Rabu, 23 Januari 2013

Kajian Alih Wahana Dalam Persepolis: Masa Kanak-Kanak Tokoh Marjane




Suatu karya sastra atau seni memiliki media atau wahana yang digunakan untuk dapat diapresiasikan. Sebuah novel menggunakan wahana teks, film menggunakan gambar ‘bergerak’, komik menggunakan gambar ‘diam’, dan tari menggunakan gerak tubuh. Penggunaan wahana suatu karya juga dapat berpindah—misalnya dari novel ke film atau komik ke film—dengan judul yang sama atau pengadopsian suatu karya dari suatu wahan ke wahana lainnya. Perpindahan wahana suatu karya tersebut dapat dikatakan sebagai alih wahana.
            Sapardi Djoko Damono dalam bukunya Sastra Bandingan (2009: 121) menyatakan bahwa alih wahana adalah perubahan dari satu kesenian ke jenis kesenian lain. Perubahan tersebut tidak terbatas pada satu atau dua jenis karya. Damono juga menyatakan bahwa karya sastra tidak hanya diterjemahkan dari satu bahasa ke bahasa lainnya, tetapi juga dialihwahanakan atau diubah menjadi kesenian lainnya. Berdasarkan pernyataan tersebut maka dapat dikatakan bahwa suatu karya dapat berubah wahana dari satu wahana ke wahana lainnya, tidak terbatas pada satu arah alih wahana melainkan juga dapat berubah ke berbagai macam bentuk—misalnya, dari karya sastra dapat menjadi film atau komik dan juga dari film menjadi karya sastra atau komik.
            Salah satu karya yang mendapat proses alih wahana ialah Persepolis karya Marjane Satrapi. Persepolis mengisahkan tentang kisah hidup seorang anak perempuan keturunan Iran yang bernama Marjane. Ia dilahirkan di Teheran, Iran. Marjane hidup bersama kedua orang tuanya dan neneknya di sebuah apartemen di Teheran. Kehidupannya mengalami banyak pergolakan, karena ia hidup di masa transisi kekuasaan di Iran. Transisi kekuasaan tersebut akhirnya memaksanya untuk keluar dari Iran dan menuju Eropa. Pergolakan dalam dirinya terus berlangsung di Eropa dan akhirnya ia kembali ke Teheran. Setelah menetap kembali di Teheran, ia malah mengalami sebuah fase adaptasi kembali dan akhirnya ia pergi ke Prancis.

Persepolis: Masa Kanak-Kanak Marjane Dalam Novel Grafis dan Film Animasi
            Karya cerita rekaan Persepolis pertama kali muncul dalam wahana novel grafis pada tahun 2000. Kisah tersebut dalam wahana novel grafis terbagi atas empat buku yang terbit secara berurut dari tahun 2000 hingga 2003. Pada tahun 2007, Persepolis akhirnya dibuatkan versi film animasinya.
            Dalam proses peralihwahanaan karya tersebut—dari novel grafis ke film animasi—terdapat beberapa perubahan. Perubahan tersebut didasari bahwa dalam pengalihwahanaan suatu karya perlu adaptasi dari wahana aslinya ke wahana yang baru. Perpindahan wahana (media) mencakup empat modalitas (Lars Ellestrom 2010: 15), yakni modalitas materi, modalitas panca indera, modalitas ruang temporal, dan modalitas semiotik. Lars Ellestrom dalam tulisannya The Modalities of Media: A Model For Understanding Intermedial Relation (2010) menyatakan bahwa ‘Media and art forms are constantly being described and defined on the basis of one or more of these modalities. The categories of materiality, time and space, the visual and the auditory, and natural and conventional sign, have been reshaped over and over again, but they tend to be mixed up in fundamental ways... [Media dan bentuk seni yang terus-menerus digambarkan dan didefinisikan berdasarkan satu atau lebih dari modalitas. Kategori-kategori dari materialitas, waktu dan ruang, visual dan auditori, dan tanda alam dan konvensional, telah dibentuk kembali lagi dan lagi, tetapi mereka cenderung terlibat dalam cara yang mendasar...]. Dari pernyataan tersebut dapat dipahami bahwa dalam perubahan wahana ada unsur-unsur yang menjadi alasan perubahan-perubahan pada wahana karya yang baru. Hal tersebut terkait dengan materialitas, fisik, dan segi tanda.
            Dalam Persepolis, perubahan terjadi pada alur cerita. Pada versi novel grafisnya, pengkisahan dimulai pada penggambaran suasana sosial di Teheran pada Marjane berumur sepuluh tahun, sedangkan pada film animasinya, kisah dimulai pada saat Marjane dewasa dan berada di bandar udara Perancis. Pada versi novel grafisnya, latar belakang tokoh Marjane dijelaskan secara detil. Ia berasal dari keluarga Iran modern yang kedua orang tuanya merupakan aktifis revolusi Iran. Penandaan bahwa orang tua Marjane adalah bagian dari aktifis revolusi terlihat dari penggambaran dalam cerita yang mengisahkan keduanya sedang berjuang untuk revolusi, baik dari segi ideologi maupun gerakan-gerakannya, seperti menjadi demonstran, jurnalis foto, dan lain sebagainya.
Selain itu, juga dijelaskan kondisi politik pada masa tokoh Marjane lahir di Iran. Kondisi politik yang mendesak pemerintahan saat itu untuk mundur dan beralih peradaban menjadi demokrasi—yang tadinya berupa kerajaan. Penjelasan kondisi politik tersebut terdapat pada bagian diskusi Marjane kecil dengan ayahnya. Pada diskusi tersebut, ayahnya menceritakan asal-muasal kondisi politik yang ada di Iran secara detil kepada Marjane. Mulai dari awal hingga pada kondisi yang dirasakan pada saat ayahnya dan Marjane sedang berdiskusi. Lalu, juga penjelasan mengenai nasib kakek dari Marjane yang akhirnya dipenjara karena pandangan politiknya. Kondisi kakeknya divisualisasi dan tokoh kakek pun hadir dalam versi novel grafis tersebut.
Penjelasan detil juga tampak pada pergolakan Marjane kecil. Digambarkan bagaimana Marjane yang merasa bahwa dirinya adalah seorang Nabi dan mengatakannya kepada gurunya di sekolah. Selain itu, imaji Marjane kecil tentang tokoh-tokoh revolusi dunia dan pandangan Marjane kecil tentang pergolakan politik juga diceritakan dalam novel grafisnya. Simbol-simbol yang digunakan salah satunya ialah digambarkannya diskusi antara Rene Descrates dan Karl Marx dalam sebuah bagian dalam novel grafis tersebut. Dengan kata lain, penggambaran politik Iran pada masa Marjane kecil sangat detil dan dibuat secara kronologis.
            Sedangkan dalam film animasinya, penjelasan latar belakang kedua orang tuanya—yang merupakan aktifis revolusi—visualisasikan dalam hubungan kedua orang tuanya terhadap tokoh-tokoh revolusi atau aktifis Iran. Fase penceritaan asal-muasal kondisi politik Iran digambarkan dalam ilustrasi pendongengan ayah ke anak. Selain itu, pandangan-pandangan politik Marjane kecil juga tidak dijelaskan secara detil. Beberapa tokoh pun ada yang dihilangkan secara visualisasi, salah satunya ialah tokoh kakek Marjane dan Rene Descartes.
            Nuansa pemikiran-pemikiran revolusi Iran pun tidak terlalu dijelaskan secara detil. Hanya beberapa bagian yang berasal dari penjelasan beberapa tokoh. Pergolakan batin dari Marjane kecil juga diperhalus dengan tidak terlalu dimasukan bagian-bagian penjelasan alur pergerakan revolusi. Selain itu, penceritaannya kurang kronologis dari versi novel grafisnya.
            Perubahan-perubahan yang terjadi dalam film animasinya disebabkan material dalam film tidak dapat menyamai material dalam novel grafis. Dalam novel grafisnya, pembabagan materi penceritaan tersusun dengan jelas karena tidak ada batasan waktu dan ruang, sedangkan dalam film terbatas pada durasi film keseluruhan—pengkisahan Marjane remaja dan dewasa. Selain itu, penjelasan detil dalam novel grafisnya diperlukan untuk memunculkan emosi-emosi yang hanya tervisualisasikan dalam bentuk gambar dan tulisan, sedangkan dalam film, efek emosi dan dramatikalnya dapat dibantu oleh penambahan musik latar.
            Penjelasan detil dalam novel grafisnya juga berkaitan dengan pemaknaan tanda yang lebih memiliki kemungkinan ambiguitas makna, sedangkan dalam film, ambiguitas makna dapat ditutupi oleh audio (suara dan intonasi dialog).[1] Hal tersebut berkaitan dengan bahasa tulis dalam novel grafis memiliki otonomi dan tidak sekedar derivat dari bahasa lisan.[2] Jadi, dalam novel grafisnya diperlukan penjelasan detil agar tidak terjadi pemaknaan ganda—meskipun ada gambar, namun gambar juga dapat memiliki makna ganda jika tidak disertai gerakan nyata yang menjadi pengarah makna.

Kesimpulan
            Persepolis dalam wahana novel grafis dan film animasinya memiliki perbedaan yang didasari oleh beberapa faktor. Faktor pertama ialah modalitas materi yang berbeda. Jika dalam novel grafis tidak dibatasi oleh durasi, maka dalam film dibatasi oleh durasi film. Faktor kedua ialah modalitas panca indra (visual dan audio visual). Dalam novel grafis, penggambaran cerita dalam novel grafis harus disertai oleh penjelasan yang detil untuk membangkitkan emosi dan dramatikal cerita—karena hanya berupa tulisan dan gambar ‘diam’—sedangkan dalam film, efek tersebut dapat dimunculkan melalu musik latar, intonasi dialog, dan gambar ‘bergerak’ yang menunjukan pemaknaan adegan. Faktor ketiga dan keempat ialah modalitas ruang temporal dan semiotik. Kedua faktor tersebut berkaitan dengan pemaknaan cerita. Jika dalam novel grafis ada dapat muncul ambiguitas makna cerita—jika tidak dijelaskan detil—maka dalam film ambiguitas makna tersebut tertutupi oleh audio (suara, intonasi dialog, dan musik latar).



Daftar Referensi
Damono, Sapardi Djoko. 2009. Sastra Bandingan. Jakarta: Editum.
Ellestrom, Lars (ed). 2010. Media Borders, Multymodality, and Intermediality. Hampshire: Pallgrave Macmillan.
Hoed, Benny H. 2011. Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Depok: Komunitas Bambu.
http://en.wikipedia.org/wiki/Marjane_Satrapi dilihat pada tanggal 8 April 2012 jam 23.30 WIB.


[1] Melalui media audio (suara, intonasi dialog, dan musik latar) maka dapat memberikan sebuah penegas makna dari penafsiran suatu cerita.
[2] Pandangan mengenai tulisan memilki otonomi merupakan pandangan Jaques Derrida. Ia berpendapat bahwa tulisan merupakan bahasa yang memenuhi dirinya sendiri tanpa tergantung pada bahasa lisan. Benny H Hoed. Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. (Depok: Komunitas Bambu, 2011). Hlm. 75.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar