Anak kecil memiliki kemampuan untuk bermimpi yang lebih baik daripada orang dewasa. Pasalnya, ketika diri kita masih kecil, pikiran kita belum diracuni oleh pemikiran-pemikiran negatif. Selain itu, pada fase anak-anak, manusia sedang memasuki fase belajar dan pemahaman dunia sekitar.
Saya pernah melihat seorang anak kecil usia, kira-kira, tiga sampai empat tahun sedang berimajinasi bersama mainannya. Padahal, mainannya tersebut sudah mulai rusak dan sudah tidak layak untuk dimainkan. Sebuah mainan mobil-mobilan yang roda depannya sudah lepas dari rangka mainan tersebut. Si anak kecil itu berusaha menyambungkan dengan seksama roda yang lepas itu ke badan mobil-mobilannya. Sepenglihatan saya, anak kecil itu berandai-andai dirinya adalah seorang montir mobil. Gigih dan semangat, ia membetulkan mainannya.
Melihat kejadian kecil itu, saya berpikir, mungkin ketika sudah sedikit besar nanti ia akan melupakan mimpi dan imajinasinya. Karena, ketika anak kecil itu beranjak dewasa, ia akan mendapat pengaruh pikiran-pikiran negatif dari lingkungannya. Setiap lingkungan tempat tumbuh berkembangnya seorang anak pastinya terdapat pengaruh positif dengan negatif. Namun, pengaruh negatif akan lebih cepat diserap dan tidak dicerna. Sebab, orang akan cenderung menceritakan dukanya ketimbang ceria yang sedang dialaminya.
Ketika seorang anak mendengar terlalu banyak cerita duka, maka ia akan takut untuk melalui suatu peristiwa serupa dengan kabar buruk yang didengarnya. Saat anak itu takut dan tidak percaya diri, maka ia akan susah untuk berkembang dan cenderung menghindari masalah yang dihadapinya. Semakin banyak kabar negatif yang didengarnya, semakin pesimistis si anak.
Peran Orang Tua
Untuk mencegah hal itu, perlu ada peran orang tua dengan fleksibel. Orang tua adalah guru pertama bagi seorang anak. Ia (orang tua) akan menjadi raw model bagi anaknya. Jadi, orang tua lah yang menjadi contoh utama seorang anak. Oleh karena itu, orang tua harus bijak mengajarkan segala sesuatu hal dengan interaksi yang nyaman.
Interaksi yang nyaman, bagi saya, ialah interaksi horizontal. Maksudnya, ketika sedang mendekati anak janganlah menggunakan status diri sebagai orang tua, melainkan harus sebagai teman. Jadi, anak akan nyaman untuk bercerita dan bertukar pendapat dengan si orang tua. Dari perbincangan tersebut maka akan tercipta sebuah momentum untuk memberikan arahan yang tepat bagi si anak.
Selain itu, orang tua harus mengawasi anaknya dengan seksama. Pengawasan tersebut haruslah fleksibel dan tidak mengekang si anak. Contohnya, jika si anak mengikuti sebuah ekskul, hendaknya didukung dan ikut membantu aktifitasnya di ekskul tersebut. Contoh lainnya, ketika si anak sedang melalui masa-masa sulit dalam pergaulan awal ketika masuk sekolah, hendaknya orang tua memberi dukungan moril dan psikologis kepada si anak, agak anak tersebut dapat percaya diri.
Peran orang tua juga sangat penting dalam memelihara imajinasi anaknya. Ketika anak beranjak dewasa, jangan sekali pun mengatakan bahwa impian si anak mustahil. Tujuan dari hal tersebut ialah untuk membuat si anak menjadi percaya diri dan tidak malu. Biarkan anak percaya diri dengan imajinasinya, dan tugas orang tua adalah mendukung dan memberikan arahan atas imajinasinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar