Bahasa merupakan sebuah
produk budaya yang memiliki berbagai macam fungsi. Sebagai media komunikasi
hingga menciptakan karya seni sastra. Selain itu, bahasa juga merupakan jati
diri bangsa yang membedakan suatu bangsa dengan bangsa lainnya. Meskipun
terkadang ada suatu bangsa memiliki bahasa yang mirip dengan bangsa lainnya.
Tetap saja, bahasa suatu bangsa memiliki ciri khas yang membedakannya dengan
bahasa dari bangsa lainnya.
Era
globalisasi saat ini, ada sebuah kecondongan masuknya era perang ideologi dan
penjajahan budaya. Perang yang dimaksud ialah serangan-serangan
ideologi—seperti nilai-nilai budaya, etika dan moral, hingga
pemikiran-pemikiran—suatu bangsa kepada bangsa lainnya. Terlihat bagaimana
mudah masuknya pengaruh budaya Amerika, Jepang, dan Korea di Indonesia yang
membuat masyarakat Indonesia lebih mengenal ‘Good Morning’ daripada ‘Sugeng Enjing’, atau lebih banyak
anak-anak yang bernama ‘James’, ‘Michael’, dan ‘George’ ketimbang anak-anak yang bernama ‘Yono’, ‘Jaka’, ataupun ‘Parjo’. Hal tersebut sudah
mengindikasikan, pola pikir mayoritas bangsa ini sudah terlalu terkontaminasi
oleh bangsa asing.
Terjadi
hal demikian sebenarnya dapat diproteksi dengan pengenalan dan pemahaman
pentingnya bahasa ibu, yaitu bahasa asli dari suatu suku bangsa. Di Indonesia,
terdapat beragam bahasa ibu berdasarkan beragamnya suku bangsa yang ada di
negara ini. Akan tetapi, hanya terdapat tigabelas bahasa ibu yang berada dalam
tahap aman.
Dengan
mengenal dan memahami bahasa ibu, maka sama saja dengan menggunakan tameng
untuk menghadang serangan-serangan ideologi dari bangsa asing yang akan
menggeser nilai-nilai dan kearifan lokal bangsa sendiri. Namun, dewasa ini,
para generasi muda mulai meninggalkan bahasa ibu dan lebih menyukai bahasa asing—bahasa
Inggris ataupun bahasa asing lainnya. Alasan yang biasa dikemukakan oleh para
kawula muda ialah bahasa ibu daerah mereka masing-masing hanya hal konyol dan
membuat mereka menjadi bahan tertawaan teman-teman sejawat.
Pola
pikir tersebut merupakan dogma yang berhasil ditanamkan oleh para penjajah pada
masa pra kemerdekaan. Pola pikir yang seakan modern namun menyelubungkan
kehancuran dari karakteristik bangsa yang beraneka-ragam. Secara tidak
langsung, bangsa ini masih terjajah dalam pola pikirnya yang mengacu kepada
standarisasi dari kaum penjajah, bukan bangsa sendiri.
Penjajahan
budaya membuat generasi muda bangsa ini melihat segala hal dengan nilai-nilai budaya
asing. Seperti contoh berikut, generasi muda yang bersuku Jawa selalu melihat
bahasa unggah-ungguh Jawa—ngoko, madya, dan krama—menjadi sebuah bahasa yang tidak demokratis. Padahal, unggah-ungguh basa tersebut mengajarkan
bagaimana menghargai orang lain dan terutama orang tua. Selain itu, unggah-ungguh basa juga mengajarkan
untuk memiliki rasa dalam bahasa. Rasa dalam bahasa tidak hanya memberikan
pemahaman masalah estetika semata, tetapi juga mengenai nila-nilai kearifan
lokal.
Dengan
bahasa ibu, maka generasi muda hendaknya akan dapat memandang dunia dengan
menggunakan pola pikir kearifan lokal budayanya. Pasalnya, dengan memandang era
globalisasi dengan pola pikir tersebut, maka akan memberikan dinamika baru
dalam kebudayaan lokal bangsa ini. Budaya yang terus berdinamika, maka akan
terus ada dan tidak akan terancam punah.
Permasalahan
utama yang mengancam keberadaan bahasa ibu bukan bahasa asingnya, melainkan
pola pikir asing yang terselip di dalamnya. Disadari atau tidak, bahasa juga
menyimpan ideologi bangsa yang menggunakannya. Ada sebuah proses panjang dalam
menyepakati dan membuat sebuah bahasa. Oleh karena itu, jati diri, ideologi,
dan tata nilai yang pas untuk bangsa ini ada dalam berbagai macam bahasa ibu
yang kemudian menjadi dasar dari bahasa nasional, yakni bahasa Indonesia.
Bahasa
ibu haruslah diselamatkan, agar jati diri bangsa yang sudah mulai tergerus
tidak hilang dan punah. Upaya menyelamatkan bahasa ibu hanya dengan membiasakan
diri dan sekitar yang masih penutur asli untuk mengajarkan bahasa ibu kepada
anak-cucu. Karena, hanya dengan dibiasakan dengan kelisanan, maka bahasa ibu
akan lebih cepat dicerna dan dipahami. Apalagi, zaman sekarang sudah banyak
anak-anak budaya ketiga—sudah tercerabut dari akar budayanya. Untuk itu, bahasa
ibu harus tetap digalangkan agar generasi penerus bangsa dapat kembali ke akar
budayanya dan tidak terjajah secara budaya serta ideologi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar