Sabtu, 03 Desember 2011

Muda dan Arogan

Saat ini, orang muda selalu menghindari belajar dari sejarah. Memang tidak dapat disama-ratakan. Akan tetapi, mayoritas orang muda selalu bergerak dalam sebuah komunitas tanpa memahami sejarah yang ada di dalam komunitas tersebut.

Saya ambil contoh di organisasi kampus, khususnya di kampus saya Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia (FIB UI). Di kampus FIB UI, terdapat lima belas himpunan mahasiswa jurusan. Di antara kelima belas himpunan mahasiswa jurusan tersebut terdapat sebuah organisasi mahasiswa yang bernama Keluarga Mahasiswa Sastra Jawa untuk jurusan atau program studi Jawa FIB UI. Saya merupakan alumnus dari program studi Jawa dan pernah aktif berorganisasi di KMSJ. Semasa saya berkuliah, saya mencoba mencari tahu sejarah yang berkaitan dari organisasi mahasiswa Jawa tersebut. Mulai bertanya pada senior, almuninya, hingga pada para dosen. Saya berupaya sebisa mungkin mencari tahu, agar ketika saya menjalankan organisasi tersebut dapat menjalankannya sebaik mungkin. Namun, semua berbanding terbalik dengan junior-junior saya yang sedang memegang tampuk kepemimpinan saat ini. Tidak semua yang sedang mengemban tanggung jawab di organisasi tersebut tahu sejarah organisasinya, yakni KMSJ.

Mungkin saja mereka sungkan. Atau, mereka memang sudah tidak peduli dengan sejarahnya. Saya tidak tahu pasti. Tapi, ada satu hal yang saya tahu pasti, karena saya sedang melanjutkan studi di FIB UI sehingga saya secara tak langsung memperhatikannya, ialah kekacauan telah terjadi di KMSJ. Mulai dari saling terjadi perselisihan kecil antar angkatan yang terasa, permasalahan pribadi yang dibawa ke organisasi, hingga ketidak pedulian pada keberlangsungan salah satu media kreatifitas jurnalistik yang dimiliki oleh KMSJ.

Terlebih, ketidak tahuan tersebut ditularkan kepada junior-junior mereka. Hal itu membuat mahasiswa yang sedang berada di bawah payung KMSJ menjalankan organisasi dengan "seenak jidatnya". Tidak ada komunikasi efektif, tidak ada penyelesaian konflik yang elegan, dan timbul aroganitas yang kuat di antara para mahasiswa.

Saya, saat ini sudah menjadi alumni, tidak menginginkan untuk disanjung-sanjung ataupun dihormati dengan cara yang berlebihan. Saya hanya ingin mereka, junior-junior saya, kembali melihat sejarah organisasinya. Mulai dari saat terbentuknya hingga intrik-intrik politik yang ada di dalamnya pada masa lalu. Tidak ada salahnya jika berkaca pada sejarah.

Kearoganitasan Yang Jamaah

Arogan, mungkin adalah kata yang tepat untuk menggambarkan mahasiswa yang sekarang memegang tampuk kepemimpinan di KMSJ dan badan-badan di bawahnya. Tidak pernah peduli pada kepentingan bersama. Hanya mencari penyaluran hasrat kreatifitas dengan caranya sendiri tanpa berdiskusi dengan mahasiswa lainnya. Padahal, terdapat banyak celah keretakan di dalam organisasi tersebut yang memiliki potensi perpecahan.

Merasa bisa, tapi tidak bisa merasa. Banyak hal yang diputuskan dan menghasilkan celah kecil untuk perpecahan. Tidak ada yang mau mengalah, dan tidak memiliki "rasa saling memiliki" kepada organisasinya. Berulah tanpa tahu apa yang akan dihasilkan ke depannya. Meskipun ada di antara mereka yang masih bisa meminta pendapat pada orang yang tepat. Akan tetapi, orang-orang tersebut adalah minoritas.

Mungkin saja, organisasi yang menempa kedewasaan saya tersebut sudah saatnya menuju liang kuburnya senidiri. Para pemegang tanggung jawab di dalamnya merasa sudah setengah Dewa dan enggan untuk mengambil tindakan untuk menyelamatkan organisasinya sendiri. Bertindak tegas tidak pada tempatnya. Tidak ada perenungan lebih lanjut dari kecacatan yang ada. Saya sebagai alumni, jujur, tidak tega melihat organisasi tersebut. disalahkan, secara tak langsung, untuk menutupi ketidak-mampuan para pemegang tanggung jawabnya.

Perlu sebuah perenungan yang dewasa atas segala kekacauan yang ada di KMSJ. Perenungan dari memahami sejarahnya. Memunculkan "rasa saling memiliki" dari hasil perenungan tersebut. Meminta rujukan saran kepada orang yang tepat. Dan, meminimalisir aroganitas di dalam organisasi. Semoga ada yang membaca tulisan saya ini, dan pembaca itu dari pihak mahasiswa prodi Jawa FIB UI

Rabu, 23 November 2011

Wayang dan Fungsi 'Tuntunan'-nya

Wayang, merupakan warisan budaya dari Indonesia yang sudah diakui oleh dunia. Namun, penggemarnya tidak juga bertambah, justru statis dan tidak terjadi sebuah pengembangan. Pengakuan dunia tersebut tidak membuat wayang diakui dan diminati oleh anak muda. Selain itu, pengakuan dunia tersebut juga tidak mengembalikan fungsi 'tuntunan' pada pergelaran wayang. pengembangan wayang yang terjadi hanya untuk mendatangkan keuntungan secara ekonomi bagi para dalang.

Jika ada yang memajukan atau memodifikasi wayang, maka akan dianggap bertentangan dengan pakem yang sudah ada. Pakem dijadikan sebuah alasan untuk mematahkan semangat pengembangan dan modifikasi wayang, baik segi bentuk atau pergelaran. Padahal, dengan terbatasnya pengembangan tersebut, wayang akan menjadi sebuah benda seni saja. Wayang bukan sekedar benda seni. Wayang memiliki fungsi-fungsi lain yang lebih mengedepankan pengembangan pendidikan pada generasi muda. Maksudnya, wayang merupakan sebuah wadah pendidikan yang berazaskan penanaman karakter budaya pada generasi muda.

Terlalu takutnya pada pakem, banyak pengembang wayang berguguran. Padahal, jika dikembangkan dengan mengikuti dinamika zaman, seharusnya wayang mampu dikembangkan dengan pendekatan kekinian. Seperti, menggunakan wayang dalam bentuk superhero atau pahlawan super yang lebih berkenan dengan anak muda. Memodifikasi Wisanggeni, salah satu tokoh wayang asli Jawa, menjadi sebuah superhero dengan kekuatan sinar laser dari matanya, karena wisanggeni memiliki kekuatan mata yang mampu membakar lawannya, atau memodifikasi Antareja, tokoh wayang asli Jawa, menjadi tokoh superhero, yang memiliki kekuatan berubah menjadi naga atau bersenjatakan racun yang mampu melumpuhkan musuh.

Memodifikasi juga harus dengan pemahaman konsep dasar atas penokohan dari tokoh wayang yang hendak diangkat. Jangan sembarangan memodifikasi, karena akan menghilangkan esensi dasar dari karakteristik tokohnya. Dengan hilangnya esensi tokoh, maka akan mereduksi pembelajaran budaya di dalamnya. Selain itu, hal tersebut juga akan menghilangkan sejarah munculnya tokoh tersebut. Jangan asal dalam memodifikasi wayang.

Penggambaran wayang harus juga dengan esensi dasarnya. Agar, generasi muda dapat memahami esensi 'tuntunan' dari wayang. Memodifikasi dengan 'asal-asalan' hanya akan menjauhkan generasi muda dari upaya memahami budayanya. Padahal, budaya lokal Indonesia memiliki banyak nilai-nilai pendidikan yang baik untuk generasi muda. Memberikan pemahaman mengenai kesadaran toleransi, baik toleransi suku maupun agama. Toleransi atas pluralisme dan multikulturalisme bangsa Indonesia.

Upaya 'Menghomogenkan' Pola Berpikir Generasi Muda Dari Pihak Tertentu

Indonesia sudah mulai sulit untuk menghargai sesuatu hal yang berbeda. Ada saja konflik yang terjadi lantaran terjadinya sebuah perbedaan, baik agama maupun suku bangsa. Toleransi sudah dikesampingkan dan tidak dijadikan dasar didikan bagi generasi muda. Hal itu terjadi karena, adanya upaya segelintir kelompok di Indonesia yang berupaya 'menghomogenkan' pola pikir dan pandangan generasi muda.

Dasar upaya tersebut biasanya hanya untuk kepentingan kelompok tersebut. Kepentingan politik, ekonomi, maupun sosial bagi kelompok yang bersangkutan. Padahal, kelebihan dari kebudayaan yang ada di Indonesia adalah pendidikan terhadap toleransi atas pluralisme dan multikultur di Indonesia. Memang, dalam sebuah masyarakat yang homogen lebih mudah diatur. Akan tetapi, hal tersebut akan menghilangkan estetika kebangsaan Indonesia.

Negara Indonesia bukanlah milik satu agama atau satu suku bangsa saja. Indonesia menjadi indah dan rupawan karena warna-warni keberagaman. Kemajemukan yang akhirnya menjadi pelangi bangsa Indonesia akan tereduksi menjadi sebuah pandangan munafik. Pandangan yang hanya akan memunculkan konflik-konflik intern Indonesia. Konflik yang akan meruntuhkan kesatuan Indonesia.

Ada baiknya masyarakat Indonesia meruntuhkan aroganitasnya untuk melihat, merenungi, dan memaknai kemajemukan bangsa ini. Kemajemukan yang semakin hari semakin tereduksi, dan akan mati secara mengenaskan. Indonesia hanya akan terkenang dengan segala kemunafikan dan hanya menjadi noda kecil dalam lembar sejarah dunia, jika kemajemukan disingkirkan dari Indonesia.

Untuk itu, perlu pembangkitan kembali paham toleransi, salah satunya melalui media wayang. Karena, wayang merupakan cerminan masyarakatnya. Wayang juga bukanlah milik suku Jawa saja, melainkan milik bangsa Indonesia secara menyeluruh. Fungsi 'tuntunan' tersebut juga harus dihidupkan kembali, melalui pemodifikasian yang tidak mereduksi nilai-nilai ajaran dalam wayang. Tugas itu bukan hanya milik generasi tua ataupun generasi muda, melainkan tugas seluruh masyarakat Indonesia. Menumbukan sikap ke-Indonesia-an melalui ajaran pendidikan. Oleh karena itu, hendaknya para pendidik mendidik dengan dasar budaya, dan masyarakat harus mampu menyerap esensi pembelajaran nilai-nilai adiluhung kebudayaan dan menurunkannya dengan bijak ke generasi penerus.

Selasa, 06 September 2011

Gelar Di Atas Luka


Indonesia sedang memendam amarah lebaran kali ini. Amarah yang dipacu oleh perbuatan sebuah instansi pendidikan yang membawa nama Indonesia dalam nama besarnya, Universitas Indonesia. Perbuatan tersebut ialah pemberian gelar Honoraris Causa (HC) kepada raja Arab Saudi, Raja Abdullah bin Abdul Aziz al-Saud, dalam bidang Perdamaian Global dan Kemanusiaan.

Pemberian gelar tersebut menyulutkan kemarahan masyarakat Indonesia, karena gelar perdamaian yang disematkan langsung oleh Rektor UI, Gumilar R. Somantri,  tersebut tidak sesuai dengan perlakuan pemerintah Arab Saudi kepada Tenaga Kerja Indonesia (TKI), terutama Ruyati. 

 Sekedar mengingatkan, kasus Ruyati berawal dari terbunuhnya majikan perempuan Ruyati, Khairiya Hamid binti Mijlid, oleh Ruyati dengan pisau daging pada 10 Januari 2010. Setelah itu, Ruyati menjalani persidangan pertama pada bulan Mei 2010 dan terancam hukuman qisas atau hukuman setimpal dengan perbuatannya. Barulah pada April 2011, pemerintah Indonesia bergerak dengan mengirim Mentri Hukum dan HAM, Patrialis Akbar, untuk melobi pemerintah Arab Saudi. Akan tetapi, lobi yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia tidak digubris oleh Arab Saudi, dan pada bulan Mei 2011 Ruyati diadili kembali dan dijatuhi hukuman qisas. Ruyati kemudian dieksekusi pada tanggal 18 Juni 2011 di Mekkah dan langsung dimakamkan di Arab Saudi. 

Kasus Ruyati tersebut sangat mengiris hati rakyat Indonesia. Pasalnya, alasan-alasan atau alibi yang diutarakan oleh Ruyati dan lobi-lobi yang dilakukan oleh Menkum, Patrialis Akbar, tidak digubris. Sikap arogan yang ditunjukkan oleh pemerintah Arab Saudi bertolak belakang dengan dasar pemberian gelar kepada raja Arab oleh UI, yakni Perdamaian Global dan Kemanusiaan.

Dasar pemberian gelar tersebut kepada raja Arab disebabkan oleh sikap raja Arab yang berbuat banyak atas kelaparan di Somalia. Akan tetapi, apakah perbuatan pemerintah Arab kepada bangsa Indonesia setimpal? Sudah terlalu banyak luka yang ditorehkan Arab Saudi daripada menolong bangsa lain. Dasar yang sungguh berbanding terbalik dengan derita TKI. Sikap UI dengan pemberian HC tersebut tidak pantas.

Sikap yang diperlihatkan oleh UI, melalui pemberian HC tersebut, menampakkan bahwa sudah memudarnya pertimbangan nurani dalam sebuah penghargaan keilmuan. Meskipun, proses penetapan tersebut jauh sebelum kasus Ruyati terjadi. Seharusnya UI beserta tim penentu pemberian gelar juga menggunakan nuraninya. Apakah pantas Raja Arab Saudi mendapatkan HC kemanusiaan jika ia menutup mata atas nasib warga negara lain yang sedang mencari nafkah di negaranya? Kasus Ruyati bukanlah satu-satunya, hanya saja kasusnya menjadi pemicu kemarahan masyarakat Indonesia.

UI sebagai sebuah instansi pendidikan dan keilmuan hendaknya tidak hanya menggunakan logika saja. Karena, ilmu tanpa nurani sama saja omong kosong dan nurani tanpa ilmu adalah kebodohan. Ilmu dan nurani harus berbanding, akal dan hati harus berimbang untuk menjadikan ilmu bermanfaat. Memberikan gelar kepada raja Arab menunjukkan bahwa UI telah mengingkari bangsa dan melukai hati para TKI.

Ilmu dan nurani harus seimbang dan berimbang. Ilmu yang melupakan nurani hanya akan melukai, dan nurani tanpa ilmu hanya akan memberikan kepolosan tanpa logika. Sikap UI ialah contoh ketidakseimbangan antara nurani dengan ilmu. Sebuah instansi dengan nama Indonesia di dalamnya hanya menggores luka pada bangsa sendiri.

Minggu, 21 Agustus 2011

Manusia Bermanfaat Dalam Konsep Ki Hadjar Dewantara

Masyarakat secara umum pasti sudah sering mendengar ungkapan tut wuri handayani. Ungkapan tersebut merupakan ungkapan yang berasal dari seorang tokoh nasional, yakni Ki Hadjar Dewantara. Sebenarnya ungkapan yang menjadi slogan di dunia pendidikan Indonesia tersebut bukan muncul satu ungkapan saja, melainkan berasal dari sebuah trilogi ungkapan, yakni Ing ngarsa sung tuladha, Ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.

Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani merupakan ungkapan yang memiliki satu kesatuan makna.  Ungkapan tersebut jika diartikan dalam bahasa Indonesia memiliki arti 'yang di depan menjadi teladan, yang di tengah membangun kehendak, dari belakang turut memberi daya atau semangat' (sumber: St. S. Tartono. Pitutur Adi Luhur: Ajaran Moral dan Filosofi Hidup Orang Jawa). Maksudnya, seorang manusia harus bermanfaat di manapun posisinya.

Ketika ia sedang di depan (menjadi seorang pemimpin atau guru) ia harus menjadi teladan dan contoh bagi murid dan anggotanya. Karena, orang-orang yang berdiri di belakangnya akan mengacu padanya yang sedang berada di depan. Selain itu, ketika di depan hendaknya selalu melihat ke belakang untuk menata langkah selanjutnya, agar langkah yang sudah dibuat tidak menjerumuskan orang yang mengikuti di belakang.

Lalu kedua, ketika sedang berada di tengah-tengah (dalam sebuah kelompok) maka manusia hendaknya mampu mengkondisikan suasana, sehingga suasananya menjadi kondusif. Akan lebih baik jika seorang manusia mampu membuat suasana di sekelilingnya menjadi suasana positif. Kekuatan positif yang terlahir dalam sebuah kelompok akan membawa dampak baik bagi kelompok tersebut dan memberikan pengembangan diri bagi anggota kelompoknya, baik secara individu atau secara kelompok keseluruhan.

Terakhir, ketika manusia sedang berada di belakang bukan berarti ia harus menjadi pengikut semata. Ketika manusia di belakang ia juga memiliki andil, yakni sebagai pendorong orang-orang di depannya agar tidak pantang menyerah. Selain itu, ia juga memiliki peran untuk mempelajari kesalahan orang di depannya agar kesalahan tersebut tidak terulang dan menjadi regenerasi orang-orang yang sudah pernah berada di depannya. Tanpa ada orang di belakang maka tak ada orang yang di depan (pemimpin).

Oleh karena itu, dalam trilogi ungkapannya, Ki Hadjar Dewantara menanamkan sebuah harapan bahwa bangsa Indonesia mampu menjadi bangsa yang bermanfaat secara individu maupun dalam kelompok. Menjadi pembakar semangat positif dan mendorong pengembangan diri pada bangsa sendiri. Trilogi ungkapan tersebut hendaknya tidak dipisah, karena maknanya akan jauh berbeda.

Senin, 01 Agustus 2011

Hadapi Realita, Wahai Garuda

Baru saja Indonesia menang atas Turkmenistan dan melaju ke babak tiga besar. Namun, langkah Indonesia untuk menuju piala dunia 2014 di Brazil masih panjang. Masih ada lawan-lawan yang sudah menjadi langganan piala dunia di asia, seperti Jepang, Korea Selatan, Australia, Iran, dan Cina.

Skor agregat 5-4 bukanlah hasil yang memuaskan, meski itu merupakan usaha keras para punggawa tim Garuda. Banyak bagian yang harus diperbaiki. Terutama fisik dari para pemain agar mampu bermain penuh selama 90 menit. Terlihat dalam pertandingan melawan Turkmenistan yang lalu, para pemain sudah kelelahan di pertengahan babak kedua. Fisik yang terkuras sebelum 90 menit pertandingan merupakan pekerjaan rumah tambahan, selain kekompakan tim.

Lupakan Kejayaan, Jalani Realita

Jika memang ingin Indonesia masuk ke dalam pentas dunia sepakbola, maka lupakan bahwa tim Garuda pernah berkompetisi di dalamnya, meski dengan nama Hindia-Belanda. Mengingat-ingat kejayaan yang sudah memfosil tersebut hanya akan membuat mental punggawa merah putih menjadi manja.

Berada satu grup dengan Qatar, Bahrain, dan Iran merupakan sebuah tantangan baru. Iran termasuk langganan berlaga di ajang piala dunia, sedangkan Qatar dan Bahrai juga tidak dapat diremehkan. Melawan ketiga negara tersebut merupakan sebuah realita berat yang harus dihadapi oleh tim Garuda. Untuk mampu menang, tim merah putih harus mampu bermain penuh selama 90 menit dan mampu bermain ball positioning dengan baik.

Selain itu, harus diingat bahwa kemenangan sebuah tim tidak hanya kerja keras satu orang saja, melainkan kerja keras satu tim. Kerja sama, dan tidak egois dalam menguasai bola. Kesalahan kecil saja dapat merusak tempo permainan, jadi pemain harus mampu menjaga tempo permainan.

Satu hal lagi yang harus diingat, yakni bermain bola bukan karena mengejar target atau sebuah beban, bermainlah karena memang diri menyenangi dan mencintai olahraga tersebut. Jangan jadikan kemenangan target, namun jadikan kesenangan sebuah alasan. Bermain dengan hati yang gembira akan memberikan kekuatan untuk berusaha sampai akhir dan berani menerima kekalahan. Maju dan hadapi realita. Indonesia bisa dan Indonesia jaya.

Kamis, 28 Juli 2011

Nasdem Menyerang

Partai Nasional Demokrasi (Nasdem) merupakan partai politik yang baru saja mendeklarasikan dirinya. Saya tidak terlalu terkejut dengan peralihan Nasdem dari organisasi masyarakat (ormas) menjadi partai politik. Pengetahuan saya mengenai partai tersebut memang tidak banyak, akan tetapi sudah menjadi rahasia umum bahwa partai tersebut dicetus oleh Surya Paloh, pemilik dari salah satu stasiun televisi Metro TV.

Ada hal yang lucu jika saya melihat berita di Metro TV akhir-akhir ini. Pembahasannya, memang aktual, selalu saja mencoba menjatuhkan citra partai lainnya. Dua partai, asumsi saya, yang sedang diserang ialah Demokrat karena kasus Wisma Atlet atau lebih akrab disebut kasus Nazaruddin, dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) karena kasus perseteruan Gubernur Jawa Tengah, Bibit Waluyo, dan Walikota Solo, Joko Widodo.

Saya melihat bahwa serangan-serangan tersebut memang sangat blak-blakan untuk mengeruk simpati masyarakat. Pemberitaan yang terlihat sebagai kendaraan politik semacam itu memang memuakkan, namun memang tak ada yang melarang. Manuver pemberitaan yang menjatuhkan citra kedua partai tersebut termasuk terlalu takut menantang secara gentleman. Selain itu, cara semacam itu menjadi terlalu kotor, walaupun politik itu kotor, dan hanya terlihat tidak membela rakyat.

Bagi saya, sudah tidak ada partai politik yang pantas untuk memenangkan hati rakyat. Semua mempunyai keyakinan kesempurnaan, namun selalu menutupi kebobrokan. Berusaha mengejar citra, tapi lupa kebutuhan rakyat. Cukup mengumbar citra, bukan citra yang dapat mengenyangkan rakyat.

Melihat partai Nasdem, komentar saya hanya satu, Nasdem akan menjadi partai yang stabil. Masalah menang atau kalah, lihat nanti. Nasdem stabil karena sudah mendapat sokongan media yang sudah cukup berketerima di masyarakat banyak. Jika tidak ada Metro TV, mungkin saja belum tentu Nasdem menjadi partai stabil, langkahnya akan sedikit sulit.

Saran saya hanyalah lebih baik memilih untuk tak memilih partai. Jika, memang partai politik di Indonesia hanya berisikan kepentingan kelompok saja. Dan jika, partai politik selalu bermandikan "lumpur", melupakan bermain "bersih". Tidak memilih juga merupakan sebuah pilihan, hak setiap individu.

Investasi Pada Garuda Muda

Merinding. Bulu kuduk berdiri saat lagu Indonesia Raya berkumandang di Stadion Gelora Bung Karno (GBK), meskipun saya menontonnya di rumah. Sebuah ciri khas suporter Indonesia yang sulit dibandingkan dengan suporter lainnya di dunia.

Merah selalu bangku penonton di Stadion GBK saat Indonesia melakukan laga kandang. Mungkin itu untuk menunjukkan bahwa Indonesia menyatakan kepada lawan "Ini Kandang Kami!!!". Hal itu bukan berarti Indonesia hanya jago kandang, melainkan Indonesia memiliki pasukan perang sepak bola tak hanya pemain, melainkan seluruh rakyat Indonesia.

Banyak hal yang terjadi di dunia sepak bola nasional, tahun kemarin dan sekarang. Mulai dari kisruh Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI), hingga bersatunya seluruh rakyat Indonesia, tidak ada jenjang atau kelas sosial, di stadion GBK hanya untuk mendukung tim Garuda. Sebuah rangkaian peristiwa yang, mungkin, akan mendewasakan dunia persepakbolaan Indonesia.

Menuju Panggung Dunia

Perkembangan Indonesia memang jauh dari sempurna. Namun, ada keyakinan bahwa pasti suatu saat, entah kapan, Indonesia akan menuju panggung dunia. Saat ini, Indonesia masih peringkat 137 dunia atau 21 Asia (sumber: website FIFA,http://www.fifa.com/associations/association=idn/ranking/gender=m/index.html). Sebuah perjalanan panjang yang harus ditempuh dengan kerja keras bersama, dari PSSI maupun rakyat pencinta sepakbola Indonesia.

Hal yang sering luput dalam pengamatan adalah persiapan bibit muda penerus. PSSI, sebagai lembaga yang mewadahi sepakbola Indonesia, harus berani melakukan investasi pemain muda. Sederhana saja caranya, berani mengirimkan bibit muda untuk bersekolah di klub bertaraf dunia. Biasakan bibit muda untuk merasakan atmosfer sepakbola yang bergejolak dan keras. Lihat saja Javier "Chicarito" Hernandez, pemain muda Meksiko yang merumput di klub Manchester United, Inggris, atau Lionel Messi, pemain Argentina, merupakan jebolan Akademi Sepakbola Barcelona FC.

Biarkan Garuda muda untuk berkembang di luar, bila perlu beri modal, karena akan membawa dampak positif bagi permainan Timnas. Selain itu, dengan terbiasa bermain dengan gaya Internasional, maka mental pemain tersebut juga akan menjadi lebih baik. Apalagi jika anak bangsa tersebut dapat mendapat tempat dalam klub bermental juara, seperti MU, Barcelona, Real Madrid, dan tim-tim lainnya.

Menginvestasikan dana pada regenerasi akan lebih baik daripada hanya pada klub saja. Memberi kesempatan untuk belajar pada pemuda, maka akan memberikan rotasi usia yang cepat, dan jika memang ada anak muda yang bermain apik, jangan sungkan untuk berikan tempat di Timnas.

Garuda muda merupakan buah yang akan baik jika ditanam dengan baik. Berikan lahan yang bagus, berikan pendidikan berkualitas, dan berikan kesempatan yang tepat. Maka, bukan khayalan lagi Indonesia akan menuju panggung dunia, kompetisi Piala Dunia.

Sabtu, 23 Juli 2011

Kemandirian Untuk Kemajuan

Salah satu kebiasaan rakyat di Indonesia ialah selalu menyalahkan pemerintah, namun tidak ada yang mau maju ke depan untuk membereskan masalah dengan efisien. Jika memang pendidikan itu mahal, mengapa tidak rakyat membuat sebuah beasiswa mandiri dari urunan orang tua murid? Atau jika memang sembako mahal, kenapa membiarkan petani sendirian mengurus padi?

Kemandirianlah yang sering dilupakan oleh rakyat negeri ini. Karena sering menyalahkan pemerintah, rakyat negeri ini menjadi manja. Rakyat menjadi terlalu bergantung kepada pemerintah dan tidak mampu untuk mandiri. Kemanjaan rakyat yang seperti itulah yang akhirnya membuat negeri ini susah untuk berkembang.

Untuk memajukan negeri ini harus dimulai dari kemandirian rakyatnya. Mulai dari hal kecil, misalnya menyelamatka anak-anak yang putus sekolah karena tak punya biaya, atau memberikan bantuan kepada petani untuk mengembangkan kualitas padinya. Lakukan dari yang sederhana saja, hal kecil yang selalu dilupakan oleh orang kebanyakan.

Menjadi mandiri di berbagai bidang akan membantu program pemerintah untuk memajukan negeri ini. Memang terkadang ada saja oknum yang dapat menyulitkan, misalnya ada saja oknum mengatasnamakan bank untuk pinjaman dana usaha yang akhirnya hanya membelit para pengusaha dalam utang yang besar karena tidak memberikan pengetahuan masalah sistem pengkreditan. Oknum-oknum penghambat semacam itu tidak harus menghentikan langkah untuk menjadi mandiri.

Agak sulit memang untuk mengajak seluruh masyarakat untuk mandiri. Namun, jika memang ada niat dalam diri, lakukan saja dari segelintir orang. Mulai dari hal kecil, karena hal kecil adalah penopang untuk sesuatu yang besar. Mulailah dari kemandirian diri, barulah mengajak kemandirian masyarakat. Hentikan kebiasaan menyalahkan sesuatu untuk kesengsaraan diri sendiri.

Senin, 18 Juli 2011

Lima Dasar Untuk Masa Orientasi atau Inisiasi

Masa orientasi pada awal masuk ke dalam instansi pendidikan (SMP, SMA, ataupun Perkuliahan) selalu dikaitkan dengan aksi teror mental. Padahal, masa orientasi tersebut penting bagi peserta didik yang baru saja masuk untuk mengenal lingkungan barunya. Terjadinya pola pikir bahwa masa orientasi adalah wadah penindasan mental didasari oleh oknum-oknum tidak bertanggung jawab.

Untuk membuat atau melaksanakan proses masa orientasi atau inisiasi perlulah diperhatikan beberapa hal. Pertama ialah konsep dasar dari acara tersebut. Konsep dasar perlu dipahami ketika ingin mengadakan acara semacam masa orientasi siswa (MOS) pada jenjang sekolah menengah pertama (SMP) dan sekolah menenah atas (SMA), dan inisiasi atau malam keakraban (Makrab) pada jenjang perkuliahan. Dalam acara orientasi harus ada sebuah konsep dasar yang akan disampaikan kepada peserta didik baru. Tidak harus rumit, cukup sederhana dan sangat dasar. Seperti, kekeluargaan, kekompakan, kebersamaan, dan lain sebagainya. Konsep dasar diperlukan untuk menetapkan aturan pada di kalangan panitia dan peserta. Pesan yang disampaikan hendaknya sesuai dengan keadaan yang mungkin akan dilalui oleh para peserta didik baru.

Kedua, pemahaman aturan sebab dan akibat. Untuk melatih mental dari peserta hendaknya memahami sebab dan akibat yang terjadi dari tindakan panitia. Tidak ada alasan panitia untuk memarahi peserta, harus ada alasan yang logis dan tidak menjurus kepada rasa tidak senang secara individu. Misalnya, panitia berhak untuk menertibkan peserta jika peserta berlau kasar pada panitia, atau saat peserta tidak menjalankan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam aturan acara.

Ketiga, berlakukan hukum reward dan punishment. Perlunya hukum tersebut ialah untuk memberikan pendidikan mental mengenai tanggung jawab dan bekerja secara ikhlas dalam kelompok. Berikan peserta sebuah penghargaan jika memang ia mengikuti segala aturan atau acara yang sudah dibuat oleh panitia, dan berikan peserta hukuman, bukan hukuman fisik melainkan hukuman logis, jika peserta tidak mengikuti aturan dan alur acara yang sudah dibuat oleh panitia.

Keempat, pengaturan penggunaan tensi. Saat melakukan orientasi biasanya terdapat penggunaan tensi. Panitia yang baik ialah tahu kapan ia menggunakan tensi lembut dan kapan menggunakan tensi tinggi. Aturan untuk tensi berkaitan dengan hukum sebab dan akibat, dan reward dan punishment. Tidak ada tensi yang tinggi hanya untuk kesalahan yang tidak logis atau kesalahan kecil. Dengan mengacu pada dua hukum tersebut, maka pelaksanaan pengaturan tensi akan terkondisi.

Dan kelima, pemahaman kekeluargaan. Maksudnya ialah antara panitia dan peserta harus dilepaskan dari bayanganantara senior dengan junior. Seharusnya ialah perasaan kekeluargaan, seperti seorang kakak ke adik dan lain sebagainya. Sehingga, batasan antara panitia dan peserta tidak vertikal, melainkan horisontal, dan akan mengakrabkan satu dengan yang lain.

Jika penerapan kelima hal tersebut dapat dijalankan oleh panitia yang hendak melaksanakan masa orientasi pada anggota baru di kelompoknya, maka tujuan positif dari acara tersebut akan tersampaikan dengan baik. Selain itu, perlindungan pada peserta akan terjadi dari oknum-oknum tidak bertanggung jawab.

Rabu, 29 Juni 2011

Kredit Kendaraan dan Perbaikan Infrastruktur

Kemacetan di Jakarta sudah menjadi hal biasa. Sudah menjadi sahabat bagi para pegawai di pagi hari kala menuju kantor. Segala upaya dari Pemerintah Kota (Pemkot) Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta. Baik dari pelebaran jalan, hingga upaya pembuatan jalan layang. Namun, kemacetan masih saja menghantui jalanan ibukota.

Sebenarnya, kemacetan terjadi di Jakarta bukan hanya dilihat dari kualitas infrastruktur jalan raya saja. Ada hal lain yang harus diperhatikan juga, salah satunya ialah jumlah kendaraan pribadi. Pertumbuhan pengguna kendaraan pribadi tak terkontrol, baik kendaraan roda dua maupun roda empat, dan menyebabkan jalan-jalan yang sudah diperlebar kembali sesak.

Mudahnya masyarakat untuk mendapatkan kendaraan, melalui kredit, merupakan salah satu faktor tumbuhnya pengguna kendaraan pribadi meledak. Dengan kredit, masyarakat menjadi terlalu mudah mendapatkan kendaraan pribadi. Kemudahan tersebut semakin dipermudah oleh penyedia jasa kredit yang tidak ketat dan tidak selektif. Sehingga, banyak masyarakat yang menyepelekan tunggakan kredit mereka dan cenderung bergonta-ganti kendaraan, khususnya roda dua, setelah kreditnya macet.

Lalu, kendaraan yang diambil karena kreditnya macet kemudian ditawarkan kepada orang lain dengan status over-credit, atau kendaraan tersebut dilelang. Perputaran tersebut hanya akan meciptakan lingkaran setan kredit. Mengambil kredit, tak sanggup bayar, kendaraan ditarik dealer, cari kendaraan over-credit­, tidak mampu bayar, ambil kredit lagi, dan seterusnya berputar lagi dari awal. Sekali sudah masuk dalam lingkaran setan kredit, maka akan sulit terlepaskan.

Lingkaran setan kredit akan menghasilkan masyarakat konsumtif. Konsumtif atas kepemilikan kendaraan pribadi yang termudahkan oleh sistem kredit tanpa pengawasan akan menyebabkan terus meledaknya jumlah kendaraan pribadi di jalan raya. Semakin banyak kendaraan pribadi maka akan terus menyebabkan kemacetan.

Oleh karena itu, perlu diaturnya penyelenggaraan kredit kendaraan pribadi. Mulai dari sistem penyeleksian ketat pada yang mengajukan kredit, dari data-data administrasinya hingga survai kelayakan keuangannya. Selain itu, seleksi tersebut juga harus disertai data-data objektif tanpa ada rekayasa, sehingga tidak ada pungutan liar (pungli) antara surveyor dengan calon pengaju kredit.

Untuk mendukung proses penyeleksian, pemerintah harus turun tangan dalam pengawasan alur kredit. Sistem pengawasannya harus dilakukan setiap bulannya agar penyelenggaraan kredit dapat terpantau perkembangannya. Jika sudah terlalu banyak pengaju kredit yang sudah lulus seleksi, maka hendaknya tim pengawas tersebut menghentikan pemberian kredit. Hal itu perlu dilakukan untuk mengontrol laju pertumbuhan kendaraan pribadi.

Perbaikan (Kualitas) Infrastruktur Jalan Raya

Setelah laju pertumbuhan kendaraan pribadi ditekan, maka langkah selanjutnya ialah memperbaiki kualitas infrastruktur jalan raya. Jika ada infrastruktur jalan yang sudah layak, hendaknya diperbaiki dan ditingkatkan kualitasnya. Terkadang jalanan yang sudah rusak hanya ditambal saja.

Penambalan jalan tersebut hanya akan menyebabkan potensi kecelakaan meningkat. Seharusnya, jalanan yang sudah rusak diperbaharui saja. Meskipun memperbaharui jalan membutuhkan dana besar dan waktu yang lama. Akan tetapi, pembaharuan jalan akan lebih aman dan juga meningkatkan kualitas infrastruktur jalan raya.

Akan tetapi, ada hal yang ditakutkan, yakni pengkorupsian dana untuk memperbaharui jalan raya. Praktek korupsinya sangat halus dan sulit terlacak. Karena, prakteknya bukan dari penggelapan dana, melainkan memainkan kualitas bahan baku untuk pengadaan jalan raya tersebut. Sehingga, jalan raya yang sudah dibuat hanya akan kuat untuk jangka pendek, dan cenderung rentan untuk rusak.

Tindakan korupsi semacam itu tidak hanya memberikan kerugian dalam jumlah uang, akan tetapi juga akan menyebabkan potensi kecelakaan bertambah. Pengawasan untuk hal ini bukan ada di data pengajuan dana, namun saat pembelian bahan baku dan menetapkan standar kualitas bahan baku. Untuk pengawasan diperlukan ahli-ahli bidang infrastruktur, arsitektur, dan kimia.

Ahli infrastruktur diperlukan untuk menentukan jenis-jenis jalan raya yang cocok untuk dibangun, ahli arsitektur diperlukan untuk menentukan desain jalan raya yang sesuai untuk kontur kota Jakarta, dan ahli kimia diperlukan untuk menentukan bahan-bahan berkualitas untuk membangun infrastruktur tersebut.

Ahli-ahli tersebut dibutuhkan demi terciptanya kualitas jalan raya yang bagus dan kuat. Sayangnya, banyak sekali orang yang sudah menekuni dan ahli di bidang tersebut tidak mampu berinovasi, terkadang menyerah pada nasib untuk bekerja di bidang lainnya. Padahal, jika sarjana-sarjana bidang tersebut mau berupaya berinovasi, maka mereka akan dapat bekerjasama untuk menciptakan infrastruktur jalan raya yang berkualitas.

Infrastruktur yang berkualitas akan menopang keberlangsungan alur transportasi di Jakarta. Tertopangnya hal tersebut maka akan menghasilkan infrastruktur yang kuat dan mampu bertahan dalam jangka waktu lama. Lalu, kelancaran arus kendaraan juga akan nyaman, dan kemacetan yang sudah terkontrol dari pengendalian kredit kendaraan bermotor akan menjadi lancar serta nyaman untuk dilalui oleh masyarakat Jakarta.

Minggu, 27 Maret 2011

Listrik Prabayar Lebih Praktis

Baru saja kamar kos-kosan saya di Depok dipasangkan sebuah alat meteran listrik prabayar. Awalnya saya tidak paham mengenai listrik prabayar yang merupakan salah satu program hemat energi dari Perusahaan Listrik Negara (PLN). Namun, setelah medengarkan penjelasan dari petugas pemasangan meteran tersebut, dapat saya bayangkan bahwa sistem listrik prabayar cukup praktis dan memang menghemat pengeluaran untuk listrik perbulannya.

Program pemerintah tersebut sangat memudahkan warga untuk mengontrol penggunaan listrik. Karena, warga dapat mengatur pengeluaran untuk listrik dengan cermat. Jika sedang tidak dipakai, pengguna listrik prabayar tidak perlu takut akan diputus listriknya, dan tidak perlu takut rekening listrik menggemuk karena penggunaan listrik yang tidak perlu.  Selain itu, pembelian pulsa untuk listrik juga mudah karena dapat dibeli di tempat-tempat yang mudah dijangkau, bahkan juga dapat dibeli di ATM bank yang berkerjasama dengan program tersebut.

Cara memasukkan pulsa untuk listrik juga mudah. Sama saja seperti memasukkan pulsa untuk handphone atau pun modem internet. Hanya saja tempat pembeliannya saja yang berbeda. Untuk pembelian voucher pulsa listrik dapat dibeli di kantor pos terdekat, kantor PLN, dan beberapa teller bank yang berkerjasama  dengan PLN. Cukup mudah dan efisien.

Untuk mengikuti program listrik prabayar tersebut, dapat berkonsultasi ke kantor PLN terdekat. Jika ada pertanyaan, segeralah tanya dan dipertimbangkan sebelum mengambil program listrik prabayar. Cara semacam ini merupakan salah satu upaya untuk menghemat. Saya merasa bahwa program ini cukup menarik dan mungkin akan memiliki kans untuk berkembang lebih baik.

Sabtu, 26 Februari 2011

Arcapada: Bagian II: Gua Cermin Hati


Sayup-sayup terdengar suara kicau burung, merdu laksana alunan simfoni kehidupan. Suara jam wekerku kini tak kudengar, dan mataku tak lagi menatap langit-langit kamar kos-kosan, ternyata aku masih di dalam gua. Kehangatan yang kurasakan semalam, hanya halusinasi.
            Sudah lama memang aku tak bersua dengan ibuku. Semenjak aku hijrah ke Depok, tempat aku berkuliah. Padahal, jarak rumahku hanya berbeda beberapa kilometer dari kampusku. Tapi kini aku berada di tempat yang tak kuketahui, hutan penuh keanehan dalam semalam, dan gua yang membuatku merindukan rumah serta keluarga.
            Ku coba bangkitkan tubuhku yang masih merasa lelah. Aku mencari sebuah petunjuk, di manakah keberadaanku kini. Sejauh mataku memandang, hanya dinding gua yang dipenuhi lumut dan ilalang-ilalang. Ku coba mencari sinar pelangi yang menuntunku ke gua ini, namun ia tela sirna, hilang bersama terbit sang mentari. Tak ada penunjuk arah, aku pun berjalan menyusuri gua, menuju jauh ke dalam.
            Kaki ini melangkah tanpa tujuan di dalam gua. Semakin kaki ini melangkah, semakin gelap suasana sekitar. Mata tak dapat lagi melihat apapun di depan raga ku. Hanya rabaan tanganku yang menuntun ke mana arah kaki ini melangkah. Jauh di lubuk hatiku, aku yakin, di dalam gua ini semua pertanyaanku selama ini akan terjawab. Aku yakin.
            Bermodalkan keberanian dan benda yang ku pungut di hutan, tongkat dan medali garuda, aku terus menuju dasar gua. Jantung berdegup kencang, khawatir ada bahaya menghadang. Namun, semua itu ku coba untuk sirnakan dari lubuk pikiran. Terkadang, aku disana suara-suara tak berwujud, membuat aku getir menyambut asal suara itu. Terdenganr sangat kecil suara berdecit, mungkin itu tikus. Membuang rasa takut, menjauhi rasa khawatir, aku terus melangkah, mencari jawaban keberadaanku di tempat yang asing ini.
            Setelah kira-kira dua jam lewat, aku sudah sampai di perut gua. Sebuah ruangan yang sangat luas dengan sebuah istana di dalamnya. Istana dengan warna putih disertai ornamen-ornamen berupa patung garuda dengan warna merah dan emas. Istana itu begitu terang, seakan-akan menjadi sumber cahaya di dalam gua ini. Di tengah-tengah istana tersebut, terlihat sebuah menara tinggi menjulang hingga hampir menyentuh langit-langit gua. Di dinding menara tersebut terdapat sebuah ukiran batu bergambar garuda yang serupa dengan gambar garuda yang ada di medali dan tongkat di genggamanku.
            Terlihat cahaya benderang berterbangan di sekitar istana itu, sangat indah. Dari balik cahaya itu, muncul seorang gadis yang melekat dalam ingatan. Dia gadis yang hadir dalam mimpi-mimpi burukku, ya itu memang dia.
“Selamat datang, Gibran”, ujar gadis itu dengan tenang.
“Siapa kau? Kenapa kau tahu namaku?”, tanyaku tanpa jeda.
“Akan ku jelaskan semuanya di dalam”, jawabnya singkat, “Mari”. Gadis itu berjalan menuju istana yang megah itu. Aku pun mengikutinya hanya ingin mendengar jawaban sebenarnya dari gadis itu.
            Memasuki gerbang istana, aku melihat banyak patung-patung berukirkan gambar garuda dan simbol-simbol berbentuk api. Ku lihat gadis itu menuju sebuah pintu besar dengan ornamen garuda berwarna merah, ia pun berhenti di depan pintu itu.
“Sebelum kita memasuki ruang Raja, ijinkan saya mengenalkan diri”, ujarnya dengan tenang, “Nama saya Salma, panjangnya Salma Karamy”.
“Lalu, untuk apa saya ada di sini? Mengapa saya?”, tanyaku bertubi-tubi.
“Semua akan dijawab oleh Baginda Raja”. Lalu ia membuka pintu besar itu.
            Begitu pintu itu terbuka, aku melihat sepasang singgasana tepat 10 meter setelah pintu besar itu. Tergelar permadani berwarna merah dan tiang-tiang lilin berornamenkan gambar garuda merah. Ruangan yang begitu megah, dan indah.Terdapat sebuah pancuran kecil di dekat singgasana dengan ornamen mahkota yang besar dan dipenuhi warna emas.
            Pandangan mataku kemudian tertuju pada sebuah lukisan besar di belakang dua singgasana itu. Lukisan tiga ekor burung, Garuda, Merak, dan Cendrawasih. Tiga ekor burung yang saling berhadapan menghadap sebuah titik lingkaran api di tengah lukisan itu. Apa maksudnya? Tak tahu apa maksudnya. Setelah terpukau dengan gemerlap ruangan itu, mataku menuju ke arah pergerakan Karamy yang berjalan perlahan menuju belakang dua singgasana itu.
“Kau lihat lukisan ini?”, tanya Karamy dengan menunjuk lukisan tiga ekor burung itu.
“Ya pastinya”, jawabku singkat, “Memangnya, itu lukisan apa?”.
“Ini lukisan yang melambangkan tiga pendiri kerajaan Agni ini”.
“Oh, jadi aku berada di dunia antah-berantah yang bernama Agni”.
“Ya, dan negeri ini membutuhkanmu”. Kemudian Karamy bergerak perlahan menuju sebuah pintu di samping kanan lukisan itu. “Ikuti aku”, ujarnya.
            Aku pun mengikutinya, dengan tanpa ragu, untuk mendapatkan semua pertanyaan dari dalam benakku. Pertanyaan mimpi burukku.
            Sebuah lorong panjang dengan penerangan berupa lilin namun tak berbatang. Redup, namun terang. Terasa kehangatan yang berbeda dari panasnya lilin. Karamy terlihat santai berjalan, namun dengan aura kebimbangan dalam langkahnya. Seperti sebuah beban berat menahan langkahnya. Terlihat pula siluet murung wajah Karamy, seraya menahan air mata dari lubuk hatinya.
            Langkah kaki Karamy berhenti di sebuah prasasti besar. “Ini adalah prasasti ramalan di negeri kami”, ujarnya sendu.
“Tentang apa prasasti itu?”, tanyaku.
Karamy diam sejenak, lalu berkata, “Kisah dalam prasasti ini adalah tentang orang yang akan menyelamatkan kami”.
“Menyelamatkan dari apa ?”.
“Dari kehancuran total”, jawabnya dengan getir.
Mendengar jawaban Karamy, aku tersentak, dan akhirnya aku tahu rona cemas wajahnya selama dalam mimpiku dan saat aku bertemu dengannya. Sungguh wajah yang membekas penuh kegelisahan.
“Kehancuran?”, tanyaku gemetar, “Siapa yang ingin menghancurkan negeri ini?”.
Karamy berjalan perlahan menuju sebuah tirai di samping prasasti itu. Ia menarik seutas tali besar yang ada di sebelah kanan tirai yang berwarna merah keemasan. Tirai besar itu perlahan terbuka, dan terdapat sebuah lukisan di baliknya. Lukisan yang menggambarkan sembilan ekor monster dengan rupa menyeramkan.
“Mereka yang akan menghancurkan negeri ini, mereka ialah siluman biju”, ujar Karamy.
“Apa itu biju?”, tanyaku penasaran.
“Biar Baginda Raja yang memberitahukan, mari kita beranjak ke tempat raja”. Karamy pun berjalan perlahan menuju belakang prasasti, ternyata ada jalan rahasia di sana. Dengan rasa penasaran, aku mengikutinya. Berjalan dalam sebuah lorong temaram, hanya disinari obor, aku berpikir tentang semua cerita Karamy. Tak masuk akal, namun sepertinya itu sangat mengkhawatirkan Karamy.
            Selang lima menit berjalan, akhirnya aku dan Karamy sampai pada sebuah ruangan berbentuk oval dengan patung di tengah ruangan. Patung sesosok pria berjanggut sepanjang leher, dan dengan ornamen selayaknya raja.
“Apakah ini rajamu, Karamy?”, tanyaku, “Ini hanya sebuah patung, bukan manusia. Bagaimana aku mengerti masalahmu? Jika hanya ada patung yang akan menjelaskan itu semua?”.
Karamy tersenyum dan berkata, “Tunggu saja sebentar”.
Tiba-tiba dari pintu masuk di belakangku melesat sebuah sinar. Sinar pelangi yang mengantarkan aku ke mulut gua. Sinar itu berputar-putar dalam ruangan, dan akhirnya melesat masuk ke dalam patung raja itu. Saat mataku masih terperangah dengan kehadiran kembali sinar itu, patung batu itu kemudian bergerak, seakan-akan ingin melepaskan diri dari belenggunya. Mataku tak dapat berkedip, ku menoleh ke Karamy, dan kulihat, Karamy diam dengan tenang.
            Patung itu retak perlahan, dari balik retakan itu terlihat sebersit warna kulit manusia. Patung itu hidup, pikirku. Retakan itu semakin besar dan pecah dengan teratur. Dan akhirnya, di hadapanku bukan lagi patung, namun sesosok pria berjanggut yang penuh dengan aura kebijaksanaannya.
“Kenapa terdiam, wahai anak muda?”, sapa pria berjanggut yang baru saja keluar dari sesosok patung itu.
“Ini adalah raja kami, Sri Maharaja Odin”, ujar Karamy.
“Odin?”, ujarku.
“Hahahahahahahahahahahahahahahahaha”, tawa Odin menggelegar di ruangan kecil itu. “Ya, aku Odin, Raja dari negeri ini, negeri Agni”.
“Memangnya kenapa kalau engkau adalah seorang raja?”.
Sesaat mendengar pertanyaanku, Odin terdiam. “Hahahahahahahahahahahaha”, tawanya kembali menggelegar, memecah hening beberapa menit yang lalu. “Gibran Anwar, ku pahami kau tak mengerti, karena kita berbeda dunia”. Setelah berkata seperti itu, pria besar dengan tinggi sampai 2 meter itu menghampiri Karamy.
“Karamy, kau sudah menjalankan tugas dengan baik”, ujarnya kepada Karamy disertai tepukan di bahunya.
Karamy kemudian bersimpuh di hadapan Odin dan berkata, “Sebuah kebanggaan bagi hamba, wahai Maharaja Odin”.
Odin kemudian membungkuk dan mengangkat Karamy. “Tak usah terlalu sungkan, aku sama saja sepertimu, hanya seorang manusia, namun dengan tanggung jawab yang lebih besar darimu”, sahut Odin dengan mata penuh kehangatan.
“Hei Odin, kau masih punya hutang penjelasan padaku”, selaku di tengah-tengah pembicaraan Odin dan Karamy.
“Hahahahahahahahahahaha”, tawa Odin. “Maaf, saya lupa ada engkau, Gibran”.
“Kalau sudah ingat, sekarang jelaskan, apa maksudmu menculik saya ke negeri antah-berantah ini”.
Odin kemudian menghampiri singgasana batunya, dan ia menghembuskan nafas yang terasa berat untuk dilepaskan. Sepertinya, cerita yang akan disampaikannya merupakan cerita yang penuh dengan kedukaan mendalam. “Baiklah”, ujarnya, “Aku akan bercerita semuanya”.
            “Semua berawal saat empat kerajaan di negeri ini, yaitu Agni, Bayu, Baruna, dan Antaboga menghadapi sebuah ancaman serius dari seorang penyihir yang bernama Loki. Loki merupakan penyihir yang tersohor akan kekuatan magisnya. Seorang penyihir yang selalu mengenakan jubah berwarna hitam dan selalu membawa tongkat dengan ornamen sayap kelelawar di ujung tongkatnya. Ia memang seorang penyihir yang sakti dan tak terkalahkan. Namun, ia selalu merasa bahwa keempat kerajaan di dunia ini mencemoohnya. Padahal, tidak satupun dari kami yang mencemooh ataupun mengejek Loki. Kami, raja dari masing-masing kerajaan, mencoba untuk menjelaskan kepada Loki, namun semua dimentahkan begitu saja. Loki hanya ingin berdamai dengan empat kerajaan, jika empat kerajaan tersebut tunduk di bawah kuasa Loki. Mendengar hal itu, kami keempat raja sempat bimbang. Kemudian Loki mengatakan, jika ia tidak dapat jawabannya hingga matahari terbenam, maka ia akan menghancurkan keempat kerajaan yang ada di dunia ini. Kami pun semakin bimbang, jika kami melawan Loki, akan sulit untuk menang. Hingga akhirnya, Maharaja Fuujin dari negeri Bayu mengusulkan untuk memanggil pendeta suci dari negeri Persian, Adonis”.
            Odin kemudian bangkit dari singgasananya dan menuju sebuah lukisan di belakang singgasananya. Sebuah lukisan yang remang tidak terlalu terlihat, karena cahaya ruangan yang tak begitu terang. “Kami kemudian mencari Adonis”, ujar Odin dengan serius sembari mengusap-usap janggutnya, “Pencarian kami tidak lama, karena kami sudah tahu di mana keberaaan Adonis. Ia selalu ada di pertapaannya, Svarga”.
            Odin kemudian berbalik menuju singgasananya. “Kami berhasil menemuinya”, ujarnya, “Kami berdiskusi mengenai Loki pada Adonis. Dengan senyumnya, Adonis hanya menyarankan kami untuk membawa dirinya ke hadapan Loki sesaat matahari hendak terbenam. Dan akhirnya kami membawanya dengan secepat mungkin menuju kerajaan Agni, sebagai tempat yang dipilih Loki untuk membawa terornya kembali. Tepat sebelum matahari terbenam, Loki sudah hadir di depan pintu kerajaan ini. Ia terlihat bersama tiga orang kepercayaannya. Di sebelah kirinya terlihat sesosok manusia dengan perawakan sedang, tidak terlalu tinggi dan juga tidak terlalu besar. Ia menggunakan kulit serigala sebagai bajunya, dan dua bilah pisau kecil di pinggangnya. Ia dikenal sebagai Taring Serigala, Fenrir. Lalu, lelaki kedua di sebelah kanan Loki, ia lelaki dengan perawakan lebih kecil dengan selendang terbuat dari kulit ular. Ia membawa tongkat dengan tengkorang kepala ular di atas tongkatnya. Ia juga menggunakan jubah yang bercorakkan kulit ular, dan membawa seekor ular yang melingkar di tangan kirinya. Lelaki itu ialah orang yang dijuluki Ular Berbisa dari Samudra Hitam, Jormungand. Selain mereka berdua, Loki juga didampingi seorang perempuan yang berjalan tepat di belakangnya. Perempuan itu memiliki rambut yang panjang dan terurai. Ia mengenakan baju jubah layaknya Jormungand, namun dengan corak kulit Jaguar. Ia tidak terlalu tinggi, setinggi Loki. Perempuan itu dikenal dengan julukan Ratu Neraka, Hel”.
            “Lalu, hubungan ceritamu dengan keberadaanku di negeri ini apa?”, tanyaku menyelak, “Beri penjelasan bagian itu saja”.
            “Sabar anak muda”, jawab Odin tenang, “Biarkan aku menyelesaikan ceritaku. Ku lanjutkan lagi ceritaku. Loki dan ketiga ajudannya itu sampai di aula kerajaan Agni, Aula Phoenix. Ia dengan tawa liciknya menagih janji kami, keempat Maharaja dari keempat kerajaan di dunia ini. Sebelum kami menjawab tantangan dari Loki, Adonis masuk ke dalam aula dengan tenang dan tanpa gentar. Loki terkejut dengan kedatangan Adonis. Tanpa banyak ucap, Loki dan ketiga ajudannya menyerbu Adonis dengan murka. Namun, Loki dan ketiga ajudannya berhasil dikalahkan oleh Adonis dengan sigap. Fenrir, Jormungand, dan Hel yang terkapar kemudian di bekukan oleh Adonis dengan mantra-mantra yang tidak kami pahami. Sesaat kemudian, Fenrir, Jormungand, dan Hel yang membeku di terbangkan oleh Adonis ke ujung dunia. Tersisa Loki seorang. Adonis kemudian mengutuk Loki dan merampas semua keahlian sihirnya dalam sebuah bola yang dikeluarkannya dari balik jubah putihnya. Loki yang kekuatannya sedang diserap kemudian merapalkan mantra dan akhirnya bola itu pecah dan terbagi menjadi sembilan siluman yang dikenal dengan nama biju. Kesembilan siluman itu terlihat ganas dan menyeramkan dengan jumlah buntut yang berbeda-beda”.
            “Apa yang dilakukan Adonis?”, tanyaku.
            Odin menghela nafas panjang dan ia berkata, “Kemudian Adonis membuat sembilan segel yang ditujukan kepada sembilan biju itu. Ia mengerahkan sihir putihnya dan akhirnya kesembilan biju itu tersegel dalam sembilan buah bola kristal. Melihat hal itu, Loki yang sudah hampir mati berkata bahwa ia akan kembali ke negeri ini dengan sembilan biju-nya dan akan menguasai negeri ini. Sesaat setelah ia mengutuk negeri ini, ia sirna menjadi debu. Mendengar kutukan itu, Adonis kemudian mengambil sebuah kanvas lukis, dan melukis ramalan baik untuk menangkal kutukan Loki. Lukisan itu kemudian diserahkan kepada kami dan ia berpesan untuk berpegang pada lukisan ini, jika nanti Loki bangkit bersama tiga ajudannya dan kesembilan sihirnya yang berbentuk siluman biju”.
            Mataku terperangah dengan semua cerita yang diucapkan oleh Odin. Semua terasa khayalan dan mimpi. Tapi, aku mendengarnya dengan nyata. Ini bukan mimpi, namun tetap belum dapat kunalarkan. “Dan, kesimpulannya dari kisahmu dengan keberadaanku di sini?”, tanyaku dengan pelan.
            Odin mengarahkan pandangan matanya kepadaku. Mata yang tajam, seperti hendak memberikan sesuatu yang tidak biasa. “Kesimpulannya, kaulah yang dilukis oleh Adonis. Kaulah yang akan menyelamatkan dunia kami dari Loki. Kaulah, Gibran”, jawabnya dengan suara tegas.
            Mendengar itu, aku tertegun tak berkata. Apa maksudnya perkataan Odin? Mungkin ini benar-benar mimpi. Tapi, mengapa hatiku terasa sesak, seakan-akan ada beban di bahuku yang berat. “Kenapa kau begitu yakin, kalau aku yang dimaksud oleh Adonis?”, tanyaku ragu.
            Odin kemudian kembali menatapku tajam, dan ia bergerak perlahan menuju lukisan yang tak begitu tampak di belakang singgasananya. Ia mengangkat tangannya dan muncul api kecil dari telapak tangannya. Api kecil itu memberikan sedikit cahaya, sangat cukup untuk menyinari lukisan itu. “Ini lukisan yang dibuat Adonis”, ujarnya, “Dalam lukisan ini terdapat gambar seorang pemuda. Pemuda itu yang akan menyelamatkan kami. Pemuda itu bernama Gibran Anwar”. Odin kemudian membesarkan api di telapak tangannya sehingga api itu menerangi seisi ruangan.
Dan, lukisan itu pun terlihat. Lukisan wajah seorang pemuda, pemuda itu, aku. “Itu, itu, aku”, ujarku gemetar, “Mengapa bisa? Kenapa ada gambar lukisan aku di situ? Aku bukan berasal dari negeri ini, tapi, kenapa lukisan ku ada di negeri ini?”.
“Adonis berpesan kepada kami, untuk menemukan pemuda dalam lukisan itu dan melatihnya menjadi seorang ksatria”, kata Odin dengan mata tajam, “Tanda-tanda pemuda itu ialah pemuda yang terlahir bukan dari negeri ini dan dunia ini. Pemuda yang mampu menemukan sebilah tongkat dan medali garuda. Pemuda yang telah kehilangan mimpinya dan akan menemukan mimpinya di dunia ini. Pemuda yang terlahir dengan nama dua pujangga, dan terlahir dalam sebuah keluarga yang tidak utuh lagi, karena ayahnya sudah meninggal dunia”.
“Pemuda itu kau, Gibran”, ujar Karamy dengan tenang dan menatapku hangat, “Kami butuh bantuanmu. Tolong kami. Hanya itu permintaanku padamu, wahai ksatria terpilih, Gibran Anwar”.
            Badanku gemetar, jantungku berdegup tak beraturan, dan hatiku bimbang. Tak mungkin aku. Memang aku terlahir atas nama dua pujangga, Kahlil Gibran dan Chairil Anwar. Memang aku juga terlahir di dunia tanpa mengenal ayahku, karena ia sudah meninggal saat kakakku kecil. Dan, memang aku, pemuda yang sudah kehilangan mimpi dan harapan semenjak kakak ku meninggal. Tapi, apa mungkin aku yang ada dalam ramalan negeri ajaib ini. Mengapa aku? Memangnya siapa aku? Pikiran itu berputar-putar di benakku yang sempit. “Tidak mungkin”, kataku, “Mungkin ramalanmu salah alamat. Aku ini bukan siapa-siapa. Aku hanya orang biasa yang tak punya ambisi apapun. Aku..”.
            “Itulah, karena itulah Adonis percaya padamu, jauh sebelum kau lahir”, tegas Odin, “Dari kehampaan dalam dirimu lah, kami bertugas untuk mengisinya dengan sentuhan harapan dan mimpi. Kami sangat berharap, kau, Gibran Anwar, untuk menolong kami mengalahkan ambisi Loki. Jangan bimbang, dengarkan kata hatimu. Aku yakin, hatimu ingin menolong kami”.
            “Mengapa kau begitu yakin padaku, Odin?”, tanyaku meyakinkan diri.
            “Karena, Adonis percaya padamu, dan kami percaya kepada Adonis”, jawab Odin penuh kehangatan. Odin kemudian menghampiri sebuah pilar di salah satu pojok ruangan itu. Dari pilar itu, ia menekan sebuah batu. Batu yang bergeser itu ternyata sebuah kotak batu yang tak begitu besar juga tak begitu kecil. Setelah mengambil kotak batu itu, Odin menghampiriku dan memberikan kotak itu padaku.
            “Apa ini?”, tanyaku heran.
            “Bukalah, dan kau akan mengerti apa isi kotak itu”, jawab Odin tenang. Ia kemudian berjalan perlahan menuju Karamy. “Gadis ini yang akan mendampingimu dan memberikan semua ilmu yang ia ketahui mengenai dunia ini”, ujarnya dengan menepuk bahu Karamy, “Ia akan menjadi mata, telinga, akal, dan ilmu bagimu selama di dunia ini. Ia merupakan kebanggaan kerajaan Agni. Ia menguasai ilmu penyembuhan dan sedikit bela diri yang mungkin akan berguna nanti. Jangan sungkan untuk bertanya padanya”.
            “Izinkan saya menjadi pemandumu, matamu, telingamu, dan ilmumu”, ujar Karamy dengan lembut dan tatapan penuh kesahajaan.
            “Eh”, pekikku bingung, “Tak usah terlalu resmi, Karamy, aku tak terbiasa berformal-formal pada orang lain. Kau tak perlu memanggilku ksatria pilihan atau apapun, cukup namaku, Gibran”.
            “Baiklah, Gibran”, jawab Karamy santun, “Sebelum kita memulai petualanganmu di dunia ini, ada baiknya kau istirahat dahulu. Karena, nanti kita berdua akan melakukan perjalanan ke tiga kerajaan lainnya dan ke tempat pertapaan Adonis, Svarga”. Karamy kemudian menghampiriku dan menggenggam tanganku.
            Karamy menuntunku menuju sebuah pintu lagi di samping pintu aku pertama masuk. Dari pintu itu, aku kembali berhadapan oleh suasana lorong yang remang-remang, namun dengan kondisi cahaya yang lebih terang. Karamy menuntunku hingga samapai di sebuah pintu yang berukuran sedang dan terbuat dari kayu, mungkin kayu itu kayu Jati, karena terlihat kokoh.
            “Di kamar ini kamu akan istirahat, Gibran”, tutur Karamy.
            “Ah, baiklah”, jawabku, “Memang dari tadi tubuhku terasa lelah, seakan-akan sendi-sendi tulangku dan pembuluh venaku sudah hancur lebur. Semua berkat cerita Odin yang membuat kepala pusing”.
            Mendengar perkataanku, Karamy tersenyum kecil. “Maafkan Sang Baginda”, katanya halus sehalus rupanya, “Baginda memang selalu terlihat bersemangat. Terlebih, jika ia bertemu dengan sosok yang membuatnya tertarik dan terkesan. Ia selalu beranggapan, bahwa pemuda penyelamat negeri ini ialah sosok yang kaku dan menyebalkan. Namun, ia salah, ternyata sosoknya begitu sederhana. Dan karena itu, ia tertarik padamu Gibran. Kau mengingatkannya kepada anaknya yang menghilang”.
            Aku terdiam. “Anaknya?”, tanyaku, “Ia punya anak? Tadi dia tidak menyinggung sedikitpun mengenai anaknya”.
            Karamy tertunduk lesu. “Maafkan aku”, jawabnya seakan-akan menyimpan sesuatu, “Aku tak dapat membicarakannya lebih lanjut. Ini di luar tugasku. Ada baiknya kau istirahat, karena besok kita akan mendapat sedikit arahan Yang Mulia, mengenai beberapa ilmu dasar untuk dirimu. Selamat malam”. Seusai ia berkata demikian, Karamy berjalan cepat menuju arah ruangan Odin tadi. Terlihat langkahnya yang tergopoh-gopoh menuai nuansa rindu dan gundah.
            “Thor..”, gumamku, “Mengapa aku merasa begitu sedih mendengar nama itu keluar dari mulut Karamy? Sudahlah, lebih baik aku beristirahat”. Tak lama Karamy pergi, aku masuk ke dalam kamar itu. Kamar yang sederhana, hanya diterangi oleh dua buah obor di sisi kamar. Di kamar itu, aku berpikir semua cerita Odin, nasibku di negeri ini, negeri aneg yang tak masuk di akal. Dan, aku memikirkan Karamy, dan Thor putra Odin yang seolah-olah terdapat kisah sedih dari nama itu. Thor, mengapa aku merasakan sedih dari wajah Karamy setelah mengucapkan nama itu? Thor.
***
Sayup-sayup terdengar gemuruh suara elang di luar sana. Ya, aku ada di dunia lain, bukan di duniaku. Menurut orang-orang, dunia tempat aku berada bisa dikatakan sebagai dunia paralel, yakni dunia yang ada berdampingan dengan dunia sebenarnya.
            Suara-suara elang yang saling bersahutan membuatku bangkit dari tempat tidur. Ku coba sadarkan diri dari kantuk yang masih tersisa. Ku perhatikan sekeliling kamar. Jendela kamar ini merupakan sumber utama cahaya yang menerangi seisi kamar pada saat pagi hari. Ku tengok ke samping tempat tidurku, terdapat baju berwarna putih dengan aksesoris kain panjang berwarna merah, dan celana panjang berwarna hitam. Mungkin itu pakaian ganti untukku. Siapa yang membawanya ke kamar ini? Mungkin Karamy. Aku beranjak dari tempat tidur dan menuju jendela kamar. Mata ku melihat suasana sekitar istana yang sejuk dan sepi. Istana ini ada di dalam gua, namun keindahannya tidak menlukiskan istana ini ada di dalam gua.
            Terlihat lima ekor elang bertebrangan di sekitar istana, seakan-akan sedang bermain-main. Lalu, terlihat juga beberapa burung lainnya, penuh warna. Melihat itu semua menenangkan pikiranku. Semua yang ku alami, terasa mimpi yang panjang. Ku pejamkan mata, menghimpun segenap tenaga, untuk menyegarkan kepala. Ku mencoba menikmati simfoni lantunan kicau elang dan burung-burung lainnya yang berterbangan.
            Setelah menyegarkan diri, aku mengalihkan perhatianku pada seisi ruangan. Ruangan kamar ini belum ku perhatikan dari semalam. Ternyata, kamar ini dipenuhi oleh lukisan dan panji-panji yang bergambarkan gambar palu dan petir. Di atas tempat tidurku terdapat lukisan seorang pemuda dengan wajah rupawan dan rambut tergerai hingga bahu. Perawakan pemuda itu atletis dan berotot. Ia mengenakan busana yang mirip dengan busana Odin, namun berbeda ornamen dan warna saja. “Hmm, mungkin dia yang bernama Thor”, gumamku.
            Tok-tok-tok....
            “Ya”, jawabku mendengar ketukan pintu kamar. “Masuk saja”
            Pintu terbuka. Ternyata Karamy yang mengetuk pintu kamar. “Sudah bersiap, Gibran?”, tanyanya santun.
            “Oh, ya”, jawabku.
            “Baiklah”, ujar Karamy, “Pagi ini kita akan bertemu lagi dengan Baginda Maharaja Odin”.
            “Di tempat kemarin?”, tanyaku memastikan.
            “Bukan”, jawabnya. “Kita akan menuju gunung Candradimuka. Letaknya di selatan kerajaan ini. Di situ, Baginda Odin sudah menunggu. Jika kau sudah siap, temui aku di depan gerbang istana”. Setelah mengatakan itu, Karamy meninggalkan kamarku.
            Melihat gelagat Karamy yang sedikit dingin pagi ini membuatku menjadi penasaran padanya. Ia yang mengganggu mimpiku hingga akhirnya aku terjebak dalam dunia ini. Selalu membuatku memikirkan segala hal yang berkenaan dengannya. Misterius. Mencoba membuang segala pikiranku tentang Karamy, aku pun berbenah. Ku coba pakaian yang telah disiapkan. Aku merasa seperti kembali ke abad lampau. Pakaian yang sangat sejuk ini membuatku terlihat seperti ksatria dari negeri antah-berantah. Sebelum meninggalkan kamar, aku teringat akan tongkat dan medali yang ku dapatkan di hutan. Ku perhatikan tongkat yang sudah ku pasangkan medali di dalamnya, ternyata mirip sebuah gagang pedang. Tak banyak pikir lagi, tongkat itu ku bawa dalam tas yang juga sudah dipersiapkan bersamaan dengan pakaian tersebut. Aku pun berjalan menuju gerbang istana.