Dunia pendidikan di Indonesia memang sudah mulai berkembang. Akan tetapi, perkembangan tersebut tidak diimbangi dengan konsep "pendidikan untuk semua". Maksudnya, pendidikan di Indonesia belum dapat merangkul seluruh kalangan, baik secara ekonomi maupun secara religi agama.
Hal tersebut dapat terlihat dari banyaknya sekolah yang non negeri (baca: swasta) yang masih dapat dijangkau oleh salah satu elemen masyarakat saja, seperti sekolah swasta Highscope, atau Sekolah Alam yang ada di Ciganjur dan Depok (mohon maaf jika saya mencantumkan kedua nama sekolah tersebut, untuk memberikan contoh yang jelas berkenaan dengan tulisan saya). Sekolah Highscope, menurut pengamatan saya, baru dapat merangkul siswa-siswa menengah ke atas, sedangkan Sekolah Alam menggunakan sistem perekrutan guru yang terlalu agamis. Baik siswa ataupun gurunya terlalu terkesan selektif yang tidak penting. Saya katakan demikian karena, di Indonesia masih banyak anak-anak yang tidak mendapatkan pendidikan selayaknya. Selain itu, juga banyak sumber daya pengajar yang tidak dapat masuk ke dalam instansi pendidikan tersebut hanya karena peraturan-peraturan sepihak.
Memang sejatinya, peraturan dalam sebuah sekolah swasta ditetapkan oleh pihak yayasan atau organisasi. Akan tetapi, seharusnya kita dapat melihat tipografi sosial masyarakat Indonesia. Selama pengamatan saya, belum banyak sekolah swasta yang dapat dijangkau oleh segala lapisan masyarakat, baik muridnya maupun pengajarnya. Hal seperti itu akan menjadi bibit persaingan yang tak sehat, karena dapat membuat kecemburuan sosial antar elemen masyarakat.
Jika saya boleh memberikan contoh sekolah swasta ideal, maka sekolah swasta yang ideal adalah sekolah swasta yang mampu merangkul tidak hanya sebatas elemen yang homogen, namun juga heterogen. Maksudnya, dalam sekolah tersebut perlu ada sistem subsidi silang antara siswa dengan perekonomian menengah ke atas untuk membiayai siswa dengan perekonomian menengah ke bawah. Selain itu, siswa yang memang ingin sekolah namun berkendala dengan biaya hingga jauhnya tempat tinggal diakomodir dengan sebaik-baiknya. Lalu, dari sisi pengajar, memang perlu selektif, namun bukan selektif berdasarkan agama maupun pengetahuan agamanya, melainkan dari kompetensi dasar dari calon pengajarnya. Jadi, ketika wawancara dengan calon pengajar, tidak perlu harus dites apakah individu si calon pengajar tersebut harus pintar mnegaji atau tidak, atau harus sering ke gereja atau tidak, karena hubungan manusia dengan Tuhannya adalah privasi dari masing-masing individu.
Selain kompetensi dasar, seorang calon pengajar harus dilatih dan dikembangkan kemampuan personalnya dalam menghadapi murid-murid atau orang tua murid. Jadi, nantinya si pengajar akan mampu berinteraksi dengan muridnya ataupun orang tuanya supaya pengajaran dapat maksimal. Untuk mencapai hal tersebut, perlu ada program pengembangan untuk para pengajar.
Dari segi pembayaran sekolah, akan menarik jika sistem pembayaran sekolah dibuat fleksibel. Jika orang tua murid mampu membayar secara tunai, maka akan dikenakan sistem pembayaran tunai. Bagi yang tidak mampu dapat dikenakan sistem pembayaran cicilan ataupun barter dengan barang-barang sembako (Sembilan Bahan Pokok) atau dengan barang-barang yang mempunyai nilai ekonomis, jadi tidak memberatkan orang tua murid.
Kurikulum
Kurikulum yang ideal bagi saya adalah kurikulum yang berbasiskan kreatifitas. Maksudnya, siswa-siswanya tidak harus mendekam lama di dalam kelas, melainkan harus ada segi praktek ilmunya. Contoh, jika sedang dalam pelajarang berhitung, siswa diajak dalam sebuah praktek berhitung dengan menggunakan alat-alat atau perangkat di sekitarnya. Lalu contoh lain, ketika sedang belajar mengenai sejarah, siswa haruslah diberikan imajinasi dan pemahaman atas terjadinya suatu peristiwa sejarah, seperti memberikan sarana gambar atau dengan media wayang.
Intinya, kurikulumnya harus kreatif dan membiarkan murid-murid berimajinasi serta berkreasi. Karena, di zaman sekarang, banyak sekali anak-anak yang sudah kehilangan imajinasinya. Imajinasi seorang anak janganlah dikekang, karena dari imajinasi itulah muncul ide-ide berlian dan tak ternilai harganya. Selain itu, imajinasi anak-anak merupakan sarana untuk tumbuh berkembangnya seorang anak menjadi anak jenius. Namun, imajinasi tersebut haruslah diarahkan untuk dapat diwujudkan.
Pengarahan menuju perwujudan imajinasi sangat penting, karena hal tersebut akan membuat si anak akan menjadi percaya pada dirinya dan mau mengembangkan pemikirannya dua langkah ke depan. Dari kepercayaan diri tersebut akan muncul berbagai macam karya yang nantinya akan memajukan bangsa dari berbagai sisi.
Jadi, kurikulum yang ideal menurut saya adalah kurikulum yang tidak mengekang imajinasi dan kreasi murid-murid. Biarkan anak-anak Indonesia berimajinasi dan berkreasi sesuai dengan mimpi dan impiannya. Tugas utama seorang pendidik adalah mendidik, bukan mengekang imajinasi seorang anak.
Nyindir sekali,hahaha
BalasHapus