Rabu, 23 Januari 2013

Bahasa Ibu: Tameng Dari Penjajahan Ideologi dan Budaya



Bahasa merupakan sebuah produk budaya yang memiliki berbagai macam fungsi. Sebagai media komunikasi hingga menciptakan karya seni sastra. Selain itu, bahasa juga merupakan jati diri bangsa yang membedakan suatu bangsa dengan bangsa lainnya. Meskipun terkadang ada suatu bangsa memiliki bahasa yang mirip dengan bangsa lainnya. Tetap saja, bahasa suatu bangsa memiliki ciri khas yang membedakannya dengan bahasa dari bangsa lainnya.
            Era globalisasi saat ini, ada sebuah kecondongan masuknya era perang ideologi dan penjajahan budaya. Perang yang dimaksud ialah serangan-serangan ideologi—seperti nilai-nilai budaya, etika dan moral, hingga pemikiran-pemikiran—suatu bangsa kepada bangsa lainnya. Terlihat bagaimana mudah masuknya pengaruh budaya Amerika, Jepang, dan Korea di Indonesia yang membuat masyarakat Indonesia lebih mengenal ‘Good Morning daripada ‘Sugeng Enjing’, atau lebih banyak anak-anak yang bernama ‘James’, ‘Michael’, dan ‘George’ ketimbang anak-anak yang bernama ‘Yono’, ‘Jaka’, ataupun ‘Parjo’. Hal tersebut sudah mengindikasikan, pola pikir mayoritas bangsa ini sudah terlalu terkontaminasi oleh bangsa asing.
            Terjadi hal demikian sebenarnya dapat diproteksi dengan pengenalan dan pemahaman pentingnya bahasa ibu, yaitu bahasa asli dari suatu suku bangsa. Di Indonesia, terdapat beragam bahasa ibu berdasarkan beragamnya suku bangsa yang ada di negara ini. Akan tetapi, hanya terdapat tigabelas bahasa ibu yang berada dalam tahap aman.
            Dengan mengenal dan memahami bahasa ibu, maka sama saja dengan menggunakan tameng untuk menghadang serangan-serangan ideologi dari bangsa asing yang akan menggeser nilai-nilai dan kearifan lokal bangsa sendiri. Namun, dewasa ini, para generasi muda mulai meninggalkan bahasa ibu dan lebih menyukai bahasa asing—bahasa Inggris ataupun bahasa asing lainnya. Alasan yang biasa dikemukakan oleh para kawula muda ialah bahasa ibu daerah mereka masing-masing hanya hal konyol dan membuat mereka menjadi bahan tertawaan teman-teman sejawat.
            Pola pikir tersebut merupakan dogma yang berhasil ditanamkan oleh para penjajah pada masa pra kemerdekaan. Pola pikir yang seakan modern namun menyelubungkan kehancuran dari karakteristik bangsa yang beraneka-ragam. Secara tidak langsung, bangsa ini masih terjajah dalam pola pikirnya yang mengacu kepada standarisasi dari kaum penjajah, bukan bangsa sendiri.
            Penjajahan budaya membuat generasi muda bangsa ini melihat segala hal dengan nilai-nilai budaya asing. Seperti contoh berikut, generasi muda yang bersuku Jawa selalu melihat bahasa ­unggah-ungguh Jawa—ngoko, madya, dan krama—menjadi sebuah bahasa yang tidak demokratis. Padahal, unggah-ungguh basa tersebut mengajarkan bagaimana menghargai orang lain dan terutama orang tua. Selain itu, ­unggah-ungguh basa juga mengajarkan untuk memiliki rasa dalam bahasa. Rasa dalam bahasa tidak hanya memberikan pemahaman masalah estetika semata, tetapi juga mengenai nila-nilai kearifan lokal.
            Dengan bahasa ibu, maka generasi muda hendaknya akan dapat memandang dunia dengan menggunakan pola pikir kearifan lokal budayanya. Pasalnya, dengan memandang era globalisasi dengan pola pikir tersebut, maka akan memberikan dinamika baru dalam kebudayaan lokal bangsa ini. Budaya yang terus berdinamika, maka akan terus ada dan tidak akan terancam punah.
            Permasalahan utama yang mengancam keberadaan bahasa ibu bukan bahasa asingnya, melainkan pola pikir asing yang terselip di dalamnya. Disadari atau tidak, bahasa juga menyimpan ideologi bangsa yang menggunakannya. Ada sebuah proses panjang dalam menyepakati dan membuat sebuah bahasa. Oleh karena itu, jati diri, ideologi, dan tata nilai yang pas untuk bangsa ini ada dalam berbagai macam bahasa ibu yang kemudian menjadi dasar dari bahasa nasional, yakni bahasa Indonesia.
            Bahasa ibu haruslah diselamatkan, agar jati diri bangsa yang sudah mulai tergerus tidak hilang dan punah. Upaya menyelamatkan bahasa ibu hanya dengan membiasakan diri dan sekitar yang masih penutur asli untuk mengajarkan bahasa ibu kepada anak-cucu. Karena, hanya dengan dibiasakan dengan kelisanan, maka bahasa ibu akan lebih cepat dicerna dan dipahami. Apalagi, zaman sekarang sudah banyak anak-anak budaya ketiga—sudah tercerabut dari akar budayanya. Untuk itu, bahasa ibu harus tetap digalangkan agar generasi penerus bangsa dapat kembali ke akar budayanya dan tidak terjajah secara budaya serta ideologi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar