapat berubah ke berbagai macam bentuk—misalnya,
dari karya sastra dapat menjadi film atau komik dan juga dari film menjadi
karya sastra atau komik.
Salah satu karya yang mendapat
proses alih wahana ialah Persepolis karya
Marjane Satrapi. Persepolis mengisahkan
tentang kisah hidup seorang anak perempuan keturunan Iran yang bernama Marjane.
Ia dilahirkan di Teheran, Iran. Marjane hidup bersama kedua orang tuanya dan
neneknya di sebuah apartemen di Teheran. Kehidupannya mengalami banyak
pergolakan, karena ia hidup di masa transisi kekuasaan di Iran. Transisi
kekuasaan tersebut akhirnya memaksanya untuk keluar dari Iran dan menuju Eropa.
Pergolakan dalam dirinya terus berlangsung di Eropa dan akhirnya ia kembali ke
Teheran. Setelah menetap kembali di Teheran, ia malah mengalami sebuah fase
adaptasi kembali dan akhirnya ia pergi ke Prancis.
Persepolis: Masa
Kanak-Kanak Marjane Dalam Novel Grafis dan Film Animasi
Karya cerita rekaan Persepolis
pertama kali muncul dalam wahana novel grafis pada tahun 2000. Kisah
tersebut dalam wahana novel grafis terbagi atas empat buku yang terbit secara
berurut dari tahun 2000 hingga 2003. Pada tahun 2007, Persepolis akhirnya dibuatkan versi film animasinya.
Dalam proses peralihwahanaan karya
tersebut—dari novel grafis ke film animasi—terdapat beberapa perubahan.
Perubahan tersebut didasari bahwa dalam pengalihwahanaan suatu karya perlu
adaptasi dari wahana aslinya ke wahana yang baru. Perpindahan wahana (media)
mencakup empat modalitas (Lars Ellestrom 2010: 15), yakni modalitas materi,
modalitas panca indera, modalitas ruang temporal, dan modalitas semiotik. Lars
Ellestrom dalam tulisannya The Modalities
of Media: A Model For Understanding Intermedial Relation (2010) menyatakan
bahwa ‘Media and art forms are constantly
being described and defined on the basis of one or more of these modalities.
The categories of materiality, time and space, the visual and the auditory, and
natural and conventional sign, have been reshaped over and over again, but they
tend to be mixed up in fundamental ways... [Media dan bentuk seni yang
terus-menerus digambarkan dan didefinisikan berdasarkan satu atau lebih dari
modalitas. Kategori-kategori dari materialitas, waktu dan ruang, visual dan
auditori, dan tanda alam dan konvensional, telah dibentuk kembali lagi dan
lagi, tetapi mereka cenderung terlibat dalam cara yang mendasar...]. Dari
pernyataan tersebut dapat dipahami bahwa dalam perubahan wahana ada unsur-unsur
yang menjadi alasan perubahan-perubahan pada wahana karya yang baru. Hal
tersebut terkait dengan materialitas, fisik, dan segi tanda.
Dalam Persepolis, perubahan terjadi pada alur cerita. Pada versi novel
grafisnya, pengkisahan dimulai pada penggambaran suasana sosial di Teheran pada
Marjane berumur sepuluh tahun, sedangkan pada film animasinya, kisah dimulai
pada saat Marjane dewasa dan berada di bandar udara Perancis. Pada versi novel
grafisnya, latar belakang tokoh Marjane dijelaskan secara detil. Ia berasal
dari keluarga Iran modern yang kedua orang tuanya merupakan aktifis revolusi
Iran. Penandaan bahwa orang tua Marjane adalah bagian dari aktifis revolusi
terlihat dari penggambaran dalam cerita yang mengisahkan keduanya sedang
berjuang untuk revolusi, baik dari segi ideologi maupun gerakan-gerakannya,
seperti menjadi demonstran, jurnalis foto, dan lain sebagainya.
Selain
itu, juga dijelaskan kondisi politik pada masa tokoh Marjane lahir di Iran.
Kondisi politik yang mendesak pemerintahan saat itu untuk mundur dan beralih
peradaban menjadi demokrasi—yang tadinya berupa kerajaan. Penjelasan kondisi
politik tersebut terdapat pada bagian diskusi Marjane kecil dengan ayahnya.
Pada diskusi tersebut, ayahnya menceritakan asal-muasal kondisi politik yang
ada di Iran secara detil kepada Marjane. Mulai dari awal hingga pada kondisi
yang dirasakan pada saat ayahnya dan Marjane sedang berdiskusi. Lalu, juga
penjelasan mengenai nasib kakek dari Marjane yang akhirnya dipenjara karena
pandangan politiknya. Kondisi kakeknya divisualisasi dan tokoh kakek pun hadir
dalam versi novel grafis tersebut.
Penjelasan
detil juga tampak pada pergolakan Marjane kecil. Digambarkan bagaimana Marjane
yang merasa bahwa dirinya adalah seorang Nabi dan mengatakannya kepada gurunya
di sekolah. Selain itu, imaji Marjane kecil tentang tokoh-tokoh revolusi dunia
dan pandangan Marjane kecil tentang pergolakan politik juga diceritakan dalam
novel grafisnya. Simbol-simbol yang digunakan salah satunya ialah
digambarkannya diskusi antara Rene Descrates dan Karl Marx dalam sebuah bagian
dalam novel grafis tersebut. Dengan kata lain, penggambaran politik Iran pada
masa Marjane kecil sangat detil dan dibuat secara kronologis.
Sedangkan dalam film animasinya,
penjelasan latar belakang kedua orang tuanya—yang merupakan aktifis
revolusi—visualisasikan dalam hubungan kedua orang tuanya terhadap tokoh-tokoh
revolusi atau aktifis Iran. Fase penceritaan asal-muasal kondisi politik Iran
digambarkan dalam ilustrasi pendongengan ayah ke anak. Selain itu,
pandangan-pandangan politik Marjane kecil juga tidak dijelaskan secara detil.
Beberapa tokoh pun ada yang dihilangkan secara visualisasi, salah satunya ialah
tokoh kakek Marjane dan Rene Descartes.
Nuansa pemikiran-pemikiran revolusi
Iran pun tidak terlalu dijelaskan secara detil. Hanya beberapa bagian yang
berasal dari penjelasan beberapa tokoh. Pergolakan batin dari Marjane kecil
juga diperhalus dengan tidak terlalu dimasukan bagian-bagian penjelasan alur
pergerakan revolusi. Selain itu, penceritaannya kurang kronologis dari versi
novel grafisnya.
Perubahan-perubahan yang terjadi
dalam film animasinya disebabkan material dalam film tidak dapat menyamai
material dalam novel grafis. Dalam novel grafisnya, pembabagan materi
penceritaan tersusun dengan jelas karena tidak ada batasan waktu dan ruang,
sedangkan dalam film terbatas pada durasi film keseluruhan—pengkisahan Marjane
remaja dan dewasa. Selain itu, penjelasan detil dalam novel grafisnya
diperlukan untuk memunculkan emosi-emosi yang hanya tervisualisasikan dalam
bentuk gambar dan tulisan, sedangkan dalam film, efek emosi dan dramatikalnya
dapat dibantu oleh penambahan musik latar.
Penjelasan detil dalam novel
grafisnya juga berkaitan dengan pemaknaan tanda yang lebih memiliki kemungkinan
ambiguitas makna, sedangkan dalam film, ambiguitas makna dapat ditutupi oleh
audio (suara dan intonasi dialog).
Hal tersebut berkaitan dengan bahasa tulis dalam novel grafis memiliki otonomi
dan tidak sekedar derivat dari bahasa lisan.
Jadi, dalam novel grafisnya diperlukan penjelasan detil agar tidak terjadi
pemaknaan ganda—meskipun ada gambar, namun gambar juga dapat memiliki makna
ganda jika tidak disertai gerakan nyata yang menjadi pengarah makna.
Kesimpulan
Persepolis
dalam wahana novel grafis dan film animasinya memiliki perbedaan yang
didasari oleh beberapa faktor. Faktor pertama ialah modalitas materi yang
berbeda. Jika dalam novel grafis tidak dibatasi oleh durasi, maka dalam film
dibatasi oleh durasi film. Faktor kedua ialah modalitas panca indra (visual dan
audio visual). Dalam novel grafis, penggambaran cerita dalam novel grafis harus
disertai oleh penjelasan yang detil untuk membangkitkan emosi dan dramatikal
cerita—karena hanya berupa tulisan dan gambar ‘diam’—sedangkan dalam film, efek
tersebut dapat dimunculkan melalu musik latar, intonasi dialog, dan gambar
‘bergerak’ yang menunjukan pemaknaan adegan. Faktor ketiga dan keempat ialah
modalitas ruang temporal dan semiotik. Kedua faktor tersebut berkaitan dengan
pemaknaan cerita. Jika dalam novel grafis ada dapat muncul ambiguitas makna
cerita—jika tidak dijelaskan detil—maka dalam film ambiguitas makna tersebut
tertutupi oleh audio (suara, intonasi dialog, dan musik latar).
Daftar Referensi
Damono, Sapardi
Djoko. 2009. Sastra Bandingan. Jakarta:
Editum.
Ellestrom, Lars
(ed). 2010. Media Borders, Multymodality,
and Intermediality. Hampshire: Pallgrave Macmillan.
Hoed, Benny H.
2011. Semiotik dan Dinamika Sosial
Budaya. Depok: Komunitas Bambu.