Ada kabar baik yang mungkin akan menyegarkan semrawut-nya dunia persepakbolaan Indonesia. Kabar tersebut ialah dikirimnya empat pemuda bangsa untuk berlatih di salah satu klub liga Inggris, Leicester City. Keempat pemuda itu diantaranya, Rico Adrianto dari Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Moch. Fahmi Al Ayyubi dari Pasuruan, Yogi Rahardian dari Palembang, dan Maldini Pali dari Makassar.
Keempat pemuda tersebut merupakan hasil penyeleksian pemain muda berbakat dari Indonesian Football Academy (IFA) yang terdapat di bawah naungan Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI). Menurut saya, munculnya berita mengenai keempat pemuda bangsa yang dikirim "magang" di Inggris itu merupakan berita positif. Pasalnya, berita yang sedang santer mengitari dunia persepakbolaan tanah air ialah berita mengenai PSSI melawan Liga Premier Indonesia (LPI). Berita pergolakan PSSI dengan LPI, menurut saya, merupakan berita-berita negatif.
Walaupun, tempat magangnya hanya di sebuah klub kecil di liga Inggris, tapi saya yakin, kalau dibina dengan baik maka keempat pemuda tersebut akan menjadi percontohan untuk perkembangan dunia sepakbola di Indonesia. Selain itu, dengan pembinaan yang baik, maka keempat pemuda tersebut memiliki kans untuk bermain di liga-liga besar Eropa, seperti La Liga Spanyol atau pun Liga Calcio Itali.
Langkah selanjutnya, mungkin, ialah membuka kembali kesempatan-kesempatan untuk melakukan "magang" sepakbola lagi dengan klub-klub yang lebih besar. Hal tersebut perlu dilakukan agar bakat-bakat muda Indonesia tidak terjebak di liga domestik yang kacau.
Sepakbola Untuk Seluruh Lapisan
Pelatihan seperti itu harusnya dapat dirasakan oleh semua lapisan masyarakat. Karena, tidak menutup kemungkinan bahwa ada atlit bagus yang berasal dari keluarga tidak mampu. Selain itu, untuk atlit yang tidak mampu perlu juga dibekali pelatihan people skill, agar nantinya ketika si atlit sukses, maka ia tidak akan kehilangan hartanya dan karirnya dengan cepat.
Indonesia memang harus berani mengambil langkah serius untuk memajukan dunia persepakbolaan. Hal itu demi tidak setengah-setengah membina perkembangan prestasi sepakbola di Indonesia. Keseriusan sangat diperlukan, apalagi untuk memajukan suatu bidang yang memang memiliki umat jutaan orang. Untuk saat ini, hal yang harus dilakukan oleh PSSI ialah melakukan sebuah revolusi. Revolusi untuk keluar dari belenggu politik yang tidak berhubungan dengan dunia sepakbola.
Sejatinya, olahraga adalah untuk bersenang-senang dan bukan merupakan alat kendaraan politik. Apalagi kalau keadaannya seperti saat ini., saat rakyat Indonesia menunggu-nunggu sebuah piala bergengsi ada di negeri ini. Kegagalan sewaktu Asean Football Federation Cup (AFF) kemarin merupakan tamparan keras untuk PSSI. Karena, itu merupakan tanda bahwa pecinta sepakbola tanah air ingin adanya sebuah revolusi di dalam tubuh PSSI.
Kini, sudah saatnya PSSI berbenah dan kembali memulai dari nol untuk mendapatkan kepercayaan masyarakat negeri ini. Sebagian besar rakyat Indonesia sudah jenuh akan tingkah polah politik di dalam tubuh PSSI. Semoga dengan dilatihnya para garuda muda di Leicester City, maka akan terdapat titik terang dalam dunia sepakbola di negeri ini.
Senin, 31 Januari 2011
Sabtu, 29 Januari 2011
Dikritik Karena Disayang
Terkadang, orang yang mengkritik belum tentu dapat melakukan yang lebih baik. Memang lebih mudah untuk mengujarkan kritik, daripada menerimanya. Jika ada yang mampu menerima kritik dengan lapang dada, maka ia adalah orang sukses. Sukses dalam berperilaku berani dan jujur pada kekurangannya.
Berlaku berani untuk mengakui kekurangan, dan jujur untuk melihat kekurangannya sangat sulit dilakukan. Terlebih, jika yang mengkritik diri adalah musuh atau orang yang dibenci. Belum tentu akan legawa menerimanya. Apalagi bila kritik itu disampaikan dengan sindiran dan tidak di depan kita. Mungkin kita akan murka dan menanggapinya dengan amarah.
Harus membiasakan diri untuk menerima suatu kritik dengan lapang dada. Meskipun itu sangat mengiris hati. Karena, suatu kritik adalah alat untuk intropeksi diri dan mengembangkan diri. Baik kritik mengenai diri kita, pasangan kita, maupun tentang keputusan yang kita ambil dalam menjalani hidup.Semua hal dari diri kita dapat dikritik, sehingga nantinya akan membuahkan langkah yang tepat dalam hidup.
Sikap yang tepat ialah mencerna kritik hingga membuahkan suatu perkembangan. Bentuk sebuah formula yang tepat dari kritik orang lain. Formula itu dicermati dan dilandasi oleh sebuah kritik positif. Kritik yang negatif disarikan lagi sehingga muncul sebuah gagasan baru untuk menjadi lebih bijak dalam bersikap.
Dikritik Karena Disayang
Perlu dipahami, bahwasanya ketika seseorang memberikan kritiknya pada kita, berarti orang itu perhatian dan sayang kepada diri kita. Orang yang mengkritik menginginkan perkembangan diri kita. Kalau tidak, untuk apa dia sibuk mengkritik segala bentuk perbuatan kita? Begitulah.
Semakin diri kita dikritik, maka semakin sayang orang itu pada diri kita. Perasaan sayang bukan hanya masalah sempit di ranah cinta, melainkan perasaan perhatian pada seseorang. Bisa saja kita sayang pada kakak atau adik kita, atau sayang terhadap sahabat, atau sayang terhadap senior dan junior di bangku sekolah, bisa saja.
Berpikir positif lah ketika sedang dikritik. Jangan menganggap bahwa kritik itu dilontarkan karena kita dibenci. Rubah logikanya, dan pupuk lah dalam hati kalau kita memang diperhatikan. Lalu, diri harus membuktikan bahwa dari kritik orang lain, dapat terwujud sebuah karya yang lebih baik dari karya sebelumnya.
Jika memang masih dikritik juga, maka bersyukurlah. Itu menandakan bahwa karya kita sudah diapresiasikan oleh orang lain. Ketika akan membuat karya baru, maka tinjauan kritik dari karya sebelumnya bisa menjadi masukan yang baik.Lalu, buat lagi karya untuk memberikan suatu karya yang lebih baik dari karya sebelumnya. Jangan letih terus mencoba, dan jangan pernah berkata "Saya menyerah". Maju dan jangan menyerah.
Berlaku berani untuk mengakui kekurangan, dan jujur untuk melihat kekurangannya sangat sulit dilakukan. Terlebih, jika yang mengkritik diri adalah musuh atau orang yang dibenci. Belum tentu akan legawa menerimanya. Apalagi bila kritik itu disampaikan dengan sindiran dan tidak di depan kita. Mungkin kita akan murka dan menanggapinya dengan amarah.
Harus membiasakan diri untuk menerima suatu kritik dengan lapang dada. Meskipun itu sangat mengiris hati. Karena, suatu kritik adalah alat untuk intropeksi diri dan mengembangkan diri. Baik kritik mengenai diri kita, pasangan kita, maupun tentang keputusan yang kita ambil dalam menjalani hidup.Semua hal dari diri kita dapat dikritik, sehingga nantinya akan membuahkan langkah yang tepat dalam hidup.
Sikap yang tepat ialah mencerna kritik hingga membuahkan suatu perkembangan. Bentuk sebuah formula yang tepat dari kritik orang lain. Formula itu dicermati dan dilandasi oleh sebuah kritik positif. Kritik yang negatif disarikan lagi sehingga muncul sebuah gagasan baru untuk menjadi lebih bijak dalam bersikap.
Dikritik Karena Disayang
Perlu dipahami, bahwasanya ketika seseorang memberikan kritiknya pada kita, berarti orang itu perhatian dan sayang kepada diri kita. Orang yang mengkritik menginginkan perkembangan diri kita. Kalau tidak, untuk apa dia sibuk mengkritik segala bentuk perbuatan kita? Begitulah.
Semakin diri kita dikritik, maka semakin sayang orang itu pada diri kita. Perasaan sayang bukan hanya masalah sempit di ranah cinta, melainkan perasaan perhatian pada seseorang. Bisa saja kita sayang pada kakak atau adik kita, atau sayang terhadap sahabat, atau sayang terhadap senior dan junior di bangku sekolah, bisa saja.
Berpikir positif lah ketika sedang dikritik. Jangan menganggap bahwa kritik itu dilontarkan karena kita dibenci. Rubah logikanya, dan pupuk lah dalam hati kalau kita memang diperhatikan. Lalu, diri harus membuktikan bahwa dari kritik orang lain, dapat terwujud sebuah karya yang lebih baik dari karya sebelumnya.
Jika memang masih dikritik juga, maka bersyukurlah. Itu menandakan bahwa karya kita sudah diapresiasikan oleh orang lain. Ketika akan membuat karya baru, maka tinjauan kritik dari karya sebelumnya bisa menjadi masukan yang baik.Lalu, buat lagi karya untuk memberikan suatu karya yang lebih baik dari karya sebelumnya. Jangan letih terus mencoba, dan jangan pernah berkata "Saya menyerah". Maju dan jangan menyerah.
Jumat, 28 Januari 2011
Pria Sejati Untuk Keluarga
Seorang pria harus mampu berpikir panjang untuk menikah. Banyak hal yang harus dipertimbangkan, mulai dari pekerjaan hingga kebutuhan sandang, pangan, dan papan. Pria memang diberikan tanggung jawab lebih banyak. Jadi, untuk melamar seorang perempuan idaman hati bukan sekedar modal cinta semata.
Bagi seorang pria yang "sejati", menghidupi calon istri juga merupakan pikiran utama sebelum menikah. Alasannya sederhana, ketika pria memboyong perempuan idamannya dari orang tuanya, maka ia harus berani untuk menghidupi si gadis pujaan hatinya. Selain itu, ada pertimbangan rumah tinggal dan juga tempat pendidikan yang layak untuk anaknya nanti. Itulah pria sejati, pria yang berpikir matang sebelum bertindak.
Pemikiran yang matang dan tidak tergesa-gesa, hal itulah yang harus dimiliki seorang pria. Keputusan yang sudah dibuat seorang pria hendaknya ditepati. Seorang pria harus bisa memutuskan hal dengan sebijak mungkin dalam segala keadaan dan suasana yang dihadapinya. Karena, ketika berumah-tangga nantinya, pria harus mampu menimbangkan nasib anak dan istrinya.
Kegoisan di dalam diri seorang pria harus ditekan dengan selayaknya. Maksudnya, pria harus mampu menimbangkan kapan ia harus mendahulukan keperluannya dan kapan ia harus mendahulukan keperluan orang lain, anak dan istri, dari keperluannya sendiri. Nantinya, ketika memiliki anak, seorang pria harus mampu memenuhi kebutuhan si anak. Selain kebutuhan anak, seorang pria juga harus mampu memenuhi kebutuhan istrinya, mulai dari kebutuhan fisik hingga psikis.
Sejatinya Seorang Pria
Pria ditakdirkan untuk menjadi pengarah. Maksudnya, ia bertugas untuk mengarahkan rencana keluarganya ke depan, dan juga mempunyai tugas untuk mengarahkan serta mendukung pengembangan diri masing-masing anggota keluarga. Sesungguhnya, perkembangan kualitas keluarga merupakan kewajiban utama si pria yang menjadi kepala keluarga. Karena, anak akan mencontoh pola pikir dari ayahnya, dan si istri juga akan meminta pertimbangan dari suaminya.
Meskipun demikian, bukan berarti semua bertolak ukur kepada pria yang notabennya adalah kepala keluarga. Ada kalanya, pria harus berdiskusi untuk menentukan kebijakan keluarga. Perlu sudut pandang dari istri dan anak untuk menentukan keputusan keluarga. Karena, dari keputusan si kepala keluarga, maka ke sanalah arah perkembangan dari sebuah keluarga.
Sejatinya seorang pria adalah pria yang mau membuka dirinya dan berbagi kepada anak dan istrinya dalam menjalani hidup sebagai kepala keluarga. Tidak ada yang dipendam sendiri, segala masalah keluarga diceritakan kepada anak dan istri untuk menemukan jawaban. Hal itu penting dilakukan, agar tidak terjadi prasangka dan beban psikologi.
Pria sejati ialah pria yang bertanggung jawab pada keluarganya. Saat sesulit apapun, ia harus tegar dan tetap mampu berpikir cermat. Tidak tergesa-gesa dalam memutuskan keputusan, dan juga tidak sembarangan memberikan arahan. Harus mampu berpikir dahulu sebelum bertindak.
Bagi seorang pria yang "sejati", menghidupi calon istri juga merupakan pikiran utama sebelum menikah. Alasannya sederhana, ketika pria memboyong perempuan idamannya dari orang tuanya, maka ia harus berani untuk menghidupi si gadis pujaan hatinya. Selain itu, ada pertimbangan rumah tinggal dan juga tempat pendidikan yang layak untuk anaknya nanti. Itulah pria sejati, pria yang berpikir matang sebelum bertindak.
Pemikiran yang matang dan tidak tergesa-gesa, hal itulah yang harus dimiliki seorang pria. Keputusan yang sudah dibuat seorang pria hendaknya ditepati. Seorang pria harus bisa memutuskan hal dengan sebijak mungkin dalam segala keadaan dan suasana yang dihadapinya. Karena, ketika berumah-tangga nantinya, pria harus mampu menimbangkan nasib anak dan istrinya.
Kegoisan di dalam diri seorang pria harus ditekan dengan selayaknya. Maksudnya, pria harus mampu menimbangkan kapan ia harus mendahulukan keperluannya dan kapan ia harus mendahulukan keperluan orang lain, anak dan istri, dari keperluannya sendiri. Nantinya, ketika memiliki anak, seorang pria harus mampu memenuhi kebutuhan si anak. Selain kebutuhan anak, seorang pria juga harus mampu memenuhi kebutuhan istrinya, mulai dari kebutuhan fisik hingga psikis.
Sejatinya Seorang Pria
Pria ditakdirkan untuk menjadi pengarah. Maksudnya, ia bertugas untuk mengarahkan rencana keluarganya ke depan, dan juga mempunyai tugas untuk mengarahkan serta mendukung pengembangan diri masing-masing anggota keluarga. Sesungguhnya, perkembangan kualitas keluarga merupakan kewajiban utama si pria yang menjadi kepala keluarga. Karena, anak akan mencontoh pola pikir dari ayahnya, dan si istri juga akan meminta pertimbangan dari suaminya.
Meskipun demikian, bukan berarti semua bertolak ukur kepada pria yang notabennya adalah kepala keluarga. Ada kalanya, pria harus berdiskusi untuk menentukan kebijakan keluarga. Perlu sudut pandang dari istri dan anak untuk menentukan keputusan keluarga. Karena, dari keputusan si kepala keluarga, maka ke sanalah arah perkembangan dari sebuah keluarga.
Sejatinya seorang pria adalah pria yang mau membuka dirinya dan berbagi kepada anak dan istrinya dalam menjalani hidup sebagai kepala keluarga. Tidak ada yang dipendam sendiri, segala masalah keluarga diceritakan kepada anak dan istri untuk menemukan jawaban. Hal itu penting dilakukan, agar tidak terjadi prasangka dan beban psikologi.
Pria sejati ialah pria yang bertanggung jawab pada keluarganya. Saat sesulit apapun, ia harus tegar dan tetap mampu berpikir cermat. Tidak tergesa-gesa dalam memutuskan keputusan, dan juga tidak sembarangan memberikan arahan. Harus mampu berpikir dahulu sebelum bertindak.
Kamis, 27 Januari 2011
Cinta Tanpa Prasangka
Cinta itu harus dipelihara. Bukan dengan prasangka, namun dengan kepercayaan. Kepercayaan yang tulus juga harus didasari oleh nalar yang berjalan. Maksudnya, ketika memberikan kepercayaan, janganlah lupa untuk disertai dengan pikiran logika, sehingga segala gosip yang tidak benar akan sulit masuk dalam benak.
Pertama yang harus diingat dalam menjalin hubungan ialah jangan ada pikiran untuk berselingkuh. Karena, jika terbesit saja sedikit keinginan untuk berselingkuh, maka akan terjerat dalam kenistaan hidup. Jadi, jangan korbankan cinta sejati hanya untuk kenikmatan sesaat. Daripada berselingkuh, lebih baik memelihara cinta yang sudah ada dan bersemayam dalam jiwa. Memelihara akan lebih sulit daripada mendapatkan atau menemukan cinta.
Lalu, hal kedua yang harus diingat dalam membina hubungan ialah berterus-terang. Berterus-terang tentang banyak hal. Mulai dari kesulitan diri hingga kebahagiaan yang sedang dirasakan. Susah senangnya hidup harus dibagi dengan pasangan kita. Hal itu berguna untuk menghindari prasangka. Karena, prasangka akan mudah hadir pada hal yang belum diketahui oleh masing-masing individu dalam menjalin hubungan. Jadi, berterus-teranglah pada pasangan agar terhindar dari prasangka.
Ketiga, saat digoda oleh prasangka dan curiga, hendaknya jangan dipendam. Bicarakan dengan santai dan kepala dingin, jangan gunakan amarah ataupun emosi-emosi yang tidak penting. Dicek semua kabar-kabar yang menimbulkan prasangka. Namun, jangan menggunakan tensi, santai dan tidak memojokkan. Apapun jawaban yang diberikan, cobalah untuk percaya. Meskipun mungkin ada yang bohong, janganlah marah, berikan jenjang waktu untuk memastikannya.
Jika mampu menjalankan langkah pertama dan kedua, maka pada langkah ketiga pertanyaan yang diajukan akan dijawab dengan sejujur-jujurnya. Meskipun mungkin ada persentase berbohong, akan tetapi jangan pernah memulai pertengkaran. Biarkan saja kalau memang pasangan kita yang ingin memulai pertengkaran. Karena, jika memang ia tidak selingkuh, maka tidak sepatutnya ia marah dan memulai pertengkaran.
Jangan Memulai Pertengkaran
Ketika hubungan kita tidak berjalan lancar dengan pasangan, hendaknya diadakan komunikasi serius. Katakan apa yang ingin dikatakan, utarakan apa yang ingin diutarakan. Biarkan semua ganjalan di hati keluar dengan seksama. Keluarkan semuanya dengan kepala dingin dan cerdas. Maksudnya, jangan menggunakan amarah ataupun menjegal alasan yang diberikan pasangan kita. Berikan waktu untuk dia bicara dan carilah momentum untuk kita mengungkapkan masalah dalam hati.
Harus sangat diingat ialah jangan memulai pertengkaran. Kalau bisa kita dapat meredam sebuah pertengkaran. Kita harus betindak cerdas dalam menanggapi hal-hal yang kemungkinan akan terjadi. Dan, ketika memang pasangan kita tidak dapat dipercaya lagi, hendaknya secepatnya mengakhiri hubungan. Hal itu perlu dilakukan demi kebaikan kedua belah pihak.
Lalu, jika pasangan kita tidak mau mengerti situasi dan kondisi, maka sebaiknya ia dilepas. Karena, pasangan yang seperti itu hanya akan menghambat karir dan rencana masa depan. Egois atas keinginannya dan tidak mau berbagi ataupun mendengar perkataan kita.
Sebagai seorang individu, tidak ada hak sedikitpun dari diri kita masing-masing untuk menguasai hidup pasangan kita. Biarkan pasangan kita berkarya dan mengembangkan diri tanpa disertai rasa curiga. Dengan berkembangnya pasangan kita, maka diri kita juga akan berkembang juga. Maksudnya, ketika ia sudah menambah pengetahuan dan kemampuan softskill-nya, maka secara tidak langsung ia akan mengajarkan kita apa yang didapatkannya.
Jadi, jangan pernah sekalipun kita membuat keributan dengan pasangan. Bersikap cerdas dan tidak tersulut oleh prasangka. Karena, dengan kita bertindak cerdas, maka kemampuan softskill kita akan terasah dan hubungan dengan pasangan juga akan semakin langgeng.
Pertama yang harus diingat dalam menjalin hubungan ialah jangan ada pikiran untuk berselingkuh. Karena, jika terbesit saja sedikit keinginan untuk berselingkuh, maka akan terjerat dalam kenistaan hidup. Jadi, jangan korbankan cinta sejati hanya untuk kenikmatan sesaat. Daripada berselingkuh, lebih baik memelihara cinta yang sudah ada dan bersemayam dalam jiwa. Memelihara akan lebih sulit daripada mendapatkan atau menemukan cinta.
Lalu, hal kedua yang harus diingat dalam membina hubungan ialah berterus-terang. Berterus-terang tentang banyak hal. Mulai dari kesulitan diri hingga kebahagiaan yang sedang dirasakan. Susah senangnya hidup harus dibagi dengan pasangan kita. Hal itu berguna untuk menghindari prasangka. Karena, prasangka akan mudah hadir pada hal yang belum diketahui oleh masing-masing individu dalam menjalin hubungan. Jadi, berterus-teranglah pada pasangan agar terhindar dari prasangka.
Ketiga, saat digoda oleh prasangka dan curiga, hendaknya jangan dipendam. Bicarakan dengan santai dan kepala dingin, jangan gunakan amarah ataupun emosi-emosi yang tidak penting. Dicek semua kabar-kabar yang menimbulkan prasangka. Namun, jangan menggunakan tensi, santai dan tidak memojokkan. Apapun jawaban yang diberikan, cobalah untuk percaya. Meskipun mungkin ada yang bohong, janganlah marah, berikan jenjang waktu untuk memastikannya.
Jika mampu menjalankan langkah pertama dan kedua, maka pada langkah ketiga pertanyaan yang diajukan akan dijawab dengan sejujur-jujurnya. Meskipun mungkin ada persentase berbohong, akan tetapi jangan pernah memulai pertengkaran. Biarkan saja kalau memang pasangan kita yang ingin memulai pertengkaran. Karena, jika memang ia tidak selingkuh, maka tidak sepatutnya ia marah dan memulai pertengkaran.
Jangan Memulai Pertengkaran
Ketika hubungan kita tidak berjalan lancar dengan pasangan, hendaknya diadakan komunikasi serius. Katakan apa yang ingin dikatakan, utarakan apa yang ingin diutarakan. Biarkan semua ganjalan di hati keluar dengan seksama. Keluarkan semuanya dengan kepala dingin dan cerdas. Maksudnya, jangan menggunakan amarah ataupun menjegal alasan yang diberikan pasangan kita. Berikan waktu untuk dia bicara dan carilah momentum untuk kita mengungkapkan masalah dalam hati.
Harus sangat diingat ialah jangan memulai pertengkaran. Kalau bisa kita dapat meredam sebuah pertengkaran. Kita harus betindak cerdas dalam menanggapi hal-hal yang kemungkinan akan terjadi. Dan, ketika memang pasangan kita tidak dapat dipercaya lagi, hendaknya secepatnya mengakhiri hubungan. Hal itu perlu dilakukan demi kebaikan kedua belah pihak.
Lalu, jika pasangan kita tidak mau mengerti situasi dan kondisi, maka sebaiknya ia dilepas. Karena, pasangan yang seperti itu hanya akan menghambat karir dan rencana masa depan. Egois atas keinginannya dan tidak mau berbagi ataupun mendengar perkataan kita.
Sebagai seorang individu, tidak ada hak sedikitpun dari diri kita masing-masing untuk menguasai hidup pasangan kita. Biarkan pasangan kita berkarya dan mengembangkan diri tanpa disertai rasa curiga. Dengan berkembangnya pasangan kita, maka diri kita juga akan berkembang juga. Maksudnya, ketika ia sudah menambah pengetahuan dan kemampuan softskill-nya, maka secara tidak langsung ia akan mengajarkan kita apa yang didapatkannya.
Jadi, jangan pernah sekalipun kita membuat keributan dengan pasangan. Bersikap cerdas dan tidak tersulut oleh prasangka. Karena, dengan kita bertindak cerdas, maka kemampuan softskill kita akan terasah dan hubungan dengan pasangan juga akan semakin langgeng.
Kamis, 20 Januari 2011
Hiburan dengan Tuntunan
Pada masa kini, banyak varian acara hiburan. Mulai dari film-film ternama hingga sinetron-sinetron produksi dalam negeri. Acara hiburan telah membuai pemirsanya, sehingga mereka (baca: pemirsa) terasa terhibur dan sejenak melupakan masalah yang sedang dihadapinya.
Akan tetapi, banyak dari acara hiburan tersebut hanya memiliki fungsi hiburan semata. Jarang sekali, di Indonesia, acara hiburan yang mampu memberikan sebuah pandangan positif. Karena, kebanyakan dari acara hiburan tersebut hanya menampilkan cerita dengan konflik yang monoton.
Perlu disadari, perkembangan acara hiburan di Indonesia sudah menjenuhkan. Kebanyakan dari acara tersebut hanya menampilkan cerita kisah cinta melulu. Kurang sekali tuntunan yang memberikan pandangan positif kepada para pemirsanya. Hal itu berbeda dengan acara-acara hiburan yang berasal dari mancanegara, khususnya Amerika. Acara hiburan di Amerika, khususnya serial televisi, sudah keluar dari belenggu drama percintaan melulu. Sudah banyak serial hiburan yang mengambil kisah semangat hidup, aksi, dan serial detektif.
Sebut saja serial Crime Scene Investigation (CSI) yang ditayangkan di saluran televisi kabel Foxcrime dan AXN. Serial tersebut mengisahkan suka duka menjadi polisi bidang forensik. Dalam serial tersebut banyak sekali intrik dan teka-teki untuk menguak suatu kejahatan, sehingga pemirsanya dapat ikut berpikir dan berimajinasi selayaknya seorang polisi.
Contoh lainnya ialah serial House yang ditayangkan di saluran televisi kabel AXN. Serial tersebut menceritakan seorang dokter yang memiliki integritas tinggi di dunia kedokteran dengan karakteristik unik. Dari serial tersebut, pemirsa seakan-akan dibawa ke dalam dunia dari seorang dokter, baik dari segi personal maupun pekerjaannya. Selain itu, dari acara tersebut juga dapat diperoleh pengetahuan-pengetahuan di bidang medis.
Acara-acara semacam CSI dan House sampai saat ini belum ada di Indonesia. Kedua serial tersebut merupakan serial hiburan dengan tuntunan di dalamnya. Tuntunan yang didapatkan dari kedua serial tersebut ialah tuntunan untuk menghargai tugas dari seorang polisi dan petugas medik dan profesionalitas kerja.
Rabu, 19 Januari 2011
Lepaskan Imajinasi Anak-Anak
Anak kecil memiliki kemampuan untuk bermimpi yang lebih baik daripada orang dewasa. Pasalnya, ketika diri kita masih kecil, pikiran kita belum diracuni oleh pemikiran-pemikiran negatif. Selain itu, pada fase anak-anak, manusia sedang memasuki fase belajar dan pemahaman dunia sekitar.
Saya pernah melihat seorang anak kecil usia, kira-kira, tiga sampai empat tahun sedang berimajinasi bersama mainannya. Padahal, mainannya tersebut sudah mulai rusak dan sudah tidak layak untuk dimainkan. Sebuah mainan mobil-mobilan yang roda depannya sudah lepas dari rangka mainan tersebut. Si anak kecil itu berusaha menyambungkan dengan seksama roda yang lepas itu ke badan mobil-mobilannya. Sepenglihatan saya, anak kecil itu berandai-andai dirinya adalah seorang montir mobil. Gigih dan semangat, ia membetulkan mainannya.
Melihat kejadian kecil itu, saya berpikir, mungkin ketika sudah sedikit besar nanti ia akan melupakan mimpi dan imajinasinya. Karena, ketika anak kecil itu beranjak dewasa, ia akan mendapat pengaruh pikiran-pikiran negatif dari lingkungannya. Setiap lingkungan tempat tumbuh berkembangnya seorang anak pastinya terdapat pengaruh positif dengan negatif. Namun, pengaruh negatif akan lebih cepat diserap dan tidak dicerna. Sebab, orang akan cenderung menceritakan dukanya ketimbang ceria yang sedang dialaminya.
Ketika seorang anak mendengar terlalu banyak cerita duka, maka ia akan takut untuk melalui suatu peristiwa serupa dengan kabar buruk yang didengarnya. Saat anak itu takut dan tidak percaya diri, maka ia akan susah untuk berkembang dan cenderung menghindari masalah yang dihadapinya. Semakin banyak kabar negatif yang didengarnya, semakin pesimistis si anak.
Peran Orang Tua
Untuk mencegah hal itu, perlu ada peran orang tua dengan fleksibel. Orang tua adalah guru pertama bagi seorang anak. Ia (orang tua) akan menjadi raw model bagi anaknya. Jadi, orang tua lah yang menjadi contoh utama seorang anak. Oleh karena itu, orang tua harus bijak mengajarkan segala sesuatu hal dengan interaksi yang nyaman.
Interaksi yang nyaman, bagi saya, ialah interaksi horizontal. Maksudnya, ketika sedang mendekati anak janganlah menggunakan status diri sebagai orang tua, melainkan harus sebagai teman. Jadi, anak akan nyaman untuk bercerita dan bertukar pendapat dengan si orang tua. Dari perbincangan tersebut maka akan tercipta sebuah momentum untuk memberikan arahan yang tepat bagi si anak.
Selain itu, orang tua harus mengawasi anaknya dengan seksama. Pengawasan tersebut haruslah fleksibel dan tidak mengekang si anak. Contohnya, jika si anak mengikuti sebuah ekskul, hendaknya didukung dan ikut membantu aktifitasnya di ekskul tersebut. Contoh lainnya, ketika si anak sedang melalui masa-masa sulit dalam pergaulan awal ketika masuk sekolah, hendaknya orang tua memberi dukungan moril dan psikologis kepada si anak, agak anak tersebut dapat percaya diri.
Peran orang tua juga sangat penting dalam memelihara imajinasi anaknya. Ketika anak beranjak dewasa, jangan sekali pun mengatakan bahwa impian si anak mustahil. Tujuan dari hal tersebut ialah untuk membuat si anak menjadi percaya diri dan tidak malu. Biarkan anak percaya diri dengan imajinasinya, dan tugas orang tua adalah mendukung dan memberikan arahan atas imajinasinya.
Saya pernah melihat seorang anak kecil usia, kira-kira, tiga sampai empat tahun sedang berimajinasi bersama mainannya. Padahal, mainannya tersebut sudah mulai rusak dan sudah tidak layak untuk dimainkan. Sebuah mainan mobil-mobilan yang roda depannya sudah lepas dari rangka mainan tersebut. Si anak kecil itu berusaha menyambungkan dengan seksama roda yang lepas itu ke badan mobil-mobilannya. Sepenglihatan saya, anak kecil itu berandai-andai dirinya adalah seorang montir mobil. Gigih dan semangat, ia membetulkan mainannya.
Melihat kejadian kecil itu, saya berpikir, mungkin ketika sudah sedikit besar nanti ia akan melupakan mimpi dan imajinasinya. Karena, ketika anak kecil itu beranjak dewasa, ia akan mendapat pengaruh pikiran-pikiran negatif dari lingkungannya. Setiap lingkungan tempat tumbuh berkembangnya seorang anak pastinya terdapat pengaruh positif dengan negatif. Namun, pengaruh negatif akan lebih cepat diserap dan tidak dicerna. Sebab, orang akan cenderung menceritakan dukanya ketimbang ceria yang sedang dialaminya.
Ketika seorang anak mendengar terlalu banyak cerita duka, maka ia akan takut untuk melalui suatu peristiwa serupa dengan kabar buruk yang didengarnya. Saat anak itu takut dan tidak percaya diri, maka ia akan susah untuk berkembang dan cenderung menghindari masalah yang dihadapinya. Semakin banyak kabar negatif yang didengarnya, semakin pesimistis si anak.
Peran Orang Tua
Untuk mencegah hal itu, perlu ada peran orang tua dengan fleksibel. Orang tua adalah guru pertama bagi seorang anak. Ia (orang tua) akan menjadi raw model bagi anaknya. Jadi, orang tua lah yang menjadi contoh utama seorang anak. Oleh karena itu, orang tua harus bijak mengajarkan segala sesuatu hal dengan interaksi yang nyaman.
Interaksi yang nyaman, bagi saya, ialah interaksi horizontal. Maksudnya, ketika sedang mendekati anak janganlah menggunakan status diri sebagai orang tua, melainkan harus sebagai teman. Jadi, anak akan nyaman untuk bercerita dan bertukar pendapat dengan si orang tua. Dari perbincangan tersebut maka akan tercipta sebuah momentum untuk memberikan arahan yang tepat bagi si anak.
Selain itu, orang tua harus mengawasi anaknya dengan seksama. Pengawasan tersebut haruslah fleksibel dan tidak mengekang si anak. Contohnya, jika si anak mengikuti sebuah ekskul, hendaknya didukung dan ikut membantu aktifitasnya di ekskul tersebut. Contoh lainnya, ketika si anak sedang melalui masa-masa sulit dalam pergaulan awal ketika masuk sekolah, hendaknya orang tua memberi dukungan moril dan psikologis kepada si anak, agak anak tersebut dapat percaya diri.
Peran orang tua juga sangat penting dalam memelihara imajinasi anaknya. Ketika anak beranjak dewasa, jangan sekali pun mengatakan bahwa impian si anak mustahil. Tujuan dari hal tersebut ialah untuk membuat si anak menjadi percaya diri dan tidak malu. Biarkan anak percaya diri dengan imajinasinya, dan tugas orang tua adalah mendukung dan memberikan arahan atas imajinasinya.
Selasa, 18 Januari 2011
Sekolah Untuk Semua
Dunia pendidikan di Indonesia memang sudah mulai berkembang. Akan tetapi, perkembangan tersebut tidak diimbangi dengan konsep "pendidikan untuk semua". Maksudnya, pendidikan di Indonesia belum dapat merangkul seluruh kalangan, baik secara ekonomi maupun secara religi agama.
Hal tersebut dapat terlihat dari banyaknya sekolah yang non negeri (baca: swasta) yang masih dapat dijangkau oleh salah satu elemen masyarakat saja, seperti sekolah swasta Highscope, atau Sekolah Alam yang ada di Ciganjur dan Depok (mohon maaf jika saya mencantumkan kedua nama sekolah tersebut, untuk memberikan contoh yang jelas berkenaan dengan tulisan saya). Sekolah Highscope, menurut pengamatan saya, baru dapat merangkul siswa-siswa menengah ke atas, sedangkan Sekolah Alam menggunakan sistem perekrutan guru yang terlalu agamis. Baik siswa ataupun gurunya terlalu terkesan selektif yang tidak penting. Saya katakan demikian karena, di Indonesia masih banyak anak-anak yang tidak mendapatkan pendidikan selayaknya. Selain itu, juga banyak sumber daya pengajar yang tidak dapat masuk ke dalam instansi pendidikan tersebut hanya karena peraturan-peraturan sepihak.
Memang sejatinya, peraturan dalam sebuah sekolah swasta ditetapkan oleh pihak yayasan atau organisasi. Akan tetapi, seharusnya kita dapat melihat tipografi sosial masyarakat Indonesia. Selama pengamatan saya, belum banyak sekolah swasta yang dapat dijangkau oleh segala lapisan masyarakat, baik muridnya maupun pengajarnya. Hal seperti itu akan menjadi bibit persaingan yang tak sehat, karena dapat membuat kecemburuan sosial antar elemen masyarakat.
Jika saya boleh memberikan contoh sekolah swasta ideal, maka sekolah swasta yang ideal adalah sekolah swasta yang mampu merangkul tidak hanya sebatas elemen yang homogen, namun juga heterogen. Maksudnya, dalam sekolah tersebut perlu ada sistem subsidi silang antara siswa dengan perekonomian menengah ke atas untuk membiayai siswa dengan perekonomian menengah ke bawah. Selain itu, siswa yang memang ingin sekolah namun berkendala dengan biaya hingga jauhnya tempat tinggal diakomodir dengan sebaik-baiknya. Lalu, dari sisi pengajar, memang perlu selektif, namun bukan selektif berdasarkan agama maupun pengetahuan agamanya, melainkan dari kompetensi dasar dari calon pengajarnya. Jadi, ketika wawancara dengan calon pengajar, tidak perlu harus dites apakah individu si calon pengajar tersebut harus pintar mnegaji atau tidak, atau harus sering ke gereja atau tidak, karena hubungan manusia dengan Tuhannya adalah privasi dari masing-masing individu.
Selain kompetensi dasar, seorang calon pengajar harus dilatih dan dikembangkan kemampuan personalnya dalam menghadapi murid-murid atau orang tua murid. Jadi, nantinya si pengajar akan mampu berinteraksi dengan muridnya ataupun orang tuanya supaya pengajaran dapat maksimal. Untuk mencapai hal tersebut, perlu ada program pengembangan untuk para pengajar.
Dari segi pembayaran sekolah, akan menarik jika sistem pembayaran sekolah dibuat fleksibel. Jika orang tua murid mampu membayar secara tunai, maka akan dikenakan sistem pembayaran tunai. Bagi yang tidak mampu dapat dikenakan sistem pembayaran cicilan ataupun barter dengan barang-barang sembako (Sembilan Bahan Pokok) atau dengan barang-barang yang mempunyai nilai ekonomis, jadi tidak memberatkan orang tua murid.
Kurikulum
Kurikulum yang ideal bagi saya adalah kurikulum yang berbasiskan kreatifitas. Maksudnya, siswa-siswanya tidak harus mendekam lama di dalam kelas, melainkan harus ada segi praktek ilmunya. Contoh, jika sedang dalam pelajarang berhitung, siswa diajak dalam sebuah praktek berhitung dengan menggunakan alat-alat atau perangkat di sekitarnya. Lalu contoh lain, ketika sedang belajar mengenai sejarah, siswa haruslah diberikan imajinasi dan pemahaman atas terjadinya suatu peristiwa sejarah, seperti memberikan sarana gambar atau dengan media wayang.
Intinya, kurikulumnya harus kreatif dan membiarkan murid-murid berimajinasi serta berkreasi. Karena, di zaman sekarang, banyak sekali anak-anak yang sudah kehilangan imajinasinya. Imajinasi seorang anak janganlah dikekang, karena dari imajinasi itulah muncul ide-ide berlian dan tak ternilai harganya. Selain itu, imajinasi anak-anak merupakan sarana untuk tumbuh berkembangnya seorang anak menjadi anak jenius. Namun, imajinasi tersebut haruslah diarahkan untuk dapat diwujudkan.
Pengarahan menuju perwujudan imajinasi sangat penting, karena hal tersebut akan membuat si anak akan menjadi percaya pada dirinya dan mau mengembangkan pemikirannya dua langkah ke depan. Dari kepercayaan diri tersebut akan muncul berbagai macam karya yang nantinya akan memajukan bangsa dari berbagai sisi.
Jadi, kurikulum yang ideal menurut saya adalah kurikulum yang tidak mengekang imajinasi dan kreasi murid-murid. Biarkan anak-anak Indonesia berimajinasi dan berkreasi sesuai dengan mimpi dan impiannya. Tugas utama seorang pendidik adalah mendidik, bukan mengekang imajinasi seorang anak.
Hal tersebut dapat terlihat dari banyaknya sekolah yang non negeri (baca: swasta) yang masih dapat dijangkau oleh salah satu elemen masyarakat saja, seperti sekolah swasta Highscope, atau Sekolah Alam yang ada di Ciganjur dan Depok (mohon maaf jika saya mencantumkan kedua nama sekolah tersebut, untuk memberikan contoh yang jelas berkenaan dengan tulisan saya). Sekolah Highscope, menurut pengamatan saya, baru dapat merangkul siswa-siswa menengah ke atas, sedangkan Sekolah Alam menggunakan sistem perekrutan guru yang terlalu agamis. Baik siswa ataupun gurunya terlalu terkesan selektif yang tidak penting. Saya katakan demikian karena, di Indonesia masih banyak anak-anak yang tidak mendapatkan pendidikan selayaknya. Selain itu, juga banyak sumber daya pengajar yang tidak dapat masuk ke dalam instansi pendidikan tersebut hanya karena peraturan-peraturan sepihak.
Memang sejatinya, peraturan dalam sebuah sekolah swasta ditetapkan oleh pihak yayasan atau organisasi. Akan tetapi, seharusnya kita dapat melihat tipografi sosial masyarakat Indonesia. Selama pengamatan saya, belum banyak sekolah swasta yang dapat dijangkau oleh segala lapisan masyarakat, baik muridnya maupun pengajarnya. Hal seperti itu akan menjadi bibit persaingan yang tak sehat, karena dapat membuat kecemburuan sosial antar elemen masyarakat.
Jika saya boleh memberikan contoh sekolah swasta ideal, maka sekolah swasta yang ideal adalah sekolah swasta yang mampu merangkul tidak hanya sebatas elemen yang homogen, namun juga heterogen. Maksudnya, dalam sekolah tersebut perlu ada sistem subsidi silang antara siswa dengan perekonomian menengah ke atas untuk membiayai siswa dengan perekonomian menengah ke bawah. Selain itu, siswa yang memang ingin sekolah namun berkendala dengan biaya hingga jauhnya tempat tinggal diakomodir dengan sebaik-baiknya. Lalu, dari sisi pengajar, memang perlu selektif, namun bukan selektif berdasarkan agama maupun pengetahuan agamanya, melainkan dari kompetensi dasar dari calon pengajarnya. Jadi, ketika wawancara dengan calon pengajar, tidak perlu harus dites apakah individu si calon pengajar tersebut harus pintar mnegaji atau tidak, atau harus sering ke gereja atau tidak, karena hubungan manusia dengan Tuhannya adalah privasi dari masing-masing individu.
Selain kompetensi dasar, seorang calon pengajar harus dilatih dan dikembangkan kemampuan personalnya dalam menghadapi murid-murid atau orang tua murid. Jadi, nantinya si pengajar akan mampu berinteraksi dengan muridnya ataupun orang tuanya supaya pengajaran dapat maksimal. Untuk mencapai hal tersebut, perlu ada program pengembangan untuk para pengajar.
Dari segi pembayaran sekolah, akan menarik jika sistem pembayaran sekolah dibuat fleksibel. Jika orang tua murid mampu membayar secara tunai, maka akan dikenakan sistem pembayaran tunai. Bagi yang tidak mampu dapat dikenakan sistem pembayaran cicilan ataupun barter dengan barang-barang sembako (Sembilan Bahan Pokok) atau dengan barang-barang yang mempunyai nilai ekonomis, jadi tidak memberatkan orang tua murid.
Kurikulum
Kurikulum yang ideal bagi saya adalah kurikulum yang berbasiskan kreatifitas. Maksudnya, siswa-siswanya tidak harus mendekam lama di dalam kelas, melainkan harus ada segi praktek ilmunya. Contoh, jika sedang dalam pelajarang berhitung, siswa diajak dalam sebuah praktek berhitung dengan menggunakan alat-alat atau perangkat di sekitarnya. Lalu contoh lain, ketika sedang belajar mengenai sejarah, siswa haruslah diberikan imajinasi dan pemahaman atas terjadinya suatu peristiwa sejarah, seperti memberikan sarana gambar atau dengan media wayang.
Intinya, kurikulumnya harus kreatif dan membiarkan murid-murid berimajinasi serta berkreasi. Karena, di zaman sekarang, banyak sekali anak-anak yang sudah kehilangan imajinasinya. Imajinasi seorang anak janganlah dikekang, karena dari imajinasi itulah muncul ide-ide berlian dan tak ternilai harganya. Selain itu, imajinasi anak-anak merupakan sarana untuk tumbuh berkembangnya seorang anak menjadi anak jenius. Namun, imajinasi tersebut haruslah diarahkan untuk dapat diwujudkan.
Pengarahan menuju perwujudan imajinasi sangat penting, karena hal tersebut akan membuat si anak akan menjadi percaya pada dirinya dan mau mengembangkan pemikirannya dua langkah ke depan. Dari kepercayaan diri tersebut akan muncul berbagai macam karya yang nantinya akan memajukan bangsa dari berbagai sisi.
Jadi, kurikulum yang ideal menurut saya adalah kurikulum yang tidak mengekang imajinasi dan kreasi murid-murid. Biarkan anak-anak Indonesia berimajinasi dan berkreasi sesuai dengan mimpi dan impiannya. Tugas utama seorang pendidik adalah mendidik, bukan mengekang imajinasi seorang anak.
Sabtu, 15 Januari 2011
Berpikir Cerdas dan Bijak Atas Keberagaman Suku Bangsa
Ketika saya menghadiri pesta pernikahan saudara saya di daerah Ciputat, saya mendapati hal yang menarik dari perbincangan dua orang pria. Dua pria tersebut membicarakan mengenai perbedaan budaya pernikahan antara budaya Jawa dengan pernikahan saudara saya yang menggunakan adat Sunda. Salah satu pria terkesan sangat anti dengan budaya Jawa, karena dalam perbincangan tersebut, ia tetap tidak bisa berterima atas pembicaraan mengenai lagu pernikahan budaya Jawa.
Dari perbincangan tersebut, jelas terlihat bahwa pria yang terkesan anti dengan budaya Jawa tidak mau membuka diri terhadap budaya lain selain budayanya sendiri. Sikap seperti itu merupakan sikap yang tidak baik dan cenderung picik. Sikap picik tersebut jika dibiarkan akan menjadi virus yang menularkan anti keberagaman budaya di Indonesia. Padahal, keberagaman budaya merupakan kekuatan Indonesia untuk berkembang menjadi lebih maju.
Seharusnya, dalam menyikapi keberagaman budaya Indonesia tidak dengan picik, melainkan dengan cara cerdas dan bijak. Cerdas dalam menelaah keberagaman, maksudnya ialah dalam menghadapi keberagaman budaya di Indonesia, diri kita jangan sampai melihat perbedaan antar budayanya saja, melainkan juga persamaan dan potensi yang dimiliki oleh budaya lokal Indonesia. Budaya lokal Indonesia pada dasarnya memiliki potensi besar untuk menjadi pijakan kemajuan bangsa. Karena, budaya lokal Indonesia memiliki beragam pengetahuan dan karya yang dapat dikembangkan. Misalnya, pengetahuan suku Jawa atas sikap seorang pemimpin yang baik dapat menjadi bahan untuk mengembangkan diri pada karir seseorang, atau teknologi pembuatan kain songket dari suku Batak dapat menjadi bahan untuk berkespresi dan berinovasi pada fashion sehari-hari guna membuat percaya diri.
Selain berpikir cerdas, kita juga harus mampu berpikir bijak dalam menyikapi perbedaan adat. Maksudnya ialah, dalam menghadapi beragam orang tiap harinya, kita akan dihadapkan kepada situasi untuk memilih bagaimana untuk bersikap. Tiap suku mempunyai kriteria sikap baik yang serupa tapi tak sama. Misalnya, bagi orang Jawa, berteriak-teriak memanggil seseorang merupakan sikap yang tak sopan, namun di suku lain belum tentu seperti itu, atau ketika seseorang meninggal, dalam budaya Batak akan diadakan semacam pesta pemakaman yang sangat berbeda dengan tradisi suku lainnya. Jadi, kita harus mampu menyikapi dengan bijak perbedaan yang ada.
Potensi-potensi semacam itu harus dikembangkan. Karena, potensi-potensi tersebut jarang dimiliki oleh negara lain. Indonesia sangatlah beruntung memiliki keberagaman budaya lokal. Keberagaman tersebutlah potensi keunggulan Indonesia. Namun, keunggulan tersebut hanya akan menjadi wacana jika pribadi dari masyarakat Indonesia tidak open minded atau memiliki pikiran yang terbuka, sungguh disayangkan memang.
Bhinneka Tunggal Ika
Berbeda-beda namun satu jua, itulah Bhinneka Tunggal Ika. Inti dari ungkapan tersebut ialah keberagaman suku bangsa di Indonesia janganlah menjadi alasan perpecahan, melainkan harus menjadi alasan pemersatu bangsa. Selain itu, ungkapan tersebut juga berisikan sebuah harapan agar Indonesia yang memiliki keberagaman suku bangsa mampu bersatu-padu memajukan negeri ini bersama-sama.
Setiap suku bangsa yang ada di Indonesia memiliki andil untuk memajukan bangsa ini. Tidak ada yang lebih unggul, tidak ada yang lebih baik, dan tidak ada yang lebih dari yang lain. Setiap suku bangsa di Indonesia memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Misalnya, orang Padang memang memiliki bakat dagang yang lebih baik dari suku lainnya, dan orang Papua memiliki tenaga yang lebih unggul dari suku lainnya. Perbedaan keunggulan tersebut seharusnya dapat saling digunakan untuk kemajuan bersama. Dengan bakat dagang orang Padang dan tenaga yang kuat orang Papua, kita dapat membuat sebuah perusahaan penyedia Sumber Daya Manusia (SDM).
Contoh lainnya, orang Jawa memiliki kelebihan kepekaan rasa, dan orang Batak rata-rata mampu bernyanyi dengan indah. Jika orang Jawa menciptakan lagu dan dinyanyikan oleh orang Batak, maka akan menghasilkan lagu yang menyentuh rasa dengan suara penuh keindahan. Mungkin kedua contoh tersebut merupakan contoh yang berasal dari asumsi pribadi saya. Akan tetapi, maksud saya dari memberikan kedua contoh tersebut ialah saya ingin memberikan gambaran mengenai kerja sama antar suku bangsa di Indonesia yang seharusnya terjadi, bukan penjibiran antar suku bangsa.
Inti dari posting saya ini adalah jangan sampai keberagaman suku bangsa dan budaya di Indonesia menjadi pemecah persatua. Seharusnya, keberagaman tersebut menjadi kekuatan pemersatu bangsa. Jangan sampai kita berpikiran picik dan sempit, melainkan harus berpikir cerdas dan bijak.
Dari perbincangan tersebut, jelas terlihat bahwa pria yang terkesan anti dengan budaya Jawa tidak mau membuka diri terhadap budaya lain selain budayanya sendiri. Sikap seperti itu merupakan sikap yang tidak baik dan cenderung picik. Sikap picik tersebut jika dibiarkan akan menjadi virus yang menularkan anti keberagaman budaya di Indonesia. Padahal, keberagaman budaya merupakan kekuatan Indonesia untuk berkembang menjadi lebih maju.
Seharusnya, dalam menyikapi keberagaman budaya Indonesia tidak dengan picik, melainkan dengan cara cerdas dan bijak. Cerdas dalam menelaah keberagaman, maksudnya ialah dalam menghadapi keberagaman budaya di Indonesia, diri kita jangan sampai melihat perbedaan antar budayanya saja, melainkan juga persamaan dan potensi yang dimiliki oleh budaya lokal Indonesia. Budaya lokal Indonesia pada dasarnya memiliki potensi besar untuk menjadi pijakan kemajuan bangsa. Karena, budaya lokal Indonesia memiliki beragam pengetahuan dan karya yang dapat dikembangkan. Misalnya, pengetahuan suku Jawa atas sikap seorang pemimpin yang baik dapat menjadi bahan untuk mengembangkan diri pada karir seseorang, atau teknologi pembuatan kain songket dari suku Batak dapat menjadi bahan untuk berkespresi dan berinovasi pada fashion sehari-hari guna membuat percaya diri.
Selain berpikir cerdas, kita juga harus mampu berpikir bijak dalam menyikapi perbedaan adat. Maksudnya ialah, dalam menghadapi beragam orang tiap harinya, kita akan dihadapkan kepada situasi untuk memilih bagaimana untuk bersikap. Tiap suku mempunyai kriteria sikap baik yang serupa tapi tak sama. Misalnya, bagi orang Jawa, berteriak-teriak memanggil seseorang merupakan sikap yang tak sopan, namun di suku lain belum tentu seperti itu, atau ketika seseorang meninggal, dalam budaya Batak akan diadakan semacam pesta pemakaman yang sangat berbeda dengan tradisi suku lainnya. Jadi, kita harus mampu menyikapi dengan bijak perbedaan yang ada.
Potensi-potensi semacam itu harus dikembangkan. Karena, potensi-potensi tersebut jarang dimiliki oleh negara lain. Indonesia sangatlah beruntung memiliki keberagaman budaya lokal. Keberagaman tersebutlah potensi keunggulan Indonesia. Namun, keunggulan tersebut hanya akan menjadi wacana jika pribadi dari masyarakat Indonesia tidak open minded atau memiliki pikiran yang terbuka, sungguh disayangkan memang.
Bhinneka Tunggal Ika
Berbeda-beda namun satu jua, itulah Bhinneka Tunggal Ika. Inti dari ungkapan tersebut ialah keberagaman suku bangsa di Indonesia janganlah menjadi alasan perpecahan, melainkan harus menjadi alasan pemersatu bangsa. Selain itu, ungkapan tersebut juga berisikan sebuah harapan agar Indonesia yang memiliki keberagaman suku bangsa mampu bersatu-padu memajukan negeri ini bersama-sama.
Setiap suku bangsa yang ada di Indonesia memiliki andil untuk memajukan bangsa ini. Tidak ada yang lebih unggul, tidak ada yang lebih baik, dan tidak ada yang lebih dari yang lain. Setiap suku bangsa di Indonesia memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Misalnya, orang Padang memang memiliki bakat dagang yang lebih baik dari suku lainnya, dan orang Papua memiliki tenaga yang lebih unggul dari suku lainnya. Perbedaan keunggulan tersebut seharusnya dapat saling digunakan untuk kemajuan bersama. Dengan bakat dagang orang Padang dan tenaga yang kuat orang Papua, kita dapat membuat sebuah perusahaan penyedia Sumber Daya Manusia (SDM).
Contoh lainnya, orang Jawa memiliki kelebihan kepekaan rasa, dan orang Batak rata-rata mampu bernyanyi dengan indah. Jika orang Jawa menciptakan lagu dan dinyanyikan oleh orang Batak, maka akan menghasilkan lagu yang menyentuh rasa dengan suara penuh keindahan. Mungkin kedua contoh tersebut merupakan contoh yang berasal dari asumsi pribadi saya. Akan tetapi, maksud saya dari memberikan kedua contoh tersebut ialah saya ingin memberikan gambaran mengenai kerja sama antar suku bangsa di Indonesia yang seharusnya terjadi, bukan penjibiran antar suku bangsa.
Inti dari posting saya ini adalah jangan sampai keberagaman suku bangsa dan budaya di Indonesia menjadi pemecah persatua. Seharusnya, keberagaman tersebut menjadi kekuatan pemersatu bangsa. Jangan sampai kita berpikiran picik dan sempit, melainkan harus berpikir cerdas dan bijak.
Rabu, 12 Januari 2011
Non-Skripsi Bukan Jawabannya
Kuliah zaman sekarang sudah mulai aneh. Keanehannya ada di persyaratan kelulusan untuk mendapat gelar sarjananya, yakni muncul wacana lulus non-skripsi tanpa membuat karya ilmiah. Jadi, mahasiswa dapat lulus hanya dengan mengambil kuliah hingga jumlah SKS (Satuan Kredit Semester) mencukupi syarat lulus.
Wacana tersebut memang hanya wacana kecil, belum menjadi wacana global. Namun, akibat dari wacana kecil tersebut dapat membuat sebuah kebimbangan dalam prinsip seorang mahasiswa. Kebimbangan tersebut akan melahirkan kepribadian yang labil pada diri seseorang, sehingga membuat seseorang tidak dapat atau tidak berani untuk berupaya dengan gigih terhadap tujuan utama hidupnya.
Muncul jiwa yang labil pada diri seseorang akan membuat kualitas orang tersebut menurun. Saya katakan demikian karena, orang dengan jiwa labil akan sulit untuk menentukan pilihan hidupnya. Selain itu, jiwa yang labil akan membuat diri seseorang sulit untuk berkembang dan mudah putus asa ketika menghadapi suatu masalah. Jiwa labil akan menutup mata hati dengan ketakutan.
Non-Skripsi Tanpa Karya Ilmiah Bukan Jawaban
Lulus dari perguruan tinggi seharusnya tidak terlalu dimudahkan dengan pilihan non-skripsi tanpa karya ilmiah. Karena, hal tersebut terkesan tidak adil bagi yang lulus dengan skripsi ataupun non-skripsi dengan karya ilmiah. Terlalu mudah untuk mendapatkan gelar sarjana, dan belum tentu orang yang memilih jalan non-skripsi tanpa karya ilmiah dapat mengerti apa yang sudah di dapatkan setelah ia selesai mengemban ilmu di bangku perguruan tinggi.
Selain itu, mahasiswa yang lulus dengan jalur non-skripsi tanpa karya ilmiah akan dipertanyakan tanggung jawab ilmunya, karena sarjana merupakan gelar untuk seseorang yang sudah menguasai salah satu bidang ilmu pengetahuan. Gelar sarjana yang didapatkan dengan jalur seperti itu bukanlah pilihan yang bijak. Seharusnya, ada ujian pengganti jika tidak mau mengambil skripsi atau pun tidak ingin mengambil tugas akhir pengganti skripsi.
Ujian yang saya maksud ialah ujian komprehensif, yakni ujian yang berisikan soal-soal mata kuliah dari semester pertama hingga semester terakhir si mahasiswa berkuliah. Ujian itu merupakan ujian yang akan membuat seorang mahasiswa dapat bertanggung jawab atas segala ilmu selama si mahasiswa berkuliah. Jadi, bagi mereka yang tidak mampu untuk skripsi akan tetap merasakan upaya untuk mempertanggungjawabkan ilmunya.
Sekali lagi dapat saya katakan, non-skripsi tanpa karya ilmiah bukan jalan keluar yang bijak. Kebijakan semacam itu hanya akan membuat manja para kaum intelektual di Indonesia. Selain itu, kebijakan seperti itu juga akan membuat tumpul otak. Namun, jika seseorang telah memilih jalur non-skripsi tanpa karya ilmiah, seharusnya mempunyai sikap berani mempertanggungjawabkan pilihan non-skripsi tanpa karya ilmiahnya dengan membuat karya di masyarakat. Agar, tidak percuma ilmu yang sudah diperolehnya.
Wacana tersebut memang hanya wacana kecil, belum menjadi wacana global. Namun, akibat dari wacana kecil tersebut dapat membuat sebuah kebimbangan dalam prinsip seorang mahasiswa. Kebimbangan tersebut akan melahirkan kepribadian yang labil pada diri seseorang, sehingga membuat seseorang tidak dapat atau tidak berani untuk berupaya dengan gigih terhadap tujuan utama hidupnya.
Muncul jiwa yang labil pada diri seseorang akan membuat kualitas orang tersebut menurun. Saya katakan demikian karena, orang dengan jiwa labil akan sulit untuk menentukan pilihan hidupnya. Selain itu, jiwa yang labil akan membuat diri seseorang sulit untuk berkembang dan mudah putus asa ketika menghadapi suatu masalah. Jiwa labil akan menutup mata hati dengan ketakutan.
Non-Skripsi Tanpa Karya Ilmiah Bukan Jawaban
Lulus dari perguruan tinggi seharusnya tidak terlalu dimudahkan dengan pilihan non-skripsi tanpa karya ilmiah. Karena, hal tersebut terkesan tidak adil bagi yang lulus dengan skripsi ataupun non-skripsi dengan karya ilmiah. Terlalu mudah untuk mendapatkan gelar sarjana, dan belum tentu orang yang memilih jalan non-skripsi tanpa karya ilmiah dapat mengerti apa yang sudah di dapatkan setelah ia selesai mengemban ilmu di bangku perguruan tinggi.
Selain itu, mahasiswa yang lulus dengan jalur non-skripsi tanpa karya ilmiah akan dipertanyakan tanggung jawab ilmunya, karena sarjana merupakan gelar untuk seseorang yang sudah menguasai salah satu bidang ilmu pengetahuan. Gelar sarjana yang didapatkan dengan jalur seperti itu bukanlah pilihan yang bijak. Seharusnya, ada ujian pengganti jika tidak mau mengambil skripsi atau pun tidak ingin mengambil tugas akhir pengganti skripsi.
Ujian yang saya maksud ialah ujian komprehensif, yakni ujian yang berisikan soal-soal mata kuliah dari semester pertama hingga semester terakhir si mahasiswa berkuliah. Ujian itu merupakan ujian yang akan membuat seorang mahasiswa dapat bertanggung jawab atas segala ilmu selama si mahasiswa berkuliah. Jadi, bagi mereka yang tidak mampu untuk skripsi akan tetap merasakan upaya untuk mempertanggungjawabkan ilmunya.
Sekali lagi dapat saya katakan, non-skripsi tanpa karya ilmiah bukan jalan keluar yang bijak. Kebijakan semacam itu hanya akan membuat manja para kaum intelektual di Indonesia. Selain itu, kebijakan seperti itu juga akan membuat tumpul otak. Namun, jika seseorang telah memilih jalur non-skripsi tanpa karya ilmiah, seharusnya mempunyai sikap berani mempertanggungjawabkan pilihan non-skripsi tanpa karya ilmiahnya dengan membuat karya di masyarakat. Agar, tidak percuma ilmu yang sudah diperolehnya.
Langganan:
Postingan (Atom)